Wajah mudanya sudah lama terpulas waktu. Ia memandang cermin, mencoba mengulik perjalanan dari raut kesegaran dan elastisitas kulit yang pernah menutupi tulang tengkorak wajahnya. Ada kenangan yang dulu pernah ia miliki kembali menguak dari ingatannya, sesekali bagai tampilan potongan-potongan kisah film yang terpecah menjadi beberapa masa nan epik. Ada satu adegan kala kemudaan menjadi sorot dari beberapa pasang mata yang memuji kecantikan ragawi saat melekat kuat di raganya. Ada pula perjalanan masa saat sang suami menatap kuat di keelokkan dan sintalnya tubuh yang pernah ia miliki. Namun, keluh itu pada akhirnya menukik pada napas panjang tanpa suara, mencari segala tampilan keindahan yang pernah ada.
Sesungguhnya ia ingin memutar waktu. Menuntunnya kembali ke pusaran awal. Namun, itu hanya sebatas keinginan. Absurditas kehidupan telah membawanya pada satu titik proses pengejawantahan dari yang ada akan menjadi tiada. Ia menyadari hal itu. Dari tanah akan menjadi tanah. Jasad mengikuti proses pembentukan alam, alamiah dan akan mengikuti alur yang ada. Bergabung dengan segala kutu dan belatung hingga akhirnya kata ‘manusia’ hanya akan menjadi beberapa kalimat dari bait-bait puisi yang pernah dia tulis. Entah larik puisi itu akan dikenang atau tidak, dia tidak tahu. Yang pasti, segala atribut penyerta dari harta dunia seperti uang, emas, berlian, mutiara, rumah-rumah dan benda tak bergerak lainnya, lebih memukau untuk mereka yang pernah mengetahuinya. Atau barangkali juga dia akan dianggap sebagai seonggok tubuh manula yang masih memiliki daya pikat ketika semua benda itu belum dituliskannya pada selembar surat kuasa dari pembagian warisan yang dia miliki. Inilah salah satu sebab, mengapa dia masih menilai dari sosok-sosok yang mendekati dirinya bagai semut mencari seonggok gula. ”Aku akan memulainya dengan penuh strategi, akan kumasukkan segala gestur yang paling manipulatif dari seluruh kehidupan yang pernah kujalani. Agar ketika waktuku tiba, aku bisa tahu siapa saja dari mereka yang benar-benar tulus mengasihiku, siapa yang hanya berpura-pura dengan mengincar semua harta dunia milikku,” ujarnya dalam hati.
Kemudian waktu memberi nama Demensia padanya. Nama itu dia terima tanpa sanggahan bercampur dengan suara lantang. Dia terlihat pasrah dan penurut. Peristiwa demi peristiwa berlalu tanpa ada gejolak kisah yang membuatnya memperhatikan sebuah percakapan dengan antusias penuh. Para saudara yang menemaninya, mulai mendeteksi perkembangan yang terjadi. Ketika ia bertanya, ”Namaku sekarang Demensia, ya? Ke mana namaku yang dulu? Aku rindu padanya.”
Awalnya, sang anak, yang merupakan satu-satunya putra yang ia miliki, memandang curiga padanya. Ia menduga ibunya hanya berakting. Waktu yang bergulir perlahan, membuatnya mulai gundah kala melihat sang ibu bersikap tidak seperti ibunya yang dahulu. Cerita masa lalu hanya memiliki topik yang monoton, kurang mengasyikkan. Ia kerap menanyakan para orangtua yang telah pergi dari bumi dan terbang ke awan-gemawan sana, apakah mereka akan selalu seperti itu sebelum meninggalkan bumi? Apakah memori masa lalu lebih kuat tertanam di benaknya ketimbang ingatannya tentang si anak dan suaminya. Sesekali sang anak mendengarnya berkata, siapa lelaki tinggi berwajah bule yang selalu ada di sisinya.
”Tidakkah kau ingat kalau dia itu suamimu, Ibu?” tanya putranya.
Sang ibu berpikir keras, mencoba menata rekahan-rekahan kenangan yang ada di ingatannya. Lalu katanya pada sang anak, ”Aku menyerah, aku tidak ingat lagi siapa lelaki itu. Kalau tentang kau, ingatanku masih terpatri pada sosok bayi yang pernah kususui. Apakah kau memang benar bayi yang pernah menjadi anakku?” tanyanya dengan tatapan serius.
Sang anak murung. Matanya berkaca-kaca. Perempuan berusia sekitar delapan puluh tahun yang ada di hadapannya terlihat rapuh dan linglung. Namun, wajahnya tidak menunjukkan kalau ia sakit. ”Maaf, siapa namamu?” tanyanya serius lagi sambil menatap lelaki berusia tiga puluh lima tahun yang ada di hadapannya.
”Aku Johan, putramu, Ibu,” jawab lelaki itu.
”Hm… Johan…” si ibu yang diberi nama Demensia ini diam sejenak, sepertinya ia berusaha menemukan jejak ingatannya yang hilang. Dan waktu bergulir dengan perkasa. Perasaan Demensia kian terpatri di seluruh rangkaian raga yang sesungguhnya akrab disapa Atine ini. Tampaknya sekumpulan gejala yang memengaruhi kemampuan fungsi kognitif otak untuk mengingat, berpikir, bertingkah laku, dan berbicara mulai mengalami penurunan.
Johan merenung bersama tetes air mata yang ia sembunyikan. Ia ngeri membayangkan bila Demensia terserang alzeheimer benar-benar datang menyergap ibunya. Minggu lalu ketika ia memeriksakan sang bunda di sebuah klinik. Hasil yang ia dapatkan sungguh mengguncang raganya. ”Ibumu mengalami gangguan di pembuluh darah otak. Ada kerusakan pada sel saraf dan hubungan antarsaraf di otaknya. Daya ingatnya akan menurun, beberapa bulan lagi alzheimer menyerangnya. Jadi rawatlah ia dengan penuh kasih sayang. Depresi salah satu sebab mengapa ia mengalami perubahan daya ingat,” ujar dokter saraf yang memeriksa ibunya.
Sejurus waktu yang menerjangnya, kian membuat Demensia bagai berada di ujung lorong gelap tak berujung. Fatalitas kecemasan yang datang kemudian menggiring nalar pada kebuntuan sejarah perilaku yang pernah ia lalui. Demensia kian terpuruk pada kisah kemanusiaan yang berangkat pada aktivitas di titik nol. Ia berusaha merangsek kuat, perlahan mencari tahu siapa dia dan siapa sosok-sosok yang ada di hadapannya. Tapi semua sia-sia, semua kian memudar bagai kisah perjalanan yang jejaknya terhapus oleh pasir gurun. Demensia terpuruk, merana dalam kesendirian.
“Maafkan, saya tak tahu kalau saya tidak memakai pampers, kotoran yang keluar dari tubuh saya tak kuasa saya pertahankan,” ujarnya tanpa rasa bersalah. ”Siapa kamu? Mengapa kamu ada di rumahku? Kamu telah mencuri perhiasan mutiaraku? Ayo mengaku, kamu pasti yang telah mengambilnya!” tuduhnya pada sang kemenakan yang merawatnya. ”Darimana kau mendapatkan ayam goreng ini? Pasti kau telah membunuh ayam-ayam peliharaanku di kandang belakang, ya?” katanya lagi dengan nada suara yang ketus.
Kemudian Demensia mengulik kisahnya saat ia masih kanak-kanak. Ia meminta para adik yang berada di sampingnya untuk menuturkan tentang peristwa kala ia remaja dan dewasa. Ia bertanya apakah ia pernah menikah dan memiliki anak? Dua lelaki, bertubuh tinggi dan gagah, menatapnya iba. Demensia sama sekali tidak mengenalnya, mereka suami dan putranya.
Dan keadaan kembali ke putaran semula. Demensia meminta dibelikan kursi roda, ia mengaku tak bisa berjalan. Nama suami, anak-anak, menantu, dan para cucunya tak ia ingat lagi. Bahkan, kisah tentang ia yang pernah cantik, si ratu dansa, pekerja keras di sebuah kedutaan asing, sekelumit pun tak pernah muncul dalam ingatannya. ”Mengapa kalian tidak memberiku makan? Kalian jahat sekali telah menyia-nyiakan aku!” ucapnya dengan suara meninggi.
”Lho, Bibi baru saja saya suapi, makan pakai ikan bakar dan sayur asem, ini bekas piringnya,” unjuk sang kemenakan.
Demensia terdiam sesaat. Lalu katanya, ”Tapi aku masih lapar, cepat suapi aku nasi dan ikan lagi!”
Baca juga: Siasat Ki Juru Martani
Seluruh isi rumah tidak menggubris permintaannya. Sebab, seperti yang sudah-sudah, jika semua kemauannya dituruti, setengah badannya akan penuh tinja, dia akan diare tersebab seluruh ususnya tak kuat menampung pasokan beragam makanan yang masuk melalui mulutnya. Sinyal otak untuk mengirim pesan pada mulut saat menerima makanan lagi tidak sesuai dengan kondisi isi perut yang sudah aus mengikuti usia tua serta penyakit otak yang telah membuatnya melupakan tentang wujud dari siklus kehidupan manusia, yaitu kecil, dewasa, tua, lalu mati. Siklus kehidupan ini mulai menyiksa Demensia. ”Aku sakit perut, pampersku sudah penuh, barusan air seniku tumpah membasahi seluruh bokongku. Tolong diganti, rasanya tak nyaman,” katanya dengan wajah meringis.
Selanjutnya Demensia mengayuh lakon dari skenario kehidupan yang terkadang memunculkan sensasi absurd dari perilaku yang semula tak pernah ada di dirinya. Ia meninggalkan kursi rodanya. Pergi entah kemana. Seluruh isi rumah geger. Ketakutan mulai melanda. Perempuan tua berusia delapan puluh tahun lebih itu lenyap tanpa jejak. Dia memang tidak lumpuh, namun dia kerap mengeluhkan kakinya sakit dan tidak bisa berdiri lama. ”Sepertinya aku akan lumpuh,” katanya waktu itu.
Tapi kini dia hilang. Benar-benar menhilang!
Berhari, berminggu, bahkan berbulan, Demensia bagai lenyap ditelan bumi. Seluruh rumah jompo, tempat-tempat terminal bus, mal, stasiun kereta api, dan tempat keramaian lainnya telah ditelusuri. Namun, sosok Demensia tetap tak terlihat. Rasa khawatir berkecamuk bercampur dengan tanya yang berkelindan. Siapa yang akan mengganti pampers Demensia? Siapa yang akan memberinya makan, siapa yang memandikannya, bagaimana jika kakinya tiba-tiba lumpuh? Ingatannya yang mulai hilang, siapa dia, siapa nama sesungguhnya, di mana dia berada, dan gabungan dari tanya berbaur rasa bersalah yang tak termaafkan menjadi sesal tak berkesudahan. Sang suami, sang putra, bertanya pada Ilahi, kapan sang Demensia kembali? Tanya itu hanya bersarang pada harapan.
***
Nama lengkap Fanny Jonathans Poyk (Fanny J Poyk), lahir di Bima, Sumbawa. Menulis cerita anak dan puisi sejak tahun tahun 1973/1977 di majalah anak Bobo, Tom Tom, Halo, Ananda, kolom Sahabatku Sinar Harapan, kolom anak Suara Karya, majalah anak Kuncung, dan lain-lain. Menulis cerita dewasa/remaja di majalah Sarinah, Pertiwi, Puteri Indonesia, Gadis, Kartini, suratkabar Sinar Harapan, Jurnal Nasional, Suara Karya, Pikiran Rakyat, Bali Post, Surabaya Post, Kompas, Jawa Pos, Dalang Publishing (Amerika Serikat), Timor Expres, Koran Ekspres Sabah Kinabalu, dan lain-lain. Fanny tinggal di Depok dan masih terus menulis.