Ridwan Merebut Dunianya
Ia suka berkeliling ke berbagai negara, mendatangi tempat-tempat yang sering dibicarakan dan yang kerap muncul di film kesukaannya.
Ketakutan terbesar Ridwan dalam hidupnya adalah menjadi buta. Ia selalu membayangkan kebutaan sebagai sesuatu yang menyiksa dan menakutkan. Semua yang dimiliki, semua yang diinginkan akan hilang dan tak berguna lagi. Hanya hitam, hitam dan hitam, yang baginya merupakan sebuah kematian dalam hidup.
Ketakutan ini mulai menjalari dirinya ketika merasakan penglihatannya semakin hari semakin kabur dan ia harus benar-benar membelalakkan mata untuk membaca sebuah tulisan yang cukup besar yang tertempel di dinding.
Semua dokter ahli mata yang ada di kotanya ia datangi atau pun ia datangkan ke rumahnya dengan harapan bisa mencegah kebutaan itu. ”Berapa pun uang yang dibutuhkan, akan aku berikan. Asal duniaku tidak dirampok kebutaan.”
Maka, ia pun merepotkan sang anak, Abdulah, untuk mencarikan dokter mata terbaik di kotanya. ”Bila perlu ke ujung dunia kamu carikan aku dokter terbaik. Uangku akan sangat cukup membayar mereka.”
Sebagai anak semata wayang, tentu saja Abdulah akan berjuang sendiri mencarikan dokter terbaik sebagaimana permintaan ayahnya. Dan seminggu bisa sampai dua tiga kali dokter spesialis mata didatangi atau datang ke rumah agar Ridwan tak menjadi buta.
Betapapun kerasnya usaha Abdulah mencarikan dokter, takdir memang kejam dan pada akhirnya Ridwan tak bisa mengelak ketika ia benar-benar menjadi buta. Pandangan matanya hitam dan di ujung matanya terlihat banyak belek yang menempel setiap saat meskipun sudah dibersihkan.
”Apakah aku lebih baik mati hari ini?” tanyanya kepada Abdulah ketika ia benar-benar putus asa dengan dunia yang hitam.
Abdulah tak segera menjawab dan ia hanya terdiam.
”Kenapa tidak menjawab? Kamu masih di sini?”
”Bapak tidak seharusnya berkata seperti itu. Kematian bukan obat untuk orang buta.”
”Lalu kamu ingin melihat aku menderita bahkan tanpa bisa hanya sekadar melihat bulan di tengah malam?”
”Bukan begitu. Setidaknya saya akan berusaha lagi.”
”Apa usahamu untuk diriku? Setelah dokter-dokter hebat yang kamu bawa ke sini gagal mencegah kebutaan pada mataku ini? Mereka memakan uang-uangku, tapi kerjanya tidak beres.”
”Saya sudah berusaha, Pak!”
”Hanya segitu?”
“Biarkan saya berpikir.”
”Ah, sudahlah. Mungkin kamu lebih suka aku mati.”
Abdulah menghela napas. Dipandangnya sang ayah yang duduk di kursi rotan ruang tamu. Sosok yang dulu gagah, kini seperti seonggok tubuh tanpa tujuan dan harapan hidup.
”Donor kornea mata mungkin satu-satunya cara,” Abdulah memecah keheningan.
”Siapa yang mau? Kalau ada yang mau, aku akan bayar dengan satu rumahku.”
”Saya belum tahu, tapi saya akan menanyakannya.”
”Sia-sia. Hanya memperpanjang penderitaanku saja. Siapa yang mau kamu tanyai.”
Dengan meraba-raba meja, kursi, tembok, ia meninggalkan Abdulah yang masih duduk di kursi. Abdulah hanya melihat usaha ayahnya untuk beranjak meninggalkannya tanpa berkeinginan membantu memapahnya.
”Aku tahu,” sang ayah berhenti dan membalikkan tubuhnya, ”Kamu cari orang susah. Kere-kere itu. Siapa saja boleh, mau di desa, mau di kota. Orang miskin yang sulit makan. Kamu bayar mereka dan suruh memberikan kornea matanya padaku.”
Mendengar saran sang ayah, Abdulah terdiam dan memandang mata ayahnya yang terlihat masih normal, tetapi sejatinya tak berguna sama sekali.
”Hei, kamu masih di situ? Dengar apa yang aku bilang?”
”Iya, saya mendengarnya, Pak. Dengan sangat jelas.”
”Nah, itu. Kamu carikan aku orang miskin yang mau dibayar. Aku kira, mereka pasti mau dibayar. Siapa yang tak butuh uang, apalagi orang kere.”
Sekali lagi, sebagai anak semata wayang yang selalu taat omongan sang ayah, ia menyingkirkan penolakan dan berusaha mengikuti apa yang diminta. Apalagi setelah kepergian ibunya dua tahun lalu, ia hanya memiliki ayahnya seorang. Tentu saja, ia tak mau mengecewakannya dan akan berusaha melakukan yang terbaik.
Keesokan harinya, seusai menyuapi sang ayah makanan, Abdulah pergi mencari orang miskin. Sementara Ridwan menunggu di rumah sambil mengutuki dunianya yang hilang terampas.
Ridwan masih ingat betul di saat masa jayanya bisa melakukan apa pun yang ia mau. Sebagai seorang pengusaha sukses dengan kekayaan yang melimpah, ia bisa bertindak sesukanya. Apa pun yang dikehendaki, mampu diwujudkan. Haram baginya kata tak bisa, jangan, tak mau atau kata sejenisnya dalam hidupnya.
Ia suka berkeliling ke berbagai negara, mendatangi tempat-tempat yang sering dibicarakan dan yang kerap muncul di film kesukaannya. Dan saat ingin pamer, ia dengan sengaja mengundang teman-teman kuliahnya dulu ke sebuah restoran, mentraktir mereka makan. Usai makan ia akan menyebut satu per satu negara yang sudah dikunjungi. Satu per satu teman kuliahnya akan ditanyai apakah sudah pernah ke sana. Dan jika menjawab belum akan langsung disambar, ”Jelas saja belum pernah. Kamu terlalu miskin,” dan dilanjutkan dengan tawa terkekeh-kekeh.
Hingga akhirnya masa jayanya mulai meredup saat pandangan matanya memudar dan kemudian seorang dokter menyebut jika ia akan menjadi buta permanen dan itu sungguh membuat dirinya mulai dilanda ketakutan.
Semenjak itu, ia lebih sering duduk diam di ruang tamu atau di beranda rumah. Kadang ia meyakinkan apa yang dikatakan dokter dengan mencari di internet. Beberapa kali ia juga mengulang pertanyaan, ”Apakah aku akan benar-benar menjadi orang buta?” kepada Abdulah.
Setelah ia benar-benar menjadi buta, hanya kepada Abdulah ia menggantungkan harapan. Ia menunggu kedatangan Abdulah membawa kabar baik, ada orang miskin yang mau dibayar untuk mendonorkan kornea matanya.
Sorenya, Abdulah kembali ke rumah. Suara mobilnya membangunkan Ridwan dari lamunan dan jantungnya berdegup kencang menunggu kabar dari sang anak. Saat sepatu Abdulah yang beradu dengan lantai mulai terdengar, ia segera melayangkan sebuah pertanyaan.
”Sudah kamu temukan orang miskin itu? Katakan, berapa ia meminta bayaran?”
Dan sebagai seorang yang hanya menunggu kabar baik, betapa kecewanya Ridwan saat mendengar jawaban: belum. Ia menggumam sendiri dan menganggap Abdulah tak serius menolong dirinya.
”Tenang Pak, besok saya akan berkeliling lagi. Hari ini saya sudah bertanya kepada beberapa pengamen, pengasong, anak punk, dan mereka tak ada yang mau menjadi buta.”
”Bodoh!”
”Mereka takut menjadi buta. Katanya, percuma uang banyak kalau tak bisa melihat.”
”Bodoh, brengsek, mereka mengejekku rupanya.”
”Bukan begitu, Pak. Memang mereka tak ingin menjadi buta. Mereka masih ingin melihat jalanan dan ramainya kota meskipun kadang menyiksanya.”
”Bodoh, sangat bodoh. Mereka pikir sudah kaya hanya dengan bisa melihat? Bisa melihat tapi miskin, harusnya mereka bisa berpikir jernih dan membuat penawaran.”
”Sudahlah, lebih baik Bapak istirahat saja. Besok, insyaallah saya akan bawakan kabar baik.”
Tanpa merespons perkataan Abdulah, Ridwan dengan meraba-raba tembok masuk ke dalam kamarnya. Di dalam kamar sambil merebahkan tubuhnya, Ridwan mengutuki dokter-dokter spesialis yang datang ke rumah ataupun yang ia datangi selama ini yang tak bisa menyelamatkannya dari kebutaan.
”Mereka hanya mengincar uang-uangku. Mereka tidak bekerja dengan baik. Seharusnya mereka berhenti jadi dokter dan bergabung dengan partai politik.”
Sesuai janjinya, Abdulah kembali pergi mencari orang miskin yang mau mendonorkan kornea mata esok paginya.
”Kalau kamu mengecewakan lagi, lebih baik aku mati saja. Kamu siapkan saja pemakamanku sebelum masuk rumah ini. Bila perlu kamu carikan aku tukang gali kubur,” pesan Ridwan sebelum Abdulah pergi.
Abdulah pergi dan Ridwan seharian hanya duduk menunggu sambil sesekali memanggil pembantu untuk membawakan segelas air putih dan kentang rebus kesukaannya.
”Ridwan, Ridwan, percuma kamu kaya kalau makanan kesukaanmu masih tetap kentang rebus,” ia membatin sambil tertawa.
Sang anak baru pulang setelah hari sudah gelap dan Ridwan sudah benar-benar jenuh menunggu. Sepanjang waktu menunggu ia hanya memikirkan dua hal, kematian atau ada orang miskin yang mau mendonorkan kornea matanya.
”Bagaimana? Kamu sudah menyiapkan pemakamanku?”
”Saya membawa kabar baik.”
”Nah itu, bagus. Orang miskin dari mana yang mau? Berapa dia minta? 500 juta? Satu miliar?” Ridwan kegirangan sampai-sampai hampir menjatuhkan gelas di atas meja di depannya.
”Dia belum menentukan angkanya.”
”Orang miskin! Pasti mereka masih buat itung-itungan. Takut terkejut melihat uang banyak, nanti malah mati. Tapi sudahlah, secepatnya bawa dia kemari. Bila perlu keluarganya sekalian kamu boyong ke sini. Suruh dia menginap di sini, jamu dengan makanan enak, penuhi semua permintaannya, kalau perlu kamu ajak dia jalan-jalan ke tempat bersenang-senang sambil menunggu operasi.”
”Iya, Pak.”
”Kapan itu? Besok kalau bisa kamu ajak dia ke sini. Kemudian carikan rumah sakit terbaik untuk operasiku, dan minta dokter terbaik. Jangan seperti dokter-dokter kemarin yang kamu carikan itu, yang hanya mau uang-uangku saja.”
Abdulah menyanggupi dan ia mengajak calon pendonor kornea mata yang dijanjikan ke hadapan Ridwan esok siangnya. Seorang bocah desa yang kucel dengan pakaian kumal dan wajah yang tertutup daki. Bocah itu menggunakan sendal jepit yang talinya nyaris putus dan Ridwan menyambutnya dengan tertawa. Dia memeluk anak itu dan menanyakan nominal yang diminta keluarganya.
”Kata ibu dan bapak seikhlasnya saja.”
”Anak baik. Benar-benar masih polos dan berpikiran sederhana, ha-ha-ha...”
Anak itu hanya mengangguk tanpa bisa dilihat oleh Ridwan.
”Kalau kamu bisa membantu saya, kehidupan keluargamu akan meningkat dan terjamin. Tidak lagi tinggal di gubuk kumuh, kumal, daki. Keluargamu akan jadi orang paling kaya di desamu. Kamu mau, kan?”
Bocah itu hanya mengangguk tak tahu apa-apa.
”Hei, kamu mau tidak?”
”Iya, mau.”
”Bagus, harus begitu. Calon orang kaya harus bisa memilih.”
Dan anak desa itu menginap di sana dengan jaminan dan jamuan yang spesial.
***
Maka, hari operasi pun tiba. Ridwan sudah berada di rumah sakit yang paling mewah dan telah menjalani serangkaian pemeriksaan serta puasa. Alangkah bahagianya karena ia akan bisa kembali merebut dunianya yang selama ini dirampok kebutaan.
Dengan membayar tim dokter paling profesional dan ahli, Ridwan bisa menjalani operasinya dengan lancar.
Setelah menunggu beberapa hari, kini ia akan bisa melihat cahaya pertama. Maka setelah penutup matanya dibuka, ia pun berhasil merebut kembali dunianya. Ingin rasanya ia melompat-lompat di kamar rumah sakit bagaikan anak kecil merayakan kebahagiaan itu. Begitu girang dan bahagianya ia hari itu. Tentu saja orang pertama yang ia inginkan datang ke kamarnya untuk mendengar dan melihat kabar bahagia ini adalah Abdulah. Maka ia pun meminta agar Abdulah didatangkan ke kamar.
Seorang petugas rumah sakit memanggil dan mengajak Abdulah ke dalam kamar. Ia datang bersama petugas rumah sakit itu.
”Bagaimana sekarang, Pak? Apakah dunia masih terlihat indah setelah sekian lama Bapak tinggalkan?” Abdulah berkata sambil tersenyum.
Ridwan ternganga memandang wajah Abdulah. Apalagi saat memandang matanya.
Denpasar, Juni 2023
Supartika bernama lengkap I Putu Supartika, lahir di Karangasem, Bali, 16 Juni. Alumni Jurusan Pendidikan Matematika, Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha). Kini mengelola majalah sastra Bali Modern Suara Saking Bali, bukunya yang telah terbit Babi Babi Babi (novel, 2020).
Nandang Gumelar Wahyudi, lahir di Bandung tahun 1970, biasa dipanggil Nandanggawe. Proses keseniannya dimulai saat hijrah ke Yogyakarta pada 1986, menyelesaikan pendidikan seni secara formal di SMSR Yogyakarta (1990), STSI Bandung (2013) dan Pascasarjana ISBI Bandung (2017). Pada 1999 karya lukisnya mendapat penghargaan 10 terbaik Phillip Moris Indonesian Art Award, dan pada 2009-2010 menjadi nominee dalam kompetisi drawing di Kulturni Centar Zrenjanin-Kraljevo, serta karya video drawingnya tercatat dalam Triennial of Extended Art Media di Belgrade-Serbia. Pada 2011–sampai sekarang, Nandanggawe mendirikan DrawingClass212, mewadahi para seniman muda yang memiliki ketertarikan khusus untuk bersama-sama mengeksplorasi gagasan-gagasan baru seni melalui teknik drawing. Nandanggawe aktif berkarya dan berpameran dengan bebas, tanpa dibatasi oleh teknik dan medium tertentu, baik secara personal maupun komunal dalam komunitas seni eksperimental Invalid Urban visual art ensemble yang digagasnya sejak tahun 2000 di Bandung.