Dari Tungku Perapian, Ibu dan Aku Melipat Kenangan
Ibu memantulkan wajah pucat padaku. Ibuku juga semakin kehabisan kata-kata berbicaranya dengan Abang Usman. Kebencian orang kampung seberang pada Abang Usman semakin deras mengalir di telingaku.
Ibu duduk menjongkok di depan tungku perapian yang di susun dari batu bata usang, sedikit berlumut hijau dan kehitaman. Ibu sedang memasak nasi di atas tungku itu dengan menggunakan kayu dan daun kelapa yang sudah mengering. Periuk tua yang bagian bawahnya sudah sangat menghitam dan sedikit peot itu mengepulkan asap putih kehitaman. Sesekali penutup periuk nasi terlihat melompat-lompat ketika air mendidih.
Dari tangga rumah kayu yang turun ke dapur ini, aku juga melihat dua mata ibu berair. Lalu perlahan menetes ke pipi. Itu pasti bukan karena asap dari tungku yang membuat mata ibu perih. Tetapi sesungguhnya, karena ibu memikirkan Abang Usman. Jadi, ini tidak ada hubungannya, antara berairnya mata ibu dengan asap dari tungku perapian itu.
Asap dari tungku perapian itu sesekali juga berlari ke wajahku. Membuatku terbatuk dan sedikit sesak napas. Juga membuat bingkai foto ayah yang terpajang tepat di atas dinding puncak tangga tempat aku duduk sesekali seperti diselimuti kabut. Kabut yang berputar-putar. Dan bila begitu, maka aku akan rindu sosok ayah.
Ayah kami meninggal puluhan tahun silam. Pada masa perang antara gerilyawan pemberontak dengan tentara pusat. Ketika itu aku masih sangat kecil. Kabarnya, ayah mati tertembak oleh tentara. Ayah kami dulu seorang gerilyawan. Sehabis ayah meninggal, ibu bekerja menghidupi kami dari hasil pertanian dan berladang Sawah kami tidak terlalu luas. Hanya tiga petak. Tapi ibu bilang cukuplah untuk kebutuhan hidup kami saat itu.
Sekarang aku sudah duduk di bangku SMA kelas dua, dan kakak laki-lakiku yang bernama Usman, yang usianya satu tahun lebih tua dariku, putus sekolah satu tahun yang lalu. Entah mengapa dia malas sekali sekolah. Padahal ibu sudah sering membujuknya, tapi dia tetap saja bersikeras hati tidak mau lagi sekolah.
”Untuk apa sekolah, nanti jadi petani atau peladang juga. Kampung ini tak ada gunanya ijazah. Apa pergi ke hutan perlu ijazah?” Gugatnya pada ibu suatu hari.
”Tapi pendidikan itu perlu supaya kau jangan bodoh.”
”Aku tidak bodoh bu. Aku sudah bisa mencari uang.”
”Tapi...”
Belum tuntas ibu berbicara, ia sudah pergi.
Sejak putus sekolah, ia jarang pulang ke rumah. Sekali seminggu ia baru kembali sembari membawa uang untuk ibu. Jumlahnya lumayan besar, yang membuat ibu tentu senang. Tapi, setiap ia kembali pergi, ibu merasa uang yang diberikannya seperti menyiksa ibu. Ibuku sebenarnya lebih senang ia setiap hari ada di rumah kami mengurus ladang..
”Ia seperti bapakmu, keras kepala. Kemauannya tak bisa dicegah,” keluh ibu suatu hari.
Pada suatu hari yang lain, entah hari apa, kami baru tahu jika Abang Usman bekerja sebagai kernet mobil pengangkut kayu di kampung seberang. Katanya, kerjanya mengangkat kayu-kayu ke atas truk.
Bulan-bulan berikutnya tubuh Abang Usman semakin membesar. Otot-otot lengannya nampak kekar dan bidang dadanya menonjol ke depan. Mungkin itu akibat pekerjaanya mengangkat beban berat setiap hari. Selain itu, Abang Usman memiliki postur tubuh yang lebih dari laki-laki seusianya. Ia juga mulai terlihat gagah meski kulitnya semakin hitam.
***
Sekolah SMA-ku berada di kampung seberang. Jaraknya sekitar 2 kilometer dari rumahku. Murid-murid di sana berasal dari berbagai kampung dari satu kecamatan. Di kelasku yang siswanya berjumlah dua puluh orang itu, tidak ada satu pun yang satu kampung denganku. Mereka berasal dari kampung lain. Dan, kebetulan dari mereka berasal dari kampung yang sama. Misalnya, Puhan, Sakti dan Mariam, mereka bertiga berasal dari Kampung Atek. Salim, Dika, dan Burhan berasal dari kampung Pulau, kemudian Johan, Sukri dan Saidah berasal dari kampung Lambada, tempat Abang Usman selama ini tinggal. Dan dari mulut mereka pula, aku sering mendengar kabar yang kurang baik tentang Abang Usman.
”Aku tidak menyangka jika kakak laki-lakinya seorang preman,” bisik Mariam suatu pagi di dalam kelas kami.
”Aku tidak berani mengganggu adiknya itu,” seru Puhan pula.
”Kudengar abangnya suka membentak orang di hutan. Ia suka menebang kayu milik orang. Orang-orang tidak berani karena ayahnya dulu seorang gerilyawan,” tambah Sakti.
”Berarti, adiknya itu jajan dengan uang haram,” balas Mariam lagi.
Sejak mendapat cerita yang tidak baik tentang Abang Usman di kelas, membuatku muram dan kurang percaya diri di sekolah. Apalagi semakin hari berita perihal Abang Usman juga menyebar pada siswa di kelas lain.
Ibu murka padanya suatu hari setelah kuceritaan pada beliau. Dan ketika Abang Usman pulang, beliau mencercanya.
”Aku tidak suka anakku mencari uang dengan merugikan orang lain. Kudapat kabar kau suka membentak orang di hutan. Suka mengambil kayu dari pohon orang,” seru ibu.
”Aku tidak menebang pohon. Aku hanya megambil dahan-dahan kayu. Lagian, di hutan pohon-pohon tak terurus. Bahkan, aku tak yakin jika pohon-pohon itu mereka yang menanam. Itu hutan bu, orang bisa saja mengaku-ngaku miliknya,” balasnya.
”Ayahmu mati dibunuh orang karena perang. Aku juga tidak mau kau mati dibacok orang karena kau telah menebarkan permusuhan dengan orang,” ujar ibu dengan wajah pucat.
”Ibu tidak usah kuatir. Badanku kekar. Tubuhku besar. Sampai hari ini tidak ada yang berani denganku. Di pinggangku bu, selalu tergantung parang dari baja. Aku juga merasa sungguh beruntung, mereka mengenal ayah. Nampaknya ayah orang disegani dulunya,” jawabnya sedikit tersenyum.
Ibu memantulkan wajah pucat padaku. Ibuku juga semakin kehabisan kata-kata berbicaranya dengannya. Tapi diakhir pembicaraan itu, ibu masih sempat berujar pelan, ”Ayahmu dulu memang disegani, tapi ia tidak menjahati orang kampung. Jangan kau salah gunakan namanya,” ujar ibu dengan bibir bergetar.
Abang Usman tidak menyahut ibu, ia pergi dengan gegas meninggalkan rumah.
Kebencian orang kampung seberang pada Abang Usman semakin deras mengalir di telingaku di sekolah.
”Abangnya semakin berani di kampungku. Ia mulai berani memukul orang.”
”Banyak orang yang benci pada abangnya.”
”Sssst, kudengar sudah ada yang bersekongkol untuk menghabisinya.”
Aku sungguh ketakutan jika sesuatu yang buruk menimpa Abang Usman. Dan pada hari-hari selanjutnya, aku dan ibu lebih sering dibalut kecemasan padanya. Ibu sungguh tidak ingin, jika Abang Usman mengalami kejadian yang buruk. Dan selalu, setiap ia pulang ke rumah, ibu merasa tenang.
Suatu hari, ibu sangat memohon pada Abang Usman. ”Aku ingin ini adalah hari terakhirmu untuk tidak lagi pergi meninggalkan rumah. Tidak usahlah kau lagi bekerja di hutan mengumpulkan kayu,” bujuk ibu.
”Tidak bu, ini kerjaku. Hanya ini yang bisa mendapatkan uang dengan mudah. Dahan-dahan kayu masih mudah di dapatkan di hutan. Satu hari bisa dapat dua truk kayu. Abang Karim, yang memiliki truk, sekaligus sopir truk sangat senang padaku,” jawabnya.
”Kita punya sawah, itu saja sudah cukup.”
”Aku anak laki-laki bu.”
Seperti dahulu-dahulu, ia tetap pergi meninggalkan rumah tanpa rasa cemas dan rasa was-was. Ia tidak pernah peduli, jika aku dan ibu sangat mencemaskannya.
Suatu petang ibu terjatuh di sumur belakang rumah. Meski tidak terlalu parah, tapi jalan ibu sedikit pincang. Lutut ibu berdarah karena tergores oleh lantai semen yang kasar. Untungnya, dua piring kaca yang pecah tidak melukai ibu.
”Kejadian buruk sedang terjadi. Aku cemas pada abangmu,” kata ibu dengan wajah pucat.
Aku, entah mengapa tidak percaya dengan dugaan ibu. Aku tidak percaya antara jatuhnya ibu di sumur dengan nasib Abang Usman.
Menjelang magrib, ibu masih menanggung perih terkilir dipergelangan kakinya. Aku berjanji esok pagi akan membawa ibu ke tukang urut di kampung seberang. Namun, niat itu terpaksa tidak dapat aku wujudkan, karena tidak lama setelah waktu salat magrib usai, seseorang mengedor pintu rumah kami dengan keras.
”Buka pintu, buka pintu,” katanya.
Dengan gegas dan penuh tanya di kepala aku membuka pintu rumah. Aku lalu mendapatkan seseorang dengan wajah asing menatapku dengan kecemsan.
”Usman, abangmu, mati dikeroyok orang,” katanya.
Mendengar kabar itu lututku bergetar. Ibu beringsut menuju ke arah pintu dengan sangat tergesa.
”Usman, dikeroyok orang?” tanya Ibu.
”Ya bu, Usman meninggal,” jelasnya lagi.
Ibuku setengah berteriak memanggil nama Abang Usman, namun begitu cepat ibuku sudah terkapar dan pingsan.
Proses pemakaman Abang Usman berjalan esok paginya. Tidak banyak pelayat. Hanya tetangga dekat. Teman-teman sekolahku pun tidak ada yang datang. Ibu menangis tidak henti-henti di pemakaman itu di sampingku. Usai pemakaman, di sepanjang malam, ibu sering menyebut nama Abang Usman di rumah kami.
***
Dan hari ini, dari atas tangga kayu yang menjulur ke dapur, aku melihat ibu mengusap dua matanya yang berair. Aku yakin, itu bukan karena asap dari tungku perapian. Tapi karena kematian Abang Usman satu minggu yang lalu, yang masih menyiksa ibu.
(Banda Aceh 2022)
Farizal Sikumbang lahir di Padang dan menetap di Banda Aceh. Perajin Prosa Fiksi. Buku Kumcernya adalah Kupu-Kupu Orang Mati (Basabasi, Yogyakarta 2017).
Setiyoko Hadi lahir di Solo. Mulai belajar melukis di Himpunan Budaya Surakarta (HBS), dibimbing oleh pelukis Soemitro. Bergabung dengan Studio Seni Rupa Bandung asuhan pelukis Jeihan. Belajar di FSRD ITB. Masih aktif berkarya dan berpameran hingga sekarang.