Siasat Ki Juru Martani
Sutawijaya kembali memacu kudanya memunggungi cahaya matahari. Arya Penangsang masih berusaha menenangkan kudanya yang kian tidak terkendali.
Malam mengundang sepi, merambat naik dan makin tua usianya. Ki Juru Martani belum beranjak dari tempat duduknya setelah berjam-jam lamanya bersemadi. Sambil mendongak ditatapnya gemintang yang kelap-kelip diminyaki bulan purnama. Berharap Penguasa Mayapada menurunkan ilham untuk dirinya. Tanpa petunjuk-Nya, dirinya bagai orang buta yang kehilangan tongkatnya.
Seketika seberkas cahaya rembulan jatuh menyentuh wajahnya yang mulai pasi bagai mayat. Bersamaan dengan itu, embusan angin malam merayap menyergap tubuhnya yang sudah payah.
Ki Juri Martani memejamkan matanya. Ia merasakan sesuatu telah masuk ke dalam kalbunya untuk menuntun pikirannya yang gelap.
”Apa yang harus aku lakukan sekarang,” pikirnya.
Sebagai seorang penasihat di Pajang, ia ikut merasakan betapa beratnya memikul permasalahan kerajaan yang diletakan di atas pundaknya. Ia pusing setengah mati memikirkan siasat bagaimana caranya membantu Sutawijya agar dapat mengalahkan Arya Penangsang.
Beberapa hari yang lalu Adipati Hadiwijaya menemui iparnya Retna Kencana yang sedang bertapa di lereng bukit. Dari situ tersingkap rahasia jika dendam perempuan yang digelari Ratu Kalinyamat itu belum sirna. Mungkin Tuhan memaafkan, tetapi dia tidak. Amarahnya masih berkobar yang tampak dari guratan wajahnya.
Ki Juru Martani memaklumi kemarahan Ratu Kalinyamat. Sebagai seorang istri, ia masih sakit hati karena ulah Adipati Arya Penangsang yang telah membunuh suaminya, Sultan Hadlirin. Atas alasan itu ia merawat dendamnya, menjaganya supaya tetap menyala.
Dengan penuh ratapan ia memohon kepada Adipati Hadiwijaya agar berkenan untuk membalaskan dendamnya—membelas rasa sakit hatinya yang begitu perih. Bagai permintaan seorang pengemis paling iba yang memohon derma di kaki bangsawan ia berujar sambil memunggungi Adipati Hadiwijaya.
”Disaksikan air mataku yang tidak berhenti mengalir ini, aku mohon bunuh Arya Penangsang secepatnya. Jika Adimas takut dengan keris Setan Kober miliknya, maka buatlah sayembara. Aku akan menyerahkan Jepara bagi siapa saja yang berhasil memisahkan ruh Arya Penangsang dari jasadnya.”
Dengan bahasa yang halus Adipati Hadiwijaya menolak permintaan Ratu Kalinyamat. Ia segan untuk menunjukkan sikap bermusuhannya secara terbuka dengan Adipati Arya Penangsang. Baginya, dirinya hanyalah menantu Sultan Trenggono. Lebih dari itu, ia tidak mau menyakiti hati Kanjeng Sunan Kudus. Mengingat, Arya Penangsang adalah murid kesayangannya.
”Kota Pati dan Alas Mentaok juga akan aku serahkan,” seru Sultan Hadiwijaya tanpa berani melihat perempuan yang sudah berbulan-bulan lamanya tinggal di dalam gua tanpa sehelai pakaian pun menutupi tubuhnya. Ia berharap jawabannya dapat sedikit menenangkan hati Ratu Kalinyamat.
***
Baca juga: Setelah 60 Tahun Menunggu Godot
Waktu yang dinantikan pun tiba. Saat matahari mulai condong ke Barat dan pancaran sinarnya membuat bayangan memanjang, Ki Juru Martani memimpin pasukannya berangkat ke sungai Bengawan Solo. Di tengah perjalanan ia menangkap seseorang yang dicurigai telik sandi Arya Penangsang. Tanpa ampun ia langsung saja melukai telinganya.
”Bawa sepucuk surat ini untuk Adipati Arya Penangsang. Sampaikan padanya Adipati Hadiwijaya menantangnya perang tanding di sungai Bengawan Solo sekarang,” bentak Ki Juru Martani.
Di kedatonnya Arya Penangsang begitu murka membaca sepucuk surat tantangan dari Hadiwijaya. Dicabik-cabiknya surat itu, kemudian diinjak-injaknya. Napas naik turun saat ia berujar lantang: ”Kurang ajar kau Hadiwijaya beraninya menantangku.”
Patih Matahun mempunyai firasat lain. ”Sabar, Kanjeng Adipati. Jangan ke gabah.”
”Prajurit siapkan Gagak Rimang,” perintah Arya Penangsang dengan wajah merah padam bagai bara. Ia tidak peduli dengan nasihat senapatinya.
”Setidaknya tunggu senjakala. Adipati Arya Penangsang juga belum menyempurnakan puasa empat puluh hari untuk mendapatkan kesaktiannya kembali karena tuah rajah kalacakra.”
”Kesabaranku sudah habis. Paman tidak usah khawatir, aku akan mengajari Hadiwijaya bagaimana seharusnya menjadi seorang kesatria.”
Patih Matahun diam tak dapat mencegah junjungannya yang sudah melenggang di atas punggung Gagak Rimang.
Benar-benar kesatria Arya Penangsang datang seorang diri. Sebelum senapatinya menyusul membawa pasukannya.
Sesampainya di Bengawan Solo Arya Penangsang berteriak memanggil Hadiwijaya. Lalu ia mendekat ke tepi sungai. Dari kejauhan di atas punggung kuda betinanya, Sutawijaya muncul. Ia menggerakkan kudanya, meringkik, menyepak kemudian membokongi Gagak Rimang. Seketika Gagak Rimang bertingkah tak wajar melihat kuda betina di hadapannya. Tanpa diperintah Gagak Rimang menerjang sungai Bengawan Solo.
Betapa terkejut Sutawijaya melihat Gagak Rimang membelah sungai Bengawan Solo. Betapa gagahnya, kata Sutawijaya terkesima.
Tiba-tiba saja ratusan anak panah keluar dari dalam hutan menerjang tubuh Arya Penangsang sebelum kaki kudanya meraih daratan. Tetapi tidak satu pun anak panah yang melukai tubuh Adipati Jipang itu.
”Apa kalian pikir dengan mainan anak-anak seperti ini bisa membunuhku. Di mana Hadiwijaya?” bentak Arya Penangsang.
”Aku lawanmu, Paman,” balas Sutawijaya masih di punggung kuda betinanya.
”Aku hanya mau bertarung dengan Hadiwijaya. Aku tidak sudi mengotori lenganku hanya untuk meladeni anak ingusan sepertimu. Pulanglah dan panggil Romomu.”
”Tidak, Paman, akulah lawanmu. Aku malaikat pencabut nyawa yang diutus Romoku untuk menghabisimu Paman.”
”Kurang ajar!”
Sutawijaya memacu kudanya ke arah Barat menuruti perintah Ki Juru Martani. Gagak Rimang mengejarnya. Di tanah lapang Gagak Rimang mengangkat naik kedua kakinya berjingkrak-jingkrak hingga tuannya kehilangan kendali.
”Ada apa Gagak Rimang. Tenang Gagak Rimang,” Arya Penangsang mencoba menenangkan kuda kesayangannya.
Tiba-tiba Sutawijaya menerjangkan tombaknya ke tubuh Arya Penangsang. Dengan satu gerakan cepat Arya Penangsang berhasil menghindar dari kematian.
”Kurang ajar! Licik!” Betapa marahnya Arya Penangsang setelah mengetahui siasat lawannya yang menggunakan kuda betina.
Sutawijaya kembali memacu kudanya memunggungi cahaya matahari. Arya Penangsang masih berusaha menenangkan kudanya yang kian tidak terkendali. Saat melihat Sutawijaya pandangan mata Arya Penangsang menjadi kabur karena sengatan cahaya matahari. Sutawijaya kembali menerjangnya dan kali ini tombak Kyai Plered berhasil melukai sisi kiri perut Arya Penangsang.
Arya Penangsang mengerang kesakitan setelah jatuh tersungkur dari kudanya. Ususnya terburai keluar. Darah mengucur.
”Tombak pusaka rupanya,” gumamnya sambil mengerang. Kemudian ia melilitkan ususnya ke gagang Keris Setan kober di pinggangnya.
Arya Penangsang begitu jengkel dipermainkan oleh anak ingusan. Belum pernah sekalipun ia merasa terhina seperti sekarang ini. Mendadak matanya menjadi merah bagai kerbau marah yang siap menanduk apa saja di depannya. Sambil menggeram ia memburu Sutawijaya. Meski dalam kondisi terluka ia berhasil meringkus anak angkat musuh bebuyutan itu dan memukulnya hingga Sutawijaya terlempar lima tombak jaraknya.
Ia bangkit dan kembali menyerangnya. Sekali lagi, ia terjungkal kena pukulan Arya Penangsang yang membuat wajahnya babak belur. Kini Sutawijaya terdesak. Ia tidak menyangka Arya Penangsang masih kokoh berdiri bagai pilar meski tubuhnya terluka parah. Dengan sisa tenaganya Arya Penangsang mencekik Sutawijaya tanpa ampun.
Melihat Sutawijaya dalam mara bahaya, Ki Juru Martani, Ki Panjawi, dan Ki Ageng Pemanahan segera berlari untuk menolongnya.
Dari kejauhan suara azan terdengar sayup-sayup. Kesakitan Arya Penangsang pulang ke tubuhnya.
Melihat tiga orang tua berlari ke arahnya, Arya Penangsang tertawa terbahak-bahak. ”Bahkan separuh kesakitanku lebih dari cukup untuk menghabisi tiga orang jompo seperti kalian,” ujarnya jemawa.
Mengetahui kesakitan Arya Penangsang telah pulih, Ki Juru Martani panik. Gentar. Keberaniannya seketika lenyap begitu saja bagai angin. Dan benar saja Arya Penangsang laksana harimau lapar yang dengan mudah mengoyak-oyak tubuh Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi hingga keduanya terpelanting sepuluh langkah jauhnya.
Sutawijaya bangkit berusaha melawan Arya Penangsang sekali lagi. Kembali ia tersungkur oleh sepakan Arya Penangsang yang sangat kuat. Ia merasakan tulangnya ngilu. Dadanya sesak. Bekas kaki Arya Penangsang membekas di atas perutnya.
”Yang kita hadapi bukan manusia, Paman,” kata Sutawijaya sambil memegangi dadanya.
Meladeninya secara langsung ialah hal konyol. Itu sama saja dengan bunuh diri. Hanya Sultan Hadiwijaya yang dapat menandingi kesaktiannya, pikir Ki Juru Martani.
”Mengapa diam orang tua. Silakan bagian tubuh mana yang ingin kau jajal,” seru Arya Penangsang.
”Kesombonganmu akan menenggelamkanmu,” balasnya sambil memasang kuda-kuda.
”Kesombonganku bahkan masih di bawah separuh jurusku.”
Ki Juru Martani memberi aba-aba kepada prajuritnya untuk menyerang.
Baca juga: Pertemuan dengan Bapak
Bagai bocah-bocah kecil di hadapan raksasa, dengan mudahnya Arya Penangsang menghabisi prajurit Pajang.
Mayat bergelimpangan. Mereka tewas dengan cara yang sia-sia.
Hahaha... Tawa Arya Penangsang meledak.
”Sebagai seorang kesatria, senjata pusaka harus dilawan dengan senjata pusaka pula. Cabut keris pusakamu. Kita buktikan pusaka siapa yang lebih sakit. Tombak Kyai Plered Adipati Hadiwijaya atau Keris Setan kober milikmu,” tantang Ki Juru Martani setelah meraih tombak Kyai Plered yang terpental jauh. Ia berjalan pelan memutari lawannya dengan tombak Kyai Plered yang sudah siap menerjangnya jika Arya Penangsang tiba-tiba menyerangnya.
Mendengar nama musuh bebuyutan disebut bertambah marah Arya Penangsang mendengarnya. Tanpa pikir panjang ia mencabut keris pusakanya setelah termakan oleh tipu daya Ki Juru Martani. Baru saja Arya Penangsang menghunus kerisnya, tiba-tiba ia menjerit kesakitan. Tanpa disadari keris yang ia banggakan telah memotong ususnya yang sebelumnya tersampir di gagangnya.
Arya Penangsang ambruk. Lututnya bertumpu ke tanah. Tangan kirinya memegangi ususnya yang terpotong akibat senjata pusakanya sendiri. Sedangkan tangan kanannya masih menggenggam erat keris setan kober yang menancap di tanah basah menjaga tubuh tuannya agar tidak rebah.
Dari kejauhan Patih Matahun yang menyaksikan junjungannya tewas kemudian berujar kepada para prajuritnya sebelum melakukan bela pati: ”Tidak ada seorang pun yang dapat mengalahkan Adipati Arya Penangsang kecuali dirinya sendiri. Lihatlah betapa gagahnya, bahkan dalam kematiannya sekalipun ia menolak tunduk di bawah kaki para musuhnya.”
***
Ade Mulyono, lahir di Tegal. Prosais dan esais. Beberapa cerpennya dimuat di Kompas, Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, dan Majalah Harmoni. Menyelesaikan sarjana sastra di Universitas Pamulang, Banten. Buku terbarunya Jingga (2023).