14. Alex
Mereka berdua berjalan menuju villa mewah itu, mesra dan saling menempel seperti direkatkan Aica-Aibon. Tiba di teras, lelaki Lamborghini itu menunjuk pemandangan, dan memang terbentang pemandangan senja yang dahsyat sekali.
”Senja ini akan menjadi milikmu setiap hari Marti, jika engkau sudi menikah denganku.”
Marti mendekati pagar pembatas.
”Bagus sekali. Setiap
senja menjadi indah dari sini.”
Lelaki itu mendekat, merangkul Marti dari belakang.
”Ayo dong kawin, supaya semuanya menjadi lebih indah di sini.”
Marti berbalik, menarik leher lelaki itu, mencium pipinya.
”Kamu baik sekali.”
”Aku sangat mencintai kamu, kawinlah denganku.”
Marti menunduk, berbalik lagi, menatap senja itu.
”Aku bukan perempuan yang pantas untuk kamu.”
”Apa sih yang bisa lebih pantas dari seorang perempuan yang kucintai?”
Marti berbalik menghadapi lelaki Lamborghini.
”Itulah masalahnya, Alex.”
”Kenapa?”
”Aku tidak punya cinta.”
”Jadi kamu tidak mencintai aku?”
Marti mengelus rambut Alex.
”Aku sangat menghargai kamu Alex, tapi maafkan aku.”
Alex memutar badan ke segenap arah pemandangan sambil mengembangkan tangannya.
”Kamu tidak menginginkan semua ini?”
Marti menatap Alex dengan kasihan.
”Aku menginginkan banyak dari dunia ini, tapi aku tidak ingin kawin dengan orang yang tidak kucintai.”
Alex menatap pemandangan senjakala. Semburat jingga di langit memang seperti cinta, tetapi cinta hari ini hanya bermakna kepedihan bagi Alex.
”Yah, kupikir tadinya senja ini bisa membeli kamu. Ternyata senja juga bukan segala-galanya bagi kamu.”
Marti memeluk Alex dari belakang.
”Kita masih bisa berteman, Alex.”
Alex meraba tangan Marti di pinggangnya.
”Teman. Hmm. Mudah-mudahan kata itu masih ada artinya di dunia kita yang brèngsèk ini.”
Marti menutup mulut Alex dari belakang.
”Ssshhh!”
Baca Juga: Marti & Sandra (Bagian 11)
***
Marti, yang baru turun dari mobilnya, melangkah dalam klab malam yang penuh pramuria berseliweran. Lampu sorot dari panggung, tempat seorang penyanyi membawakan lagu cinta penuh duka, memperlihatkan genangan asap rokok, yang memenuhi segenap ruangan di klab malam itu.
Mami mengiringinya berjalan saat mereka bicara.
”Si Alex nangis-nangis di telepon, dia tidak mengerti kenapa kamu menolaknya. Terus terang aku juga tidak mengerti.”
”Tidak semuanya bisa dijual, Mami.”
”Kamu lebih suka meneruskan hidupmu yang seperti ini?”
”Baru inilah yang bisa kulakukan sekarang. Aku puas kok dengan pilihanku.”
Mami menggeleng tidak mengerti. Mereka berhenti di tempat petugas, yang mencatat nama Marti, dan memberinya nomor.
”Sebenarnya ini kan baik untuk Sandra. Dia pernah menanyakan apakah aku tahu siapa papanya,” Mami masih terus mendesak.
”Taik kucing dengan Papa,” ujar Marti sambil melangkah masuk ruang kaca dengan nomor besar di dadanya, dan duduk dengan jengkel.
Baca Juga: Mata Kamera Seno Gumira