Resi Ramabargawa mengayunkan kapaknya ke tubuh Prabu Arjunasasrabahu dan Raja Maespati itu pun tewas. Resi Ramabargawa meratap, mengapa Prabu Arjunasasrabahu, yang diharap mengakhiri perjalanannya, justru mendahuluinya.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Prabu Arjunasasrabahu terkejut. Ternyata, seperti keinginannya, resi ini juga mencari jalan menuju kematian. Mungkinkah resi ini datang untuk menyediakan jalan bagi keinginannya? Tidakkah setelah bencana di bengawan Gangga, dan perang besar-besaran melawan Rahwana dari Alengka, satu-satunya yang ia inginkan adalah menemukan jalan menuju kematian?
”Hai resi, seperti kau, aku pun sedang nggoleki dalane pati. Aku kira, kaulah jalan yang disediakan bagiku untuk menemukan kematianku,” kata Prabu Arjunasarabahu dengan tabah.
”Tidak semudah itu, hai raja. Kematian adalah maut yang harus dikalahkan, hanya dengan mengalahkannya, kita memuliakan kehidupan. Maka, menghadapi kematian, kita harus mengadakan perlawanan. Dan bagiku, senjata untuk melawan kematian adalah kejujuran terhadap kehidupan. Aku telah membunuh ibuku demi kejujuran. Maka aku ingin mati juga di tangan kejujuran itu. Peganglah gandewa Bargawastra yang kubawa ini. Hanya kejujuranlah yang bisa mematahkannya. Jika kau dapat mematahkannya, tak perlu lagi aku melawanmu, aku menyerah. Itu artinya saat kematianku telah tiba. Kau bisa dengan mudah mengakhiri hidupku,” tutur Resi Ramabargawa.
”Begawan, aku pasti tak bisa mematahkannya. Aku tahu, aku tidaklah jujur dalam hidupku. Untuk apa aku mencoba?” Prabu Arjunasasrabahu mengaku dengan setulus hatinya. Ia merasa amat lega, justru dengan pengakuannya yang membuka kelemahannya. Memang seharusnya tak boleh pengakuan itu keluar dari mulut seorang satria yang dianggap gagah dan mulia. Ia merasa Resi Ramabargawa telah mendekatkan kematian padanya. Pada saat seperti ini, tak ada gunanya mempertahankan semua kegagahan dan kemuliaannya. Ia melepaskannya, dan ia merasa terbebas dari segala beban kepalsuan hidup yang selama ini menindihnya.
”Kau harus mencobanya, hai raja. Tidakkah kau sedang mencari jalan menuju kematian? Kalau memang harus aku yang mengantarmu, itu akan kulakukan. Tapi aku tidak bisa melakukannya begitu saja, karena aku tidak bisa memastikan, apakah kau jujur atau tidak, walau kau mengaku, kau tidak jujur. Pendeknya, bila kau bisa mematahkannya, kaulah yang menemukan jalan bagiku untuk mati. Bila tidak, akulah yang membantumu untuk menemukan jalanmu menuju ke kematianmu,” Resi Ramawabarga mendesak terus.
”Baiklah hai pendeta, aku akan melakukannya. Aku sudah siap jika aku harus mati. Aku lega, karena aku sudah mengakui bahwa aku tidak jujur dalam kehidupanku, di saat aku merasa kematian sedang hendak menjemput aku. Dengan demikian aku merasa jujur di hadapan kematian, dan karenanya aku percaya, kematian akan sudi menghapus segala ketidakjujuran dalam hidupku. Berikan gandewamu padaku sekarang juga,” pinta Prabu Arjunasasrabahu dengan tabah.
Angin bertiup kencang, ketika Prabu Arjunasasrabahu menerima gandewa Bargawastra dari tangan Resi Ramabargawa. Bunga-bunga kenanga berguguran tertiup angin, dan Prabu Arjunasasrabahu merasa ia tengah menghirup bau harum kematian. Dengan hati tabah, ia menarik gandewa itu. Ternyata ia tak berhasil mematahkannya. Ia mencobanya lagi, ternyata tak juga gandewa itu patah. Beberapa kali ia mengulangi, gandewa Bargawastra tetap utuh seperti semula. Terakhir kali ia menariknya, ia malah terpental jatuh ke tanah. Tiba-tiba pada saat itu juga seberkas cahaya seperti sosok dewa mulia keluar dari dirinya. Itulah sosok Batara Wisnu yang selama ini bersemayam dalam dirinya. Sosok itu sekarang pergi meninggalkannya. Inilah saat dia menyerah pada kematiannya. Ia menyerah, tapi tidak merasa kalah. Di hadapan kematian, ternyata tiada berlaku kata menang atau kalah. Di sini, sekarang ini, kematian hanya memberikan padanya kata yang berasa tentang pelepasan dan pembebasannya. Ia sungguh-sungguh merasa terbebas dan lega.
Menyaksikan Prabu Arjunasasrabahu rebah di hadapannya, Ramabargawa kelihatan sedih. Ia percaya, ia hanya akan mati di tangan kejujuran. Sekarang, Prabu Arjunasasrabahu yang titisan Wisnu pun tak dapat mematahkan gandewa Bargawastranya, tanda memang kejujuran tidak sempurna berada dalam dirinya. Ini berarti, belum juga ia menemukan jalan yang dicarinya. Ia masih harus menunggu lagi untuk mati.
”Oh dewa, mengapa belum juga berakhir penantianku?” Resi Ramabargawa mengesah. Ia pun berpaling ke Prabu Arjunasasrabahu dan mengungkapkan kesedihannya, ”Kukira kaulah yang akan mengakhiri jalanku, ternyata kau sendiri yang sekarang menemukan jalanmu.”
Ia memandang Raja Maespati dengan pandangan yang terakhir kali, ”Aku iri terhadapmu, hai raja. Ternyata kau diperbolehkan untuk mendahuluiku. Tapi kini aku makin sadar, tak boleh aku mengiri untuk mati. Aku tak bisa memaksakan kematianku, bila saatnya memang belum tiba bagiku. Ini saatmu, dan belum saatku.”
Langit menggelegar dengan kilat-kilatnya. Awan mengeras, mengambang jadi batu-batuan hitam yang kehilangan tangisnya. Di angkasa yang merana, berlari kerinduan bagaikan kuda-kuda yang kakinya patah. Resi Ramabargawa mengayunkan kapaknya ke tubuh Prabu Arjunasasrabahu dengan tangan yang lelah. Dan Raja Maespati itu pun mengembuskan napas untuk terakhir kalinya. Resi Ramabargawa meratap, mengapa Prabu Arjunasasrabahu, yang diharap untuk mengakhiri perjalanannya, justru pergi mendahuluinya. Sampai sekarang pun, belum juga ia menemukan jalan menuju kematiannya, padahal ia sudah amat lelah membawa hidupnya. Ia mendengar angkasa makin menggelegar, dan dilangit kilat-kilat cahaya menjadi pedang tajam, membuat ia makin bertanya, mengapa belum juga hidupnya terpenggal? Hujan pun menderas turun, menetes menjadi airmata kerinduan yang menegurnya, betapa pun kau merasa dekat jalan ke sana, kematian tak juga akan menjemputnya, bila saatnya memang belum tiba. Ia pergi lagi melanjutkan perjalanannya. Dari kejauhan dilihatnya Maespati yang telah menjadi sepi dan sunyi. Maespati yang dulu megah dan mulia, kini menjadi negeri, yang seakan tak pernah ada di dunia ini.