Ciu dan Durian Tembaga
Sekarang nasihatnya itulah yang diamalkan oleh Kim Tek, tampaknya tuntas sampai ke titik komanya. Sehingga kini, dalam syak wasangka Akong, malah dijadikan Kim Tek sebagai dalih tidak sempat menjenguk ayahnya.
Tanak sudah rindu didendam, masak sudah sesal diperam.
Lelaki paruh baya itu menyesali nasihat yang pernah ia berikan kepada anak sulungnya. Kalau tahu bakal begini jadinya..., gumamnya dalam hati. Berulang kali.
Tiga bulan terakhir ini orang-orang lebih sering melihatnya duduk mengarca di sudut kebun sayur. Tempayan berlumut jadi temannya berdiam diri. Ia selalu duduk di tempat yang sama, di sisi tempayan itu. Yang mengenalnya, merasa ganjil melihat kejadian ini. Bukan kebiasaan Akong menyendiri begitu.
Lepas tengah hari setelah rampung pekerjaan mengurus dan memanen tanaman di kebun sayur, biasanya ia duduk-duduk di bawah rimbun pohon angsana di halaman gudang asap. Makan angin dan berbual-bual dengan siapa saja yang berada di situ. Ketika musim bunga angsana mengorak warna, meski tanpa sesiapa pun yang diajak bicara, ia tahan berjam-jam menengadah memandangi tajuk pohon yang disepuh warna kuning. Pesona alam yang umurnya hanya sekelebat. Tiga hari setelah mekar, gerumbul kuning itu pun berguguran. Menyisakan kenangan. ”Bunga angsana itu menampil tamsil hidup,” ujarnya sekali waktu. ”Dunia ini keindahan yang sementara.”
Sementara itu, sudah tiga bulan pula tak ada lagi ritual duduk di bawah rimbun angsana.
Makin dekat Imlek menjelang, makin risau Akong mengenang. Hari raya Imlek nanti genap tiga tahun putra sulungnya tidak pulang. Mudik, berhari raya bersamanya. Bertumpuk-tumpuk rindunya kepada sang cucu. Sekarang pasti ia sudah tinggi. Sudah tujuh tahun umurnya. Semenjak istrinya meninggal dunia lima tahun silam, tinggal anak dan cucunyalah yang menjadi tempat dirinya menumpang kasih menggantungkan sayang.
Hasrat ingin bertemu cucu laki-lakinya bagaikan terjangan air bah. Setiap saat tanggul jiwanya bisa terban karena tak kuasa menahankannya. Tapi kenapa Kim Tek tidak memedulikan perasaan ayahnya? Apa dia tak tahu, kalau rindu anak serasa mabuk, rindu cucu serasa sakau? Tunggulah nanti kalau ia sudah bercucu, baru dia tahu rasa.
Akong sedih anaknya tidak membalas guna. Kasih sayangnya kepada mereka sia-sia belaka. Pedih hati mengenang pengorbanannya membesarkan dan mendidik. Ia rela bertahun-tahun makan bubur yang hanya bercampur sayuran pakcoy dan bawang putih asalkan Kim Tek dan adiknya Kim Eng bisa bersekolah hingga SMA. Sekarang balasan apa yang kudapat? Kim Eng, sudahlah. Dia mengikuti suaminya bermukim di Taipei. Jauh dan mahal ongkos pulangnya. Sudah bagus lima tahun yang lalu bisa menyempatkan pulang ketika ibunya meninggal. Biarpun tidak sempat melihat jenazahnya. Tapi Kim Tek? Jarak 500 kilometer saja sudah jadi penghalang. Padahal tidak harus tergantung kepada kendaraan orang lain.
Beberapa kali pernah ia mendengar Kim Tek mengeluhkan betapa membesarkan usaha merampas segenap waktunya. Semenjak lima toko mini market Hokimaret, yang dibangunnya bermodalkan sebuah kedai sampah kecil, menyebar hingga ke pinggir kota, dia tertungkus lumus mengurusnya. Kim Tek berdalih dia tidak berani meninggalkan usahanya barang sekejap, semata-mata karena mengamalkan nasihat ayahnya.
Akong mengenang dulu—sewaktu putra sulungnya itu baru jadi toke sebuah kedai sampah—sekurang-kurangnya dua kali dalam setahun Kim Tek menggiring istri dan anaknya pulang mengunjungi ayah ibunya. Ketika itu Kim Tek sering berkeluh kesah tentang usaha kedai sampahnya yang dirasakannya kok tidak maju-maju. Ia memberikan petuah untuk dipatuhi oleh Kim Tek kalau dia bertekad memajukan usaha. Usaha adalah bayi yang wajib dirawat sendiri. Jangan pernah percayakan mengurusnya kepada orang lain. Sekecil apa pun usaha itu. Apalagi kalau sudah besar. Kepada Kim Tek Akong mengisahkan bagaimana dulu, sewaktu kedua anaknya masih bersekolah ia berjualan sendiri sayuran hasil kebunnya ke kedai-kedai nasi dan menjajakannya di hari-hari pekan.
Sekarang nasihatnya itulah yang diamalkan oleh Kim Tek, tampaknya tuntas sampai ke titik komanya. Sehingga kini, dalam syak wasangka Akong, malah dijadikan Kim Tek sebagai dalih tidak sempat menjenguk ayahnya. Apakah dulu aku salah menyampaikan nasihat itu sehingga anakku keliru memahami maksudnya? Pikiran itulah yang terus-terusan mengganggu Akong.
Memang setelah A Bu (panggilan anak-anaknya kepada ibu mereka) meninggal dunia, dua kali hari raya Imlek, Akong masih ditemani anak, menantu, dan cucu. Sekarang sudah lain ceritanya. Sudah tiga Imlek, Akong hanya termangu-mangu mengharapkan kedatangan anak-cucunya yang tidak kunjung tiba.
Untunglah ada Awang yang sedikit jadi pelipur lara. Awang, anak bungsu Pak Alang penjaga gudang asap. Akong merasa kehadiran Awang yang sebaya dengan cucunya, jadi penawar rindu kepada cucunya yang jauh. Bocah laki-laki ini sudah nampak lasaknya sejak dia mulai bisa berjalan. Rumah mereka yang berdekatan memudahkan Awang sering datang merecokinya. Awang gemar menyerakkan sayuran hasil panen yang sudah disusun Akong menunggu dijemput pembeli. Tak pernah ia jengkel, apalagi marah atas ulah si Awang. Sebaliknya ia merasakan kehadiran bocah itu menjadi penghibur. Serasa cucunya sendiri yang menemani. Sampai Awang berumur lima tahun, setiap pagi setelah terjaga, Akong selalu berteriak memanggilnya. Awang pun berlari menuju kebun sayur. Akong akan mengangkatnya agar Awang bisa tegak di atas bangku di sisi tempayan. Setelah tutupnya dibuka, memancurlah air kencing Awang menambahkan bau pesing ke dalam tempayan itu. Sesudah diperam berbulan-bulan, nanti Akong menggunakannya untuk memupuk sayuran.
Ketika Awang berusia dua tahun Akong memberanikan diri mengajuk hati pak Alang. Memohon agar diperbolehkan mengakui Awang sebagai cucunya. Cucu pungut, begitulah istilahnya. Memahami kesepian Akong, Pak Alang tidak berkeberatan. Begitulah ceritanya lima tahun sudah Awang berbaju baru bukan hanya waktu hari raya Lebaran, tapi di hari raya Imlek juga. Dua hari sebelum Imlek, Akong akan mengantarkan dua setel celana dan kemeja baru bersama satu nampan selebar tampah berisi manisan buah-buahan. Manisan buah kana kesukaan Awang tak pernah ketinggalan. Tak ada yang lebih menggembirakan Akong selain melihat senyum lebar yang menjepit mata Awang menjadi sipit tatkala menerima angpao di hari Imlek. Satu-satunya penghiburan meringankan kesedihan dan kesepian di ambang senja usia.
Hari raya Imlek tinggal dua hari lagi. Seperti lazimnya pagi itu Akong datang ke rumah Pak Alang membawakan bungkusan berisi pakaian baru dan nampan penuh berbagai jenis manisan untuk diserahkan kepada Awang. Sejenak setelah duduk, Akong menarik keluar sesuatu dari saku kemejanya. Angpao! Diangsurkannya kepada Awang.
”Kenapa sekarang, Kong?” selidik Awang diliputi rasa heran.
”Nggak apa-apa. Janji jangan dibuka dulu! Bukanya lusa pas Imlek ya!” Anak kecil itu mengangguk, tapi masih melanjutkan bertanya,
”Kenapa tidak dikasihkan lusa saja?”
”Siapa tahu Akong tidak sempat.”
”Akong mau ke mana?”
”Oh, tidak ke mana-mana.”
Awang mendekat, menjemba tangan kanan Akong dan menciumnya. Akong mencium ubun-ubun Awang, melepas kacamata dan menyeka kedua pelupuk matanya. Pak Alang dan istrinya terdiam bagai tunggul kayu, menyaksikan adegan itu. Keduanya lalu mengusap mata yang basah.
Imlek tinggal sehari. Akong melangkah menuju pekan. Ia mencari keramaian yang mungkin bisa jadi perintang-rintang rasa sepi. Tampak olehnya sekelompok orang yang mulai berkumpul mengitari seorang pedagang. Tak salah lagi, pikirnya: tukang koyok. Dengan terhuyung-huyung Akong menghampiri. Kepalanya disergap pening hingga telinganya berdenging. Lehernya terasa kaku dan rahangnya menegang. Ia menyelusup di antara penonton dan berdiri di barisan depan. Di sebelah kiri dilihatnya Awang berjongkok. Ia pun ikut berjongkok.
”Haiyya, Awang bolos sekolah ya?”
”Kan hari Minggu, Kong.”
Sejenak kemudian ia bersendawa. Aroma yang tajam, dari barang yang baru saja dimakan dan diminum, menikam hidungnya. Menguar dari semburan napasnya. Ia berusaha memalingkan wajah dari Awang ketika menyadari usahanya terlambat.
”Akong mabuk ya?” tanya Awang khawatir.
”Tidak.”
”Muka Akong merah, macam udang direbus!”
Ada dua tiga kali lagi ia bersendawa, sebelum menengadah ke langit. Agak lama. Dadanya terasa bagai diimpit batu besar. Dari mulutnya yang menganga ia mendengar suaranya sendiri serupa paduan sendawa dan dengkur. Setelahnya ia tidak ingat apa-apa lagi.
***
Awang dan beberapa orang lain terpekik melihat Akong tergelimpang di antara kaki-kaki orang-orang yang tengah menonton. Orang ramai membopong dan melarikannya ke puskesmas. Saat dokter tiba, Akong sudah tiada.
***
Kim Tek termenung selepas mendengar penjelasan dokter. Hasil pemeriksaan: Akong mendapat serangan jantung. Dia tahu, hingga di usia ayahnya yang menginjak enam puluh tahun itu, tidak pernah mengidap sakit selain pilek dan batuk. Tak ada gaya hidup Akong yang berakibat merongrong kesehatan. Tidak merokok, tidak pula meminum ciu. Tentang ciu malah Akong yang mewanti-wanti dirinya, ”Jangan coba-coba makan durian bersamaan minum ciu. Itu namanya cari mampus. Sudah banyak kawanku yang mati.”
Darah Kim Tek berdesir. Dia bangkit dan menuju dapur. Di salah satu sudutnya berlampar kulit dan biji-biji durian. Dia membuka lemari tempat ayahnya menyimpan makanan. Di dalamnya duduk botol ciu yang isinya nyaris tandas. Dan piring, yang menyisakan satu lunas buah durian tembaga.(*)
Catatan:
Akong: Kakek, tutur bahasa Hokian.
Gudang asap: Bangunan tempat mengeringkan getah karet dengan cara mengasapinya.
Makan angin: Berleha-leha, bersantai.
Kedai sampah: Sebutan untuk toko kelontong di Tanah Deli.
Tukang koyok: Tukang jual obat keliling. Koyok dalam bahasa dialek Melayu Deli artinya membual.
Widjaya Harahap, dilahirkan 65 tahun silam di sebuah kampung di pesisir timur Sumatra Utara. Kini bermukim di Ciamis, Jawa Barat. Menekuni penulisan cerpen dan puisi.
Bonie Sudarso, lahir di Bandung 14 Mei 1974. lulus Kriya Tekstil-STISI Bandung (2000), Selain dikenal sebagai desainer pada 16 pabrik tekstil dikawasan Bandung, juga vendor beberapa Distro. Beberapa penghargaan yang diperoleh antara lain Juara Ke 2 Lomba Desain Motif Batik Komar (2013) dan Juara Harapan 1 Sayembara Desain Motif Bandung (2014). Sejak 2017 sudah lima kali pameran tunggal, dan sekali pameran bersama.