Kendati Kuda Panandang Kajar segera bangkit dari duduknya dan berkemas untuk menjalankan tugas yang diberikan, Dalem Tarukan dapat menangkap rona kebimbangan membayang di wajah putranya.
Oleh
Ketut Sugiartha
·7 menit baca
Dalem Tarukan resah mendengar berita tentang situasi keraton. Semakin banyak saja patih yang kecewa karena sulit menghadap guna melaporkan dan memusyawarahkan hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas mereka. Mereka jadi menyia-nyiakan banyak waktu hanya untuk menunggu Dalem Samprangan yang tak kunjung muncul ke pendapa. Itu bisa berbahaya bila dibiarkan. Bisa menjadi sesuatu yang sangat buruk dan merugikan rakyat.
Meski ia telah memilih jalan hidup yang berbeda, menekuni laku spiritual dan tinggal di luar keraton, ia tidak dapat melepaskan diri dari tanggung jawab. Tanggung jawab menjaga nama keluarga besar Dalem Kresna Kepakisan yang telah diberi kepercayaan oleh Majapahit untuk mengemban tugas sebagai Adipati Bali. Dalem Samprangan, kakaknya yang pesolek itu, yang lebih banyak menghabiskan waktunya dengan para istrinya daripada menjalankan roda pemerintahan, mau tidak mau harus dilengserkan—tetapi dengan cara yang sedapat mungkin tidak menimbulkan gejolak—demi menjaga kepercayaan rakyat yang belum sepenuhnya pulih sejak Majapahit melakukan serangan besar-besaran ke Bali dengan segala tipu dayanya.
Untuk itu ia memanggil Kuda Panandang Kajar, putra angkatnya.
”Nak, kau pasti mendengar berita tidak enak mengenai keadaan di keraton.”
”Ya, Ayah,” sahut Kuda Panandang Kajar sambil duduk bersila di hadapan Dalem Tarukan.
”Kita tidak bisa membiarkan itu terjadi berlarut-larut.”
”Tapi, apa yang bisa kita perbuat?”
”Kau tahu, pamanmu Dalem Ketut ada di Pandak. Temuilah dia. Katakan padanya, aku minta ia datang ke puri untuk keperluan mengambil alih kekuasaan.”
Kuda Panandang Kajar sempat diam sebelum berkata, ”Baik, Ayah. Perintah Ayah akan segera saya laksanakan.”
”Untuk meyakinkannya, tunjukkan keris ini dan busana ini. Jangan lupa membawa I Gagak, kuda yang akan ditungganginya agar cepat sampai.”
Kendati Kuda Panandang Kajar segera bangkit dari duduknya dan berkemas untuk menjalankan tugas yang diberikan, Dalem Tarukan dapat menangkap rona kebimbangan membayang di wajah putranya. Ia tahu bagaimana putranya itu diam-diam menjalin hubungan batin dengan Dewa Ayu, putri Dalem Samprangan. Agaknya ia mengkhawatirkan hubungannya dengan Dewa Ayu jika keluarga keraton mengalami masalah. Dalem Tarukan merasa perlu juga memikirkan hal itu karena ia tidak ingin mengecewakan putra kesayangannya.
Tiba di Pandak, Kuda Panandang Kajar mendapati Dalem Ketut Ngulesir sedang duduk membicarakan sesuatu dengan sejumlah orang di sebuah balai banjar. Melihat kedatangan seorang pemuda tampan bertubuh tegap dan berkulit bersih, semua yang hadir di tempat itu segera diam dan mengawasinya dengan tatapan penuh tanda tanya. Mereka, tak kecuali Dalem Ketut Ngulesir, tidak mengenalinya.
”Siapakah kau, anak muda?” Dalem Ketut Ngulesir mengerutkan kening ketika ia menundukkan badan sambil mencakupkan tangan di depan dada.
”Maafkan saya telah lancang mengganggu, Paman,” tanggap Kuda Panandang Kajar. ”Saya putra angkat Dalem Tarukan.”
Senyum merekah di bibir Dalem Ketut Ngulesir dan suasana pun jadi cair. ”Hah, kau Kuda Panandang Kajar rupanya. Sedang apa kau di sini?”
”Saya datang untuk menyampaikan pesan Ayah.”
”Pesan kepadaku?”
”Benar, Paman. Ayah berharap Paman segera kembali ke puri. Ada hal penting yang ingin dibicarakan sehubungan dengan rencana penobatan Paman sebagai adipati. Saya kira Paman sudah tahu masalahnya.”
”Ya, Paman. Saya datang dengan sebilah keris dan busana adipati serta seekor kuda.”
”Oh, tidak! Tidak, Nak. Aku ini seorang pejudi. Aku tak pantas menjadi adipati. Lagi pula aku tak ingin ribut dengan kakakku. Katakan pada ayahmu, aku tak akan datang ke puri. Hidupku ada di sini, di antara para botoh.”
Kuda Panandang Kajar menundukkan wajah. Sudah terbayang di benaknya bahwa ia akan kembali ke puri tanpa hasil, dan itu pasti akan mengecewakan ayahnya yang sangat ia hormati.
”Yang patut menggantikan Dalem Samprangan,” lanjut Dalem Ketut Ngulesir, ”adalah ayahmu. Beliau lebih layak untuk itu. Beliau terpelajar dan memiliki bekal yang memadai. Beliau tahu tentang seluk-beluk tata negara. Sedangkan aku, hanyalah seorang gelandangan yang setiap hari bergaul dengan rakyat jelata.”
”Maaf, Paman. Menurut Ayah, justru Paman yang bergaul langsung di tengah masyarakat lebih memiliki kemungkinan untuk berhasil menjalankan pemerintahan. Paman tentu tahu betul apa yang menjadi kebutuhan dan kehendak rakyat.”
Dalem Ketut Ngulesir menggeleng keras-keras. ”Jangan berdebat denganku, Nak. Pulanglah. Aku tidak mau kembali ke puri. Katakan pada ayahmu, beliaulah yang pantas menjadi adipati.”
”Tapi Ayah sudah berjanji akan menjalani hidup sebagai pendeta.”
”Kependetaan bisa ditangguhkan atau bahkan ditinggalkan. Orangtua kita juga melakukan hal itu. Bukankah kita keturunan brahmana yang sudah disatriakan?”
Kuda Panandang Kajar kehabisan kata. Tak ada lagi yang bisa ia katakan karena ucapan pamannya tak mungkin dibantah. Maka ia mohon pamit, bergerak mundur perlahan beberapa langkah sebelum akhirnya membalikkan badan.
Putra Adipati Blambangan yang lahir dari seorang selir itu kembali ke Puri Tarukan dengan wajah tertunduk lesu. Ia telah gagal menjalankan tugas yang diberikan ayah angkatnya. Itu membuatnya sedih dan jengah. Ia akan mengecewakan orangtua yang sangat ia cintai.
Dalam kelesuannya menyusuri jalan pulang ke Pejeng tiba-tiba ada seekor gagak melesat mendekat dan menyambar destarnya serta membawanya terbang entah ke mana. Ia sempat mengumpat sebelum kembali terdiam dan merenungkan kejadian itu. Ini pertanda tidak baik, batinnya.
”Kau pulang sendirian, Nak? Mana adikku Dalem Ketut?” Dalem Tarukan heran melihat putranya kembali dengan wajah murung.
Kuda Panandang Kajar mencakupkan tangan di depan dada. ”Hukumlah saya, Ayah. Saya telah gagal menjalankan tugas. Paman Dalem Ketut tidak mau kembali ke puri.” Ia lalu menjelaskan mengenai pertemuan dan pembicaraannya dengan pamannya.
”Ya sudah, kalau memang begitu. Kita tidak bisa memaksanya. Istirahatlah, kau tentu sangat lelah.”
Esoknya, walaupun hari sudah siang, Kuda Panandang Kajar tidak keluar dari kamarnya. Dalem Tarukan yang tiba-tiba merasa ada yang aneh akhirnya datang menjenguk. Ia heran melihat putranya masih berbaring di tempat tidur.
”Ada apa, Nak? Biasanya pagi-pagi sekali kau sudah bangun.”
Dalem Tarukan segera menyibakkan selimut yang masih menutupi tubuh putranya. Ia mencoba menyentuh kaki Kuda Panandang Kajar dan mengangkatnya sedikit sambil bertanya, ”Sakit?”
Dalem Tarukan menutup kembali tubuh putranya dengan selimut sebelum membalikkan badan untuk menyembunyikan matanya yang mulai basah. ”Istirahatlah, Nak. Apa pun akan kulakukan untuk membuatmu sehat kembali seperti sediakala.”
Sejak hari itu silih berganti penyembuh yang datang ke Puri Tarukan; mulai dari balian ketakson, penyembuh yang memiliki kekuatan gaib, sampai balian putus, orang yang menjadi penyembuh karena tekun mendalami lontar-lontar usada.
Dalem Tarukan sempat marah ketika ada penyembuh yang mengatakan bahwa Kuda Panandang Kajar tidak sakit. Tetapi ketika penyembuh-penyembuh lain juga mengatakan hal yang sama, ia mulai berpikir. Apa sebenarnya yang terjadi pada putraku?
Ia tergerak untuk membuka lontar usada miliknya. Setelah meneliti lembar demi lembar akhirnya ia menemukan apa yang ia cari, bahwa ada penyakit pada pikiran atau perasaan yang bisa menggejala ke badan. Ia tidak ragu lagi, itulah yang terjadi pada Kuda Panandang Kajar.
Hanya ada satu cara untuk membuatnya bisa sembuh. Ia harus diajak bicara dari hati ke hati agar bisa diketahui akar masalahnya. Tetapi jelas itu tidak mungkin. Belakangan ia hanya bisa mengucapkan satu atau dua patah kata saja. Ia begitu lemah dengan tubuh kurus kering karena hanya bisa menelan makanan sedikit saja setiap hari. Bahkan membuka mata pun ia tidak sanggup.
Dalem Tarukan tidak putus asa. Setelah lama berpikir, ia ingat bahwa pendengaran putranya masih normal. Maka ia putuskan untuk melakukan upaya dengan cara yang bisa ia lakukan. Malam itu, setelah Kuda Panandang Kajar menelan sedikit makanan seperti biasanya, Dalem Tarukan berkata, ”Jika kau bisa sembuh seperti sediakala, aku berjanji akan mengawinkanmu dengan Dewa Ayu.”
Keajaiban terjadi pada hari berikutnya. Kuda Panandang Kajar mulai membuka mata. Makanan yang disantap pun lebih banyak dari sebelumnya. Dari hari ke hari ia menunjukkan perkembangan yang semakin baik, sampai akhirnya ia betul-betul sembuh.
Hati Dalem Tarukan membuncah melihat kenyataan itu. Namun, janji yang pernah ia ucapkan membuatnya kembali berpikir keras. Apa yang harus kulakukan untuk memenuhi janjiku? Karena alasan yang baru belakangan ia ketahui, Dalem Samprangan tak akan mungkin merestui perkawinan Kuda Panandang Kajar dengan Dewa Ayu.
Tetapi Dalem Tarukan tahu keduanya saling mencintai. Maka ia mengatur siasat agar Dewa Ayu bisa minggat dari keraton. Siasat itu membuahkan hasil tanpa hambatan, sehingga ia bisa memenuhi janjinya mengawinkan putranya dengan Dewa Ayu. Peristiwa itu memberinya kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Sayangnya, kebahagiaan itu hanya berlangsung sehari. Suasana Puri Tarukan mendadak gaduh setelah hari berganti. Kuda Panandang Kajar dan Dewa Ayu ditemukan terkapar di atas tempat tidur dengan tubuh bersimbah darah.
Ketut Sugiartha
Tinggal di Tabanan, Bali. Menulis esai, puisi, cerpen, dan novel. Telah menerbitkan 14 buku tunggal meliputi kumpulan cerpen dan novel. Dua kumpulan cerpen terbarunya, Gelang Tridatu (2022) dan Tentang Sepuluh Wanita (2023).