Prabu Arjunasasrabahu pun tahu bahwa rakyatnya mencela belas kasihnya. Ia menerimanya. Betapapun ia menerangkan alasannya mengapa ia berbelas kasih pada Rahwana, tak akan rakyat Maespati mau menerimanya. Maka makin sadarlah ia, belas kasih ternyata menyudutkannya ke dalam sepi. Kesepiannya membuat kekuasaannya tak lagi memancar. Dan Maespati yang dulu semarak dan megah kini menjadi negara yang sepi pula. Rasanya Maespati bagaikan negara yang dicekam kematian.
Sementara mendung kematian menjadi langit Maespati, mendekatlah ke sana seorang resi yang rindu untuk mati. Resi itu adalah Ramabargawa, putra Resi Jamadagni. Ibunya, Dewi Renuka, melakukan perbuatan yang melanggar kesetiaan, walau ia sudah berputra lima. Ia ketahuan berbuat serong dengan seorang raja satria, Prabu Citrarata. Perbuatan Dewi Renuka akhirnya ketahuan oleh ayahnya, Resi Jamadagni. Pendeta ini marah, dan tidak bisa menerima kelakuan istrinya. Dan meskipun ia seorang pendeta, ia tidak bisa mengampuni istrinya. Ia mengumpulkan putra-putranya, dan meminta mereka untuk mengucapkan sumpah demi kejujuran. Kelima putranya sanggup, demi tegaknya kejujuran untuk melakukan apa saja. Ternyata setelah diberi tahu, demi sumpah kejujuran itu mereka harus mau membunuh ibunya yang tidak jujur, satu per satu mundur dan mengingkari sumpahnya. Satu-satunya yang sanggup adalah Ramabargawa. Baginya, kejujuran harus berdiri di atas segala-galanya, juga di atas cinta akan ibunya.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 147)
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 148)
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 149)
Ramabargawa pun pergi mencari ibunya. Namun di tengah jalan, ia ragu, sungguhkah ia tega membunuh ibunya. Ia memutuskan, sebelum ia menyaksikan sendiri perbuatan ibunya, ia tak akan melakukan apa-apa. Beberapa saat kemudian, ia melihat raja satria, Prabu Citrarata, pergi menghibur diri bersama para istrinya di sebuah telaga. Ternyata ibunya Dewi Renuka sudah menunggu di sana. Prabu Citrarata menyelinap pergi meninggalkan istri-istrinya, lalu bercumbu bersama Dewi Renuka. Ramabargawa mendidih darahnya, tanpa berpikir panjang, ia langsung menghabisi ibunya dengan kapaknya. Melihat ibunya mati di tangannya, ia menangis sejadi-jadinya. Ia menyesal, biar bagaimanapun sembilan bulan lamanya ia berada dalam kandungan ibunya, bagaimana sampai terjadi ia tidak bisa mengampuni kesalahannya? Ia meminta maaf pada ibunya, namun terlambat, ibunya sudah binasa. Ia lalu marah terhadap ayahnya, mengapa ayahnya yang seorang pendeta itu tidak mempunyai belas kasih dan mau memberi maaf pada ibunya, walaupun ibunya memang bersalah?
Setelah sekian lama, ia merasa lelah dengan pencariannya. Ia menyambat kepada para dewa, kapankah ia boleh mati dan selesai dengan pencariannya ini?
Ia menjadi serba salah, menjadi orang yang tak mempunyai pegangan lagi. Mengapa ia mempunyai ibu yang tidak setia, dan ayah yang tidak dapat mengampuni, dan mengapa ia sendiri sampai tega membunuh ibunya sendiri? Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. Ia merasa, ini semua gara-gara satria yang berselingkuh dengan ibunya. Maka dalam kekacauan dan kebingungan hati, ia bersumpah, ”Mulai hari ini, semua satria adalah musuhku.” Ia lalu meninggalkan pertapaannya, Sambiharja, lalu menjadi resi pengembara yang mencari satria untuk dibunuhnya. Ke mana-mana ia membawa senjata parasu, sebuah kapak raksasa yang telah dipakainya untuk membunuh ibunya. Itulah sebabnya ia juga disebut Ramaparasu. Juga dibawanya pusaka Bargawastra, sebuah gandewa raksasa. Ia pergi pertama-tama mencari raja satria Prabu Citrarata. Satria itu dengan mudah dihabisi dengan kapaknya. Lalu ia mengelilingi jagat, dan membunuh setiap satria yang dijumpainya, bila satria itu tidak dapat mengalahkannya. Ia menganggap perjalanannya ini sebagai dalan goleki pati, jalan untuk mencari kematiannya.
Sudah sekian banyak satria dibunuhnya, tapi belum satu pun yang dapat mengalahkannya. Setelah sekian lama, ia merasa lelah dengan pencariannya. Ia menyambat kepada para dewa, kapankah ia boleh mati dan selesai dengan pencariannya ini? Ia mendapat jawaban, nanti bila ia bertemu dengan satria titisan Batara Wisnu, pada saat itulah ia akan menemui ajalnya. Ia akhirnya sampai ke Maespati. Betapa gembira hatinya, setelah ia tahu, Prabu Arjunasasrabahu, raja Maespati itu adalah titisan Batara Wisnu. Ia mencari tahu, siapa Prabu Arjunasasrabahu, dan apa saja yang telah diperbuatnya selama hidupnya. Dengan mudah ia memperoleh cerita dan riwayat Prabu Arjunasasrabahu. Ia segera ingin menemuinya, dan berharap Prabu Arjunasasrabahu dapat mengakhiri jalan menuju ke kematiannya.
Setelah melepaskan Rahwana, dan Maespati menjadi sepi, Prabu Arjunasasrabahu juga selalu berpikir, satu-satunya yang harus ia jalankan adalah mencari jalan menuju mati. Pasti jalan itu bukan jalan bunuh diri. Juga bukan jalan untuk melakukan peperangan lagi. Tak bisa ia tiba-tiba mengada-adakan perang dan mencari-cari lawan. Setelah perang habis-habisan melawan Rahwana, Maespati tidak mempunyai prajurit yang mencukupi. Maespati bukan lagi negeri yang disegani, tak ada yang mau memandang dan menandingi mereka lagi. Lalu di manakah jalan menuju kematian itu harus ditemukan? Dengan pertanyaan ini, Prabu Arjunasasrabahu sering berjalan-jalan ke hutan seorang diri. Dalam kesepiannya inilah ia bertemu dengan Resi Ramabargawa, Ramaparasu.
”Prabu Arjunasasrabahu, aku telah mengetahui semua tentang dirimu. Kau adalah raja satria titisan Batara Wisnu. Berperanglah melawan aku, dan sempurnakanlah jalanku,” kata Resi Ramabargawa tanpa sedikit pun berbasa-basi. Prabu Arjunasasrabahu terheran-heran, tiba-tiba harus berhadapan dengan seorang resi yang menantang berkelahi.