13. Pangeran dan Putri
Semua murid menunduk, menulis dengan tekun. Ibu Guru Tati tampak masih berjalan menyusuri sela bangku. Berjalan dari bangku ke bangku, tampak kertas yang ditulisi murid-murid itu mulai penuh.
Seorang murid menulis dengan tekun.
… semua orang seolah-olah sangat sayang padaku. Aku juga mempunyai banyak teman, kami bergembira setiap hari. Di sekolah senang, di rumah senang, aku sungguh bersyukur kepada Tuhan …
Seorang murid lain lagi juga menulis dengan tekun.
… setiap hari Minggu, kami sekeluarga selalu pergi ke luar kota. Kami pergi dengan mobil, dan menginap di mana saja. Puncak, Bandung, Tanjung Lesung …
Murid-murid lain juga menulis dengan sungguh-sungguh.
... senang sekali rasanya …
… selalu mendapat hadiah …
… ada Kakak, ada Adik, ada Nenek …
… keluarga kami berkumpul semua …
Sandra menyandarkan kepalanya di meja, menutupi kertasnya yang masih putih. Matanya terbuka, seperti sedang melihat sesuatu, tetapi di dalam benaknya sendiri.
Baca Juga: Marti & Sandra (Bagian 10)
***
Sandra berada di tempat tidur, Marti membacakan sebuah cerita.
Maka akhirnya, Pangeran dan Putri itu memasuki istana, disambut oleh Raja dan Permaisuri, beserta segenap isi istana. Mereka diantar ke balkon dan di sana mereka disambut oleh rakyat dengan gegap gempita. Pangeran mencium pipi Putri, kini mereka telah menjadi suami-istri, dan mereka akan hidup bahagia selama-lamanya.
”Apakah Pangeran dan Putri kelak akan punya anak, Mama?”
”Wah, ceritanya sudah tamat sampai di sini Sandra. Mama tidak tahu, mereka akan punya anak atau tidak.”
”Sandra mau dengar cerita tentang anaknya.”
”Ah, Pangeran dan Putri kan punya orangtua juga. Mereka adalah anak-anak Raja dan Permaisuri.”
”Anak-anak Raja dan Permaisuri selalu hidup berbahagia?”
”Kalau dalam dongeng sih begitu, Sandra.”
”Apakah Pangeran dan Putri itu betul-betul ada?”
Marti mencium kening Sandra.
”Kamu kan Putri-ku, Sandra.”
”Mama Permaisuri?”
”Ya, Mama Permaisuri.”
”Mana Raja-nya?”
Marti tersentak, tapi lantas mengelus kepala Sandra.
”Sandra, hidup itu tidak selalu seperti dongeng. Kita bisa hidup tanpa seorang Raja di istana kita.”
***
Sandra terbangun. Hanya ada cahaya dari celah pintu. Ia turun dari tempat tidur. Lirih-lirih terdengar suara tangis.
Sandra membuka pintu. Cahaya di ruang tengah yang tadinya gelap bertambah terang.
Marti duduk tenggelam di kursi. Memang Marti yang menangis di kursi itu. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Sandra memandang ibunya.
”Mama, kenapa menangis Mama?”
Marti mengangkat wajahnya, baru sadar ada Sandra di depannya. Pipinya basah. Ia memeluk Sandra, dan melanjutkan tangisnya, yang terdengar ngilu, seperti rintihan, seperti merambati sebuah luka yang panjang.
Sandra mengelus rambut ibunya.
”Mama, jangan menangis Mama …”
Baca juga: Mata Kamera Seno Gumira