Pisang Kembar
Pikirannya dibayangi kata-kata ibunya agar tidak makan pisang kembar. Ia khawatir anaknya akan lahir kembar sebagaimana pisang itu.
Tengah malam ketika ia bangun, perutnya terasa lapar. Tenggorokannya kering, seperti tanah cadas dicekik terik matahari. Lidahnya berlumur liur yang ia telan kembali dengan rasa haus dan lapar yang terus mendera supaya perutnya sedikit terisi. Amina, istrinya, mendengkur di sampingnya. Sepintas ia lirik perutnya yang buncit.
”Sudah enam bulan. Semoga lahir dengan selamat.”
Ia bergumam. Sejenak tersenyum, lalu diam mematung, seolah ada pikiran yang seketika menghantuinya hingga membuatnya menganga, kedua bola matanya menatap kosong. Bermenit-menit.
”Uh!”
Lalu ia mengelus perutnya. Lapar dan haus dirasakannya kembali. Lekas tangan kanannya bergerak, hendak meraih makanan yang ada di atas meja, tepat di samping tempat tidurnya. Tapi tangan itu tiba-tiba berhenti sebelum menyentuh satu-satunya makanan yang tersisa di sebuah piring.
”Pisang kembar?”
Ia bimbang antara hendak memakannya atau tidak. Pikirannya dibayangi kata-kata ibunya agar tidak makan pisang kembar. Ia khawatir anaknya akan lahir kembar sebagaimana pisang itu. Tapi, malam itu ia merasa sangat lapar dan satu-satunya makanan yang tersedia hanyalah pisang kembar. Sedang pisang-pisang lainnya sudah tersisa kulit, karena sebelum tidur, istrinya memakannya dengan lahap, sambil membisikkan kata-kata, ”Semoga anak kita tidak kembar seperti kamu, Mas Iman!”
Malam itu istrinya tidur, ibunya tidak ada, dirinya sangat lapar, yang ada hanya pisang kembar.
”Apa salahnya jika pisang ini kumakan. Toh, itu semua mungkin hanya mitos belaka. Tapi...” Ia menatap perut istrinya yang buncit. Buncit sekali. Seperti hendak lahir besok pagi.
#
Sakiya jadi tenar lantaran ia punya anak kembar bernama Iman dan Imun. Ketenaran itu sebenarnya tidak terletak pada sisi kembarnya, tapi karena kedua anaknya itu sejak kecil selalu tidak akur. Selalu adu mulut. Kadang adu fisik.
Rumah Sakiya selalu ribut oleh pertengkaran dua anak itu yang nyaris terjadi setiap waktu. Ditambah dengan suara Sakiya yang keras dan kasar ketika melerai kedua anaknya. Saat Iman dan Imun sudah diam, biasanya Sakiya menangis sekeras-kerasnya sehingga keributan terus berlajut. Membuat beberapa tetangganya jengkel.
”Gara-gara makan pisang kembar,” ketus salah seorang tetangnya dengan dada sangat dongkol.
”Sudah tahu pisang kembar, tapi malah dimakan, akhirnya anaknya kembar juga, dan keduanya sama-sama nakal,” vonis yang lain.
”Ingat ya! Kamu jangan sampai makan pisang kembar. Biar anakmu tak kembar seperti kalian berdua ini. Biar tak selalu bertengkar. Biar tak ribut. Biar... huuuuuh,” teriak Sakiya di depan Iman dan Imun.
Yang diributkan Iman dan Imun tidak seperti yang diributkan anak-anak pada umumnya. Mereka tidak ribut karena berebut makanan dan mainan. Mereka sering ribut oleh hal-hal yang mestinya tak perlu diributkan anak-anak. Kadang ribut soal kenapa matahari terbit dari timur dan tenggelam ke barat. Kadang ribut soal kenapa buah kalau jatuh pasti ke bawah. Pernah juga ribut perihal kenapa Pak Bupati tidak pernah turun langsung ke sawah. Perihal roda kenapa bundar, dan hal lainnya yang ujungnya membuat keduanya adu mulut. Lalu Sakiya datang melerai, berteriak-teriak, dan di ujung kemarahannya pasti menyesali perbuatannya karena dulu pernah makan pisang kembar.
Dari saking seringnya mereka ribut, jika setengah hari saja rumah Sakiya sepi, biasanya tetangganya heran, dan bertanya-tanya, ”Sudah ke mana Iman dan Imun? Kenapa rumah itu tidak ribut?”
Seteru dan keributan antara Iman dan Imun ternyata tetap berlangsung meski keduanya sudah sama-sama remaja. Kali ini yang jadi sumber keributan malah hal-hal sepele yang mestinya tak perlu diributkan oleh anak remaja. Kadang ribut rebutan permen. Rebutan sendok makan yang gagangnya bergambar Tayo. Ribut soal bunga di halaman. Jika semua itu terjadi, sebagaimana biasa, Sakiya akan datang melerai. Suaranya jauh lebih ribut dari dua anak kembarnya. Dan ia masih meneriakkan penyesalannya karena terlanjur makan pisang kembar sehingg punya anak kembar.
Suatu ketika, saat Iman dan Imun sedang ribut, Sakiya datang membawa pisang kembar. Lalu pisang yang berdempetan itu dibelah dengan pisau di hadapan kedua anaknya itu, seolah mengutuk keras pisang yang kembar. Iman dan Imun hanya bisa menatap dan tak paham maksudnya.
#
Hari itu sebenarnya Sakiya tak bermaksud melawan mitos leluhur. Ketika dirinya sedang bersih-bersih di dalem (rumah) Kiai bersama teman akrabnya yang bernama Hani, tiba-tiba Bu Nyai datang menghampiri sambil ia jinjing tas plastik berisi pisang. Ia kemudian menyuruh Sakiya dan Hani untuk memakannya. Sebagai santri yang taat, tak ada respons lain dari Sakiya dan Hani selain mengangguk.
Ketika Bu Nyai pergi, Sakiya dan Hani langsung membuka plastik hitam yang tergeletak di atas meja. Setelah dibuka, Sakiya langsung terkejut saat ia lihat pisang-pisang yang ada di dalam plastik itu ternyata semuanya berdempet dua. Sedang Hani langsung saja mengulitinya dan segera menyodorkan sebiji pisang ke arah mulutnya, tapi Sakiya lekas menahan lengan Hani hingga pisang itu hanya henti searah bibir.
”Jangan dimakan!”
”Kenapa? Ini kan perintah guru, demi keberkahan.”
”Ini pisang kembar.”
”Terus kenapa kalau makan pisang kembar?”
”Kata tetua, nanti anak kita bisa kembar.”
”Jangan percaya itu. Ini perintah Bu Nyai, pasti baik. Yakinlah!”
Hani melanjutkan gerak tangannya dan begitu saja ia kunyah pisang kembar itu dengan lahap. Akhirnya Sakiya mengulitinya juga dengan pelan-pelan, masih dikendalikan oleh perasaan ragu; antara percaya mitos leluhur atau menaati perintah guru. Hari itu Sakiya pun berani memakan pisang kembar itu walau perasaannya masih ragu—masih bimbang.
#
Yang diributkan Iman dan Imun tidak seperti yang diributkan anak-anak pada umumnya. Mereka tidak ribut karena berebut makanan dan mainan. Mereka sering ribut oleh hal-hal yang mestinya tak perlu diributkan anak-anak. Kadang ribut soal kenapa matahari terbit dari timur dan tenggelam ke barat. Kadang ribut soal kenapa buah kalau jatuh pasti ke bawah. Pernah juga ribut perihal kenapa Pak Bupati tidak pernah turun langsung ke sawah. Perihal roda kenapa bundar, dan hal lainnya yang ujungnya membuat keduanya adu mulut.
Saat Sakiya melahirkan bayi kembar, ia segera menelepon Hani sambil menyalahkannya dengan kata-kata kasar. Sakiya menganggap Hani sebagai penyebab nasib yang menimpa dirinya karena melahirkan bayi kembar.
”Gara-gara kamu menyuruhku makan pisang kembar dulu saat kita di pesantren, akhirnya aku benar-benar punya anak kembar. Andai tak kuikuti saranmu, pasti tak akan seperti ini.”
Dari sejak awal sampai 30 menit selanjutnya, Sakiya terus mendominasi percakapan sambil bentak-bentak. Sedang Hani hanya bisa mengucapkan dua hingga tiga kata, selebihnya ia hanya terdiam dan tersenyum di ujung telepon.
Ketika Sakiya puas atau mungkin sudah lelah berbicara, suaranya mulai mereda, berganti napas sengal yang mirip dengus sapi. Saat itulah Hani baru bisa bicara.
”Dengarkan baik-baik, Kiya. Sekarang saatnya aku yang bicara. Aku yang sering makan pisang kembar sejak dulu sampai kini sebetulnya karena ingin punya anak kembar, tapi anakku tak pernah kembar.”
#
Baca juga: Ini Tentang Yan
Amina kerap mengguncang-guncang bahu Iman untuk mengaku secara jujur apakah suaminya itu sudah makan pisang kembar atau tidak. Ia melakukannya sejak ia curiga kalau Iman telah makan pisang kembar karena suatu pagi—saat ia baru menikah—di piring yang ada di atas meja itu semua pisang tinggal kulitnya, padahal malam harinya ada satu pisang kembar yang tersisa.
Bagaimanapun tanya yang dikeluarkan Amina, Iman tetap bersikukuh bahwa dirinya tidak makan pisang kembar itu.
”Lantas ke mana pisang kembar itu, kok pagi-pagi sudah tak ada?” protes Amina dengan raut yang bingung.
”Mana aku tahu?” Iman mengangkat kedua tangan dan dibuka ke samping.
”Ya sudah. Yang penting Mas Iman benar-benar tidak memakannya, biar anak kita tidak kembar,” balas Amina dingin.
”Ya, aku juga berharap demikian,” ucap Iman sembari mengingat kejadian malam itu, saat dirinya lapar, dan satu-satunya makanan yang tersedia hanya pisang kembar. Iman bergidik.
#
Amina kini sering menangis di pangkuan Iman sambil minta pisang kembar. Tak hanya itu, ia juga menyuruh Iman agar sering memakan pisang kembar. Ia berubah jadi ingin punya anak kembar setelah dokter menyatakan bahwa Amina tidak boleh punya anak lagi di atas usia 32 tahun karena akan berakibat fatal dan bisa mengancam nyawanya. Itu artinya, ia hanya boleh hamil satu kali.
”Setelah anak ini lahir, kita tak akan punya anak lagi karena aku tak boleh hamil lagi. aku ingin anak kita ini kembar, bahkan meski kembar tiga juga tak apa-apa, Mas. Jadi, kita harus rajin makan pisang kembar, Mas.”
”Iya, Dik. Aku sudah rajin makan pisang kembar. Bahkan malam itu, ketika kita baru menikah, saat di samping kita ada pisang kembar, sebenarnya aku yang memakannya karena sangat lapar,” aku Iman dengan wajah yang malu-malu karena selama ini ia berbohong.
”Oh, jadi pisang itu Mas Iman yang memakannya?”
Iman mengangguk sambil tersenyum. Amina langsung memeluknya.
”Yes! Anak kita pasti kembar, Mas!”
”Ya, pasti. Apalagi ibu juga sering memberikanmu pisang kembar.”
#
Amina terus menjerit-jerit karena sakit perut hendak melahirkan. Sudah hampir dua jam ia hanya bisa menangis dan meronta-ronta di ruang persalinan. Iman dan Sakiya ada di sampingnya; semua berdoa agar Amina lahir selamat. Sesekali mitos pisang kembar menggelayuti ingatan mereka. Sakiya bahkan mengingat dengan tajam; sudah 31 pisang kembar yang ia berikan kepada menantunya itu.
Dengan pisang kembar, semua berharap agar Amina melahirkan bayi kembar.
Beberapa saat setelah melewati menit-menit yang menegangkan, akhirnya Amina melahirkan. Tapi bayinya tidak kembar, tidak menangis, dan juga tidak bernyawa.
Rumah Filzaibel, 2022
Rumah Kiai
***
A Warits Rovi. Lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, dan artikel dimuat di berbagai media,antara lain Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, Majas, Sindo, dan Majalah Femina. Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra tingkat nasional.Buku cerpennya yang telah terbit, ”Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018). Buku puisinya adalah ”Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020), ”Bertetangga Bulan” (Hyang Pustaka, 2022). Sementara buku puisinya yang berjudul ”Ketika Kesunyian Pecah Jadi Ribuan Kaca Jendela” memenangi lomba buku puisi Pekan Literasi Bank Indonesia Purwokerto 2020. Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura.