Menjadi Burung Pingai dalam Lima Babak
Perintah Wali Kota Sukapadu, Rizman Teguh, menghentikan laju mobil menuju Balai Kota. Wajahnya menyiratkan kegeraman, kala mobil dinasnya tiba-tiba ditembaki tahi burung di Jalan Merdeka.
”Bagaimana keputusan kalian semua? Apakah kita langsung menghukum manusia yang menyebabkan banyak kerusakan di kota ini? Jika saya menjadi kalian, tentu tak akan kupikir-pikir panjang untuk memberi balasan setimpal padanya,” pekik salah seorang pendemo secara berapi-api dan diikuti teriakan masyarakat lainnya. Posisinya kini terkepung di tengah mereka. Semakin terancam.
Babak Pertama – Awal Mula
”Berhenti.”
Perintah Wali Kota Sukapadu, Rizman Teguh, menghentikan laju mobil yang ia tumpangi menuju Balai Kota. Wajahnya menyiratkan kegeraman, kala mobil dinas yang disopiri oleh asistennya, Badrun, tiba-tiba ditembaki tahi burung saat memasuki Jalan Merdeka. Kaca mobilnya yang semula mengkilap, kini tercorak oleh cairan kuning keputihan itu. Tak hanya sekali, bahkan ”tembakan” itu menyasar bagian depan-atas-belakang mobil secara bersamaan hingga belasan kali. Badrun dan Wali Kota hanya ternganga dibuatnya.
Tersebab kotoran laknat itu mengganggu pandangan kemudi, Badrun terpaksa meminggirkan mobil pada sebuah toko kosong berkanopi. Ia mengelap kotoran-kotoran itu dengan kanebo yang ia simpan, meski tak membersihkan—justru memperkeruh—hingga merata ke seluruh kaca sebab tak membawa banyak air. Wajah Badrun semakin gusar.
Dari balik jendela mobil, kedua mata Wali Kota terus menyorot tajam ke arah aspal. Seluruh permukaan jalan hampir dipenuhi bercak tahi, bahkan warnanya lebih beragam, ada yang kehijauan, kekuningan, juga putih murni. Mata Wali Kota masih terbelalak pada apa yang disaksikannya kini, sebuah fenomena baru terjadi di Kota Sukapadu: ribuan burung pingai saling bertengger, berjejalan, hingga beterbangan ke sana kemari. Mereka memenuhi seluruh kabel listrik serta hiasan tali yang membentang di sepanjang Jalan Merdeka, jalan yang ujungnya berdiri megah gedung Balai Kota. Bahkan, langit yang semula berwarna biru itu, kini kelabu tertutupi oleh burung-burung itu.
Pandangan Wali Kota juga tak lepas dari puluhan manusia yang berjalan sembari mengenakan sepatu bot, jas hujan plastik beragam warna, payung, serta bermasker. Mereka berjalan cepat di atas trotoar yang tak luput oleh bercak tahi itu. Tatapan Wali Kota pun dibuyarkan oleh sebuah kotoran baru yang menyembur tepat di wajahnya dari balik kaca. Ia tak henti-hentinya mengumpat.
”Tahi!”
**
Babak Kedua – Asal Masalah
Beberapa lembar foto dilempar seketika di atas meja yang lebar. Wajah Wali Kota tampak merah dan kedua tangannya mengepal erat. Di hadapannya berdiri sepuluh Tim Ahli Dinas Perkotaan yang membawa map sambil tertunduk lesu.
”Bagaimana bisa burung-burung itu memadati seluruh jalanan kita?” omel Wali Kota sembari mengusap wajahnya beberapa kali.
”Begini, Tuan Wali Kota. Berdasarkan pengamatan kami. Keberadaan mereka disebabkan adanya migrasi dari beberapa negara Asia lainnya, akibat habitat aslinya telah rusak. Sementara itu, Kabupaten Margoweni yang pada mulanya mereka gunakan sebagai tempat singgah, kini tak lagi ditempati akibat suhunya yang berubah ekstrem menjadi dingin. Intinya, mereka tengah mencari kehangatan di sini, Tuan.”
”Berapa jumlah mereka?”
”Perkiraan kami, sekitar tiga ratus ribu burung.”
”Tidak mungkin. Saya tadi lihat sendiri di sepanjang Jalan Merdeka, jumlah mereka tak sebanyak itu.”
”Masalahnya, burung-burung itu tak hanya memadati sepanjang Jalan Merdeka saja, Tuan, tetapi semua jalan dan rumah di Sukapadu telah mereka datangi, bahkan perkiraan kami dalam beberapa jam ke depan, jumlahnya bisa mencapai lima ratus ribu.”
Alis Wali Kota semakin meruncing. Kedua tangannya semakin mengepal kuat.
”Saya curiga. Jangan-jangan ini konspirasi agar Sukapadu gagal dapat piala. Siapa lagi dalangnya kalau bukan dari Margoweni dan Tirtoyoso. Kota mereka kan cuma wilayah panas dan gersang, tak seperti Sukapadu ini, yang meski panas, tetapi tanahnya tetap subur. Mereka tidak suka jika Sukapadu menang Piala Kebersihan lima kali berturut-turut.”
Kesepuluh orang itu hanya saling memandang sembari mengernyitkan dahi. Mulut mereka seolah ingin menyanggah, namun tetap saja diam dengan pandangan tak beralih dari Sang Wali Kota.
”Lalu, bagaimana solusi kalian untuk menyelesaikan masalah ini?”
”Saran dari kami adalah dengan cara menangkapnya, Tuan, lalu dipindahkan ke pulau buatan di seberang Margoweni. Kami telah mengecek bahwa pulau tersebut suhunya masih stabil.”
”Jika ingin ditangkap, butuh anggaran berapa?”
Tampak dari mereka telah menyiapkan seseorang yang khusus didatangkan untuk menjawab pertanyaan itu. Setelah tangannya mencorat-coret pada sebuah buku catatan seukuran telapak tangan, barulah ia temukan jawabannya.
”Lima ratus juta rupiah, Tuan.”
Mata Wali Kota terbelalak kaget. Alisnya meruncing.
”Kok bisa semahal itu? Untuk apa saja?”
”Untuk pembiayaan alat penangkaran, perawatan, dan membayar tiga ratus ahli pemetaan yang akan ditugaskan di Hutan Buatan, dan juga setiap sudut kota, Tuan, mengingat invasi burung ini telah menguasai delapan puluh persen wilayah di Sukapadu ini. Jika tak segera ditangani, maka bisa dipastikan jumlahnya akan meningkat hingga tiga kali lipat…”
”Tidak!”
Tim Ahli terkejut dengan jawaban spontan sang Wali Kota yang wajahnya semakin memerah dan menyiratkan murka.
”Bagaimana bisa, mengusir kawanan burung saja membutuhkan uang sebanyak itu? Masih banyak kebutuhan yang lebih penting, khususnya persiapan Piala Kebersihan nanti.”
”Tetapi, menurut kami, ini juga penting, Tuan.”
”Penting dapat duit? Iya? Kenapa untuk urusan seperti ini saja, kalian selalu menghabiskan banyak anggaran. Untuk penelitianlah, proyek sainslah, dan tetek bengek lainnya itu. Kalian tahu, di luar sana masih banyak rakyat yang susah mendapat makan. Sementara kalian di sini justru menakut-nakuti saya dan mereka!”
Kesepuluh tim ahli hanya diam tertunduk.
”Lebih baik kalian teliti burung itu saja, lalu serahkan hasilnya secepatnya, biar saya yang atur ini sendiri.”
Para tim ahli pun bergegas meninggalkan wali kota seorang diri, sembari ia tak henti menepuk kepalanya.
”Tahi!”
**
Babak Ketiga – Menuju Masalah
Siang berikutnya, siaran televisi di penjuru kota tiba-tiba berganti rupa. Masyarakat yang kini menggunakan masker, saling menyaksikan siaran itu di mana pun berada. Terlihat Wali Kota duduk membelakangi sebuah meja, mengenakan pakaiannya yang serba hitam, rapi, dengan berlatar belakang dinding coklat, serta terpasang bingkai potretnya sedang menghadap ke langit.
”Saudara-saudaraku, seluruh masyarakat Kota Sukapadu. Saat ini kita dihadapkan dengan munculnya ratusan ribu burung liar yang memenuhi seisi kota. Ini menjadi masalah besar bagi kita, mengingat Piala Kebersihan Kota akan segera digelar beberapa bulan lagi. Dan kita tahu semua, terdapat pihak dari wilayah lain yang berusaha menggagalkan predikat Sukapadu sebagai Kota Terbersih lima kali berturut-turut. Maka dengan ini, saya memerintahkan kepada seluruh masyarakat untuk bersama-sama memerangi kawanan burung itu, dengan cara apa saja: bisa dengan menembak, membakar, atau apa saja. Kami akan membelinya dengan harga lima ratus rupiah per ekornya.”
Wali Kota terdiam sejenak, sorot matanya berpindah cepat, seraya mulutnya kembali terbuka.
”Kami beri waktu lima hari pengumpulan di Lapangan Besar Sukapadu, terhitung pukul enam pagi esok, hingga lima hari ke depan. Akhir kata. Selamat berburu.”
Seusai konferensi pers itu. Masyarakat pun meresponnya dengan suka cita, disusul tumpah ruah ke jalanan. Masing-masing dari mereka lekas mempersiapkan alat terbaiknya, seperti senapan angin, panah, pestisida, hingga penyembur api. Mereka saling menyebar dan memburu burung pingai yang diam bertengger di berbagai tempat. Perburuan antar dua spesies pun dimulai.
Hanya dalam beberapa jam, jumlah burung pingai berkurang drastis, mulai dari ditembak senapan, panah, disemprot pestisida, hingga disembur api. Sebagian anak-anak yang tak memiliki senjata utama, memilih untuk mengejar burung-burung yang tersisa dengan ranting pohon, hingga akhirnya jatuh ke tanah, lalu mati sebab kelelahan.
**
Baca juga: Pohon-pohon Jalan Protokol
Babak Keempat – Puncak Masalah
Beberapa hari setelah perburuan akbar. Kini lapangan Besar Sukapadu dipenuhi oleh ratusan ribu jasad pingai yang berhasil ditangkap. Tiap warga mulai menyiratkan ekspresi bahagia, sebab mampu membunuhnya dalam jumlah banyak, sehingga mendapatkan uang cuma-cuma dari hasil penukaran pada petugas dari Dinas Keuangan. Seusai burung-burung terkumpul, mereka dibakar di tengah lapangan dengan api yang berkobar setinggi lima meter. Tak jauh dari sana, berdiri tegap Sang Wali Kota bersama para warga, sembari tersenyum dan saling bertepuk tangan.
Apakah lantas berakhir bahagia? Tentu tidak.
Malam hari selepas pembakaran ratusan ribu jasad pingai. Seisi kota Sukapadu perlahan diserbu oleh belalang dan ulat yang entah dari mana. Mereka sukses merontokkan beras, jagung, dan segala tumbuhan di rumah warga, bahkan Lumbung Beras Kota milik Pemerintah Kota juga tak luput diserang hingga membusuk.
Dalam beberapa minggu, angka kelaparan di Sukapadu mulai meningkat. Wali Kota yang kembali panik, lekas meluncurkan berbagai kebijakan darurat guna menyelamatkan kota, mulai dari peperangan melawan belalang dan ulat, program pertanian darurat, hingga impor makanan dari kota lain.
**
Babak Kelima – Akhir Masalah
Bukannya mujur, sekian kebijakan Wali Kota Rizman Teguh justru gagal total. Selain angka kematian penduduk akibat kelaparan semakin meningkat tajam, muncul krisis air akibat pengalokasian air secara serampangan pada proyek pertanian darurat, yang kini tak menjadi apa-apa itu. Kebijakan impor makanan dan air dari kota terdekat, Margoweni dan Tirtoyoso, turut gagal pula, sebab kedua kota itu terlanjur ”murka” dan memusuhi Wali Kota Rizman, bahkan mencekalnya untuk menginjakkan kaki di sana.
Meski demikian, Wali Kota Rizman tetap ogah meminta maaf pada kedua kota itu, sebab masih memercayai mereka sebagai dalang atas segala kekacauan di Sukapadu, bahkan membuat tuduhan baru melalui pidatonya di televisi: telah merancang skenario agar ia terdongkel dari kursi kekuasaan.
Malam hari selepas pembakaran ratusan ribu jasad pingai. Seisi kota Sukapadu perlahan diserbu oleh belalang dan ulat yang entah dari mana. Mereka sukses merontokkan beras, jagung, dan segala tumbuhan di rumah warga, bahkan Lumbung Beras Kota milik Pemerintah Kota juga tak luput diserang hingga membusuk.
Dinas Kesehatan Sukapadu semakin kewalahan menampung berbagai pasien dengan penyakit yang semakin beragam, mulai dari diare, muntah berak, hingga penyakit kulit. Ratusan masyarakat yang mulai jengah dengan kegagalan Wali Kota Rizman, mulai menggelar demo besar-besaran dan menggeruduk paksa Balai Kota dengan dibantu aparat yang sama muaknya. Setelah menerobos masuk, mereka pun menangkap Sang Wali Kota yang tengah bersembunyi di bawah ranjangnya. Ia diarak oleh seluruh manusia kalap menuju bagian tengah halaman Balai Kota, seraya disungkurkan ke jalanan yang terbuat dari paving blok.
”Bagaimana keputusan kalian semua? Apakah kita langsung menghukum manusia yang menyebabkan banyak kerusakan di kota ini? Jika saya menjadi kalian, tentu tak akan kupikir-pikir panjang untuk memberi balasan setimpal padanya,” pekik salah seorang pendemo secara berapi-api dan diikuti teriakan masyarakat lainnya. Kini posisinya terkepung di tengah mereka. Semakin terancam.
Kedua mata Wali Kota terus bergulir ke segala sudut, memandangi manusia yang mengerumuninya dengan wajah memerah serta alis menukik tajam. Mulutnya tak henti berkomat-kamit, gemetaran, hingga menutupnya dengan sepatah umpatan.
”Tahi!”
****
Baca juga: Nyanyian Maritim Nusantara
Eka Arief Setyawan, lahir di Surabaya, 19 Maret 1997, merupakan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta jurusan Film dan Televisi. Menetap di Grogol Petamburan, Grogol, Jakarta Barat. Hobinya membuat cerita pendek, puisi, serta menggambar ilustrasi, yang sebagian dipostingmelalui akun Instagram @easetyawan.