Nyanyian Maritim Nusantara
Hidup Bisma didedikasikan untuk bersisian dengan Ibu Bumi. Bisma masih mengingat pertama kalinya ia melihat sebuah kapal berlabuh di dermaga dekat tempat tinggalnya saat masih kecil.
Hari Selasa, malam datang lebih cepat. Bulan separuh bulat menggantung tinggi dengan taburan debu-debu bintang mengelilinginya. Awan tipis diarak angin layaknya sebuah karnaval, menghasilkan bayangan besar-besar di bawah pepohonan. Gendis menatap suaminya yang sudah siap dengan seragam kebanggaannya, Bisma baru saja dilantik bulan lalu.
Bisma mengambil topi putih berhias gambar jangkar di bagian atas, dipasangkannya ke kepala istrinya seraya bernyanyi kecil, ”Nenek moyangku seorang pelaut, gemar mengarung samudra, menerjang ombak tiada takut!”
”Suamiku seorang pelaut, gagah berani, tak kenal takut!” Gendis mengganti liriknya.
Bisma nyengir, ”Aku akan berlayar selama enam hari.”
Gendis mengangguk, mengantar sang suami ke depan rumah.
”Tunggu aku ya,” Bisma mengecup kening Gendis.
”Pasti Mas,” Gendis melambai kepada Bisma yang mulai menghilang di balik mobil jemputan. Namun, Bisma kembali lagi, dia berjongkok sedikit agar tingginya setara dengan perut istrinya yang mulai membuncit. Diciumnya perut Gendis. ”Kalian harus menungguku.”
Gendis menatap Bisma sebentar, mengusap pipinya sayang. ”Selalu.”
”Sampai kapan pun?” Bisma bangkit, memberikan jari kelingkingnya.
Gendis balas mengaitkan kelingkingnya juga. ”Selamanya.” Lalu dipeluknya Bisma erat, ”Sekarang laksanakanlah tugasmu prajurit bangsa!”
Barulah setelah itu Bisma pergi, ”Aku akan kembali. Sampai jumpa!”
***
Hidup Bisma didedikasikan untuk bersisian dengan Ibu Bumi. Bisma masih mengingat pertama kalinya ia melihat sebuah kapal berlabuh di dermaga dekat tempat tinggalnya saat masih kecil. Kala itu matahari baru saja mulai terbenam, pantulan dari warna jingga tua bercampur kuning yang hampir redup menerangi badan kapal. Hadir sekelumit rasa yang tak tergambarkan di dadanya, Bisma jatuh cinta kepada laut. Ia begitu mencintai lautan hingga ingin menjadi salah satu dari bagiannya, dari situ ia bersumpah kepada dirinya sendiri akan menjaga sang Ibu Bumi milik Nusantara sampai kapan pun. Maka di sinilah Bisma bersama Baladewa-210421.
”Selamat pagi Komandan!” kelima jemari tangan kanan Bisma terangkat menuju pelipis.
Komandan Sutasoma mengangguk, ”Serda Bisma, kau terlihat sangat bersemangat.”
Di sudut lorong muncul Kepala Staf Angkatan Laut, Laksamana Heru. ”Cuaca baik?”
”Semuanya baik,” Komandan Sutasoma membuat hormat, menjawab.
Baladewa-210421 berdiri kokoh di atas perairan Pulau Dewata bagian utara. Kokoh, siap untuk menjalankan latihan perang dalam rangka penguatan pertahanan negara.
”Kondisi laut bisa diprediksi, tapi itu bukan suatu kepastian. Selalu siaga dan berhati-hati,” seru Laksamana Heru yang kemudian pergi ke ruang monitor, ”sampai jumpa lagi Prajurit!”
Rabu subuh, langit bagai penuh permata. Angkasa diterangi bintang gemintang kekuningan yang menciptakan konstelasi megah pada latar belakang semesta yang kosong. Bintang-bintang itu berserakan di antara dua yang tak terbatas: laut dan langit.
Bayu, sesama serda, melambaikan tangan kepada Bisma. ”Hei Bisma, kemari!”
”Pagi,” Bisma balas menyapa. ”Apa yang terjadi? Wajahmu terlihat penuh kebahagiaan?”
Bayu tersenyum sangat lebar, ”Kekasihku menerima lamaranku. Kami akan menikah setelah aku pulang!”
Selalu begitu, setiap hendak berlayar pasti ada saja cerita-cerita menyenangkan untuk memulai pelayaran.
”Lapor Komandan, Baladewa-210421 sudah siap!” Mayor Arya datang.
Komandan Sutasoma menatap anak-anak buahnya, ”Kenapa kalian semua terlihat senang sekali hari ini?”
Mayor Arya nyengir, ”Istri saya baru saja melahirkan.”
Bisma ikut menjawab, ”Hari ini kehamilan istri saya menginjak usia tiga bulan.”
Sang Komandan mengucapkan selamat sekilas, lalu ia juga bercerita sedikit, ”Putri sulung saya akan diwisuda minggu depan.”
Percakapan singkat tak pernah absen sebelum mengarungi samudra. Menjadi tentara angkatan laut memberikan banyak kesamaan di antara para anggota maritim. Satu, mereka memiliki cinta tanpa batas terhadap daerah kelautan Nusantara. Dua, tali-temali kekeluargaan yang terjalin erat. Tiga, dedikasi tinggi tidak hanya terhadap bangsa, tapi juga kehidupan rakyat di dalamnya.
Hari ini Baladewa-210421 akan membawa 53 prajurit untuk berlatih seperti hari-hari sebelumnya. Setelah semua awak siap di posisi masing-masing, sedikit demi sedikit badan kapal perang turun dari permukaan, masuk ke dalam air, dan meninggalkan deburan ombak yang mencium bibir pantai.
”Izin turun ke kedalaman 13 meter,” Mayor Arya berucap kepada radio.
”Izin diterima,” balas suara tim penjejak.
Semuanya berada dalam keadaan baik. Akan tetapi, mendadak kapal terasa lebih berat dari seharusnya. Sebuah getaran datang mengguncang seisi kapal.
”Ada apa?” Mayor Arya menatap rekan-rekannya, ”periksa seluruh bagian kapal!”
Gagang periskop yang Bisma pegang juga bergetar. Setelah itu guncangan semakin hebat.
***
Baca juga:Biografi Luka
Hampir jam empat subuh ketika Roni yang bertugas menjadi salah satu bagian dari tim penjejak sea rider tidak menemukan lampu pengenal Baladewa-210421. ”Di mana mereka?”
Laksamana Heru bergegas melihat layar, seharusnya sekarang mereka sudah meminta otorisasi untuk penembakan torpedo. Namun, periskop kapal lenyap dari pandangan. ”Baladewa-210421 apakah kalian mendengar aku?” ia mengambil mikrofon.
Tidak ada jawaban.
Laksamana Heru dan seluruh tim penjejak terus memanggil, tapi sampai pukul empat tetap nihil. ”Radio kita terputus,” Roni menatap layar pemantau yang menjadi hitam.
Lima belas menit setelah itu helikopter diterbangkan, tak ada hasil. Mendekati pukul tujuh akhirnya Laksamana Heru membuat pernyataan, ”Baladewa-210421 hilang kontak. Tunda semua latihan, sekarang kirim pasukan untuk mencari putra-putra bangsa kita!”
***
Laut, si Ibu Bumi memang begitu indah, tapi juga mematikan dengan sejuta misteri mahaluas di baliknya. Perairan permukaan setenang kaca, tanpa riak sedikit pun, tapi nun jauh di bawahnya tiada arus yang dapat dikendalikan. Lampu di seluruh kapal berkedap-kedip, tanda ada yang tak beres. Guncangan-guncangan tadi sudah berhenti, tapi badan kapal menjadi miring.
”Tetap bertahan di posisi masing-masing! Kita tunggu bantuan datang!” Komandan Sutasoma berusaha menghubungi radio yang sudah terputus.
Seluruh awak kapal mengerahkan seluruh kekuatan mereka untuk bertahan. Namun, gelombang kedua hadir. Kali ini satu, tapi sangat kuat. Gelombang soliter menghantam, keseimbangan semakin kacau seiringan dengan tekanan di bawah laut yang terus membesar.
”Berapa lama lagi kita dapat bertahan?” tukas Bisma.
Kondisi di dalam kapal mulai pengap, badan Bayu bercucuran keringat dingin. ”Tujuh puluh dua jam jika listrik tak mati.”
Akan tetapi, itu tidak berarti apa pun karena arus kuat dari bawah laut kian mengencang. Momentumnya berlangsung dalam sekon yang tak terhitung, posisi kapal terus semakin miring. Bunyi partikel yang terlepas dari luar bercampur dengungan akibat tekanan air. ”Kenakan baju pengaman!” teriak Mayor Arya.
Kadang ada saat di mana waktu tidak dapat berlabuh pada satuan hitung mana pun, saat itu waktu tidak berarti banyak karena agaknya sang Waktu seolah menyatakan bahwa mereka hanya bisa sampai di sini. Keadaan di dalam kapal menjadi gelap, lampu mati, hanya menyisakan lampu darurat. Keadaan kaos, teriakan, jeritan bercampur dengan bunyi air. Menarik satu sama lain agar setidaknya tetap melekat pada apa pun yang bisa dijadikan pegangan. Komandan Sutasoma terbanting ke belakang, merosot di atas lantai.
”Komandan!” Bisma menariknya, ”bertahanlah!”
Komandan Sutasoma menggeleng, itu bukan berarti ia menolak pertolongan Bisma, tapi karena ia tahu bahwa tidak ada yang bisa mereka lakukan untuk menyelamatkan diri.
Di antara bilik-bilik ruang sempit badan kapal, para awak berada dalam posisi tidak karuan. Ada yang tiarap sambil mencengkeram bagian bawah kursi, berpegangan pada tiang, berlutut karena terjatuh. Tangisan serta doa terucap di bibir dan hati. Kecepatan los. Kapal terjun bebas, terus melesat dan mereka semua tahu…, tidak ada jalan keluar.
Terlintas di benak Bisma, wajah Gendis dan bayi mereka yang tak akan pernah dapat ia lihat. Mayor Arya tidak akan bisa mendampingi pertumbuhan anaknya. Cinta Bayu terhadap calon istrinya yang ia bawa ke dasar laut. Komandan Sutasoma yang tak akan hadir di hari wisuda putri sulungnya. Semua kasih dari 53 prajurit kepada orang-orang yang mereka cintai. Terlepas dari segalanya, seluruh awak Baladewa-210421 berharap mereka masih memiliki kesempatan untuk menjaga lautan Nusantara untuk waktu yang lebih lama. Namun, memang inilah risiko sebagai abdi negara di atas atas nama cinta terhadap Tanah Air.
”Lapor Komandan, oksigen akan segera habis,” Bisma membaca alat pengukur udara.
Komandan Sutasoma membalas dengan senyuman.
”Kenapa Komandan tersenyum?” tanya Bayu yang berpegangan di salah satu panel pintu.
”Saya memulai pilihan menjadi prajurit lautan Nusantara dengan senyuman, maka ketika akhir datang saya juga akan tersenyum,” katanya.
Mayor Arya ikut tersenyum, ”Ini bukan akhir. Tidak akan ada akhir untuk kita karena setelah ini kita akan berlayar untuk selamanya.”
Komandan Sutasoma menatap seluruh awak, ia membuat hormat. ”Terima kasih.”
Serentak, semua membalas hormat. Lalu Bayu menyiulkan sebuah melodi. Mendengar rangkaian tangga nada itu, bibir Bisma bernyanyi bersama semua prajurit:
”Padamu negeri kami berjanji
Padamu negeri kami berbakti
Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri jiwa raga kami”
Air asin mendobrak. Pintu-pintu terlepas, jendela yang bocor kini pecah. Di bawah kedalaman 830 meter dari permukaan air laut, Baladewa-210421 terus berlayar menuju keabadian.
***
Percakapan singkat tak pernah absen sebelum mengarungi samudra. Menjadi tentara angkatan laut memberikan banyak kesamaan di antara para anggota maritim. Satu, mereka memiliki cinta tanpa batas terhadap daerah kelautan Nusantara. Dua, tali-temali kekeluargaan yang terjalin erat. Tiga, dedikasi tinggi tidak hanya terhadap bangsa, tapi juga kehidupan rakyat di dalamnya.
Dari ufuk timur sampai ufuk barat, kemilau surya menyambut. Nuansa warna hitam berubah menjadi warna-warna kilau menyala pada lapisan cakrawala, memantul bagai jutaan prisma. Sebuah kapal muncul di atas garis pemisah antara langit dan bumi. Baladewa-210421 telah berlabuh di dermaga pada dimensi tanpa batas, kekekalan di antara awan-awan keabadian tabir semesta. Pintu kapal didorong terbuka oleh Mayor Arya, luapan cahaya terang benderang menyapa. Bersamaan semuanya melangkah keluar, mereka menjejak di atas genangan bagai kaca. Gumpalan awan halus berwarna oranye lembut dan merah muda mengelilingi ruang kekal tersebut.
Komandan Sutasoma membenarkan posisi topinya, ”Ayo kita jaga terus lautan Nusantara untuk selamanya!”
”Siap, laksanakan!” sahut semua awak. Kemudian dalam suka cita penuh cinta menjaga Tanah Air, mereka berlarian menyambut cahaya tersebut.
***
Mereka yang tenggelam di dalam perairan semesta akan terus menghuni ruang semesta dalam misi menjaga samudra Nusantara.Namun, sesungguhnya mereka tak pernah benar-benar pergi karena jiwa mereka tetap hidup dalam setiap jengkal Tanah Air. Entah itu pada dimensi yang tersentuh atau yang tidak, cinta para prajurit akan selalu berlayar.
Di belahan dimensi yang lain, Laksamana Heru berdiri di atas sebuah podium, wajahnya dibasahi air mata. ”Kapal Baladewa-210421 dinyatakan telah melakukan patroli abadi bersama 53 awak di dalamnya.”
**
Kisah ini terinspirasi dari tragedi tenggelamnya kapal KRI Nanggala 402 yang tenggelam pada 2022.
***
Elizabeth Gabriela merupakan mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara yang baru lulus tahun 2022. Saat ini ia bekerja di United Nations Development Programme (UNDP). Ia memiliki hobi menulis sejak kecil, Elizabeth bermimpi bahwa suatu saat tulisannya bisa diangkat ke layar lebar dan menginspirasi banyak orang.