Prabu Arjunasasrabahu terus terdiam dan merenung. Ia tertegun, begitu sayang Begawan Pulastya terhadap buyutnya, walau kedurhakaannya. Rasa sayangnya tak terbatasi oleh kedurhakaan buyutnya. Mengapa ia bisa demikian mempunyai belas kasih yang tak terbatasi itu? Mungkin itu justru karena ia mempunyai buyut Rahwana yang angkaramurka dan durhaka? Jika kedurhakaan itu tidak menjadi bagian dari miliknya, mungkin ia juga tidak mempunyai belas kasih sebesar itu. Sementara Raja Maespati itu berpikir, dia adalah raja yang berkuasa, dijunjung mulia, dan dianggap baik dan bijaksana. Ini membuat dirinya terjauhkan dari kejelekan, kedurhakaan, dan keangkaramurkaan. Semuanya yang jelek dan buruk bukanlah miliknya. Pantas bila ia sendiri tidak pernah merasakan betapa yang jelek dan buruk membutuhkan belas kasihnya. Kebaikan, kebijaksanaan, dan kemuliaannya seakan bukan tanah yang cocok, di mana belas kasih bisa tumbuh dengan subur. Adakah Rahwana yang jahat dan durhaka ini sengaja diberikan padanya, supaya ia sadar, bahwa ia bukanlah tanah yang kering dan tandus bagi belas kasih itu? Ia jadi mengira, dirinya tidak semulia, sebaik, dan sebijak seperti ia kira, justru karena tiadanya belas kasih itu padanya.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 146)
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 147)
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 148)
”Paduka Raja, buyutku Rahwana memang jahat. Tapi semoga Paduka berkenan merenungkan, kejahatan pun akan hidup, bila belum waktunya mati, sebaliknya, kebaikan apa pun akan pergi, bila sudah waktunya mati,” kata Begawan Pulastya.
Prabu Arjunasasrabahu tersentak dengan peringatan itu. Ia tiba-tiba berpikir mengenai kuasa waktu di atas kejahatan atau kebaikan. Siapa yang bisa memastikan orang jahat akan mati, kecuali waktu sendiri? Siapa yang bisa menjamin kebaikan tak akan mati, jika waktu menghendakinya mati? Bisa saja waktu masih memberi kesempatan Rahwana untuk hidup, meski ia jahat. Tapi bisa saja waktu menginginkan dia untuk mati, bahkan seandainya dirinya adalah baik. Seketika, Raja Maespati ini merasa, tiba-tiba kematian sedang memanggilnya. Sumantri yang dicintainya telah pergi untuk selamanya, permaisuri Maespati, Dewi Citrawati, berserta putri domas yang menjadi selirnya, telah tiada, bahkan Patih Suroto yang setia sejak masa mudanya juga telah mati. Sungguhkah kematian telah mengecualikannya? Perasaan akan kematian inilah yang membuat Prabu Arjunasasrabahu mengambil keputusan tak terduga ini.
“Begawan, aku akan melepaskan buyutmu sekarang juga!” tegas Prabu Arjunasasrabahu.
“Paduka, sungguhkah itu? Kalau benar, lalu apa yang harus diperbuat oleh buyutku untuk membalas belas kasih Paduka yang tak terkira ini?” tanya Begawan Pulastya tak percaya.
“Sungguh, Begawan. Dan aku akan melepaskannya tanpa syarat apa pun,” jawab Prabu Arjunasasrabahu.
“Paduka, semoga para dewa membalas kemurahan hati dan belas kasih, Paduka. Hanya itu yang bisa aku ucapkan sebagai ganti rasa terima kasihku yang tak terkira,” kata Begawan Pulastya. Lalu ia berpaling pada Rahwana, “Buyutku, sesungguhnya kau sama sekali tak layak menerima belas kasih sebesar ini. Berterimakasihlah pada Sang Prabu, dan ucapkanlah janji, bahwa kau akan menghilangkan angkaramurkamu, dan tak akan melakukan kejahatan lagi.”
“Begawan, aku tak menuntut janjinya. Aku melepaskannya dengan rela. Ia tidak terikat padaku, dan bukan tergantung padaku, apakah ia hendak menjadi jahat atau menjadi baik. Seperti katamu, waktu sendiri yang akan menentukan, manakah batas bagi kejahatannya bila ia memaksa untuk melakukannya. Bagi diriku sendiri aku hanya ingin, biarlah belas kasih yang kuberikan padanya menjadi jalan lapang bagiku untuk menghadap pada kematianku bila ia nanti datang menjemputku,” kata Prabu Arjunasasrabahu. Dan ia pun melepas rantai pusaka Nagarante yang mengikat dan menyiksa Rahwana.
“Sembahlah Prabu Arjunasasrabahu sebagai junjunganmu, Rahwana. Dan berterimakasihlah atas segala belas kasihnya yang tak terkira,” perintah Begawan Pulastya pada buyutnya. Rahwana tidak mengira sama sekali, bahwa penderitaannya berakhir dengan kemurahan hati seperti ini. Ia lega, dan tanpa berpikir panjang ia segera duduk merendahkan dirinya di hadapan Prabu Arjunasasrabahu.
Siapa yang bisa menjamin, ia akan melakukan kebaikan, karena ia telah mendapat belas kasih yang demikian besar? Prabu Arjunasasrabahu tahu, itu semua tidak terletak di tangannya. Ia menerima, bahkan belas kasih bisa berakhir dengan sia-sia.
“Hamba berterima kasih pada kemurahan Paduka Raja Mahadiraja yang mulia. Percayalah, hamba berjanji untuk sungguh melakukan kebaikan, sebagai balasan yang harus hamba persembahkan pada Paduka yang demikian berbelas kasih pada hamba,” kata Rahwana menyembah, sambil mencium kaki Raja Maespati. Lalu raja raksasa ini berpaling kepada Begawan Pulastya, “Eyang buyutku, tanpa pertolonganmu, tak akan aku mendapat kemurahan hati dan pengampunan yang demikian dari Sang Prabu Arjunasasrabahu. Aku mohon restumu, semoga aku dapat mengikis segala kejahatan, yang membelenggu aku, sampai aku menjadi senista itu.”
Rahwana pun terbang, menghilang jauh, entah ke mana, mungkin juga ia pulang kembali ke awan gelap kejahatan dan keangkaramurkaannya. Siapa yang bisa menjamin, ia akan melakukan kebaikan, karena ia telah mendapat belas kasih yang demikian besar? Prabu Arjunasasrabahu tahu, itu semua tidak terletak di tangannya. Ia menerima, bahkan belas kasih bisa berakhir dengan sia-sia. Ia hanya sadar, belas kasih itu akan menuntunnya, sekarang ketika ia tahu hidupnya hanya tinggal nggoleki dalaning pati, mencari jalan menuju kematian, seperti digariskan oleh waktunya.
”Begawan, terima kasih, kau telah mengingatkan aku akan apa yang harus aku buat dengan hidupku,” kata Prabu Arjunasasrabahu kepada Begawan Pulastya. Segera pendeta suci itu pulang ke pertapaannya di Girimukti. Prabu Arjunasasrabahu tinggal sendiri. Dalam sunyi ia melihat pohon Mandira, di mana tadi Rahwana terikat dan tersiksa. Ia merasa, dengan melihat pohon Mandira itu ia seperti memandang pelepasannya.
Rakyat Maespati tak habis mengerti, bagaimana mungkin Prabu Arjunasasrabahu melepas Rahwana, raja Alengka itu. Rahwana telah menewaskan demikian banyak orang Maespati, dan menyebabkan demikian banyak kekacauan. Tak heran, di mata mereka, Rahwana adalah raksasa jahat, sumber malapetaka, yang sudah selayaknya dimusnahkan. Nyawa raksasa sudah di ujung tanduk, ketika ia terikat tak berdaya sebagai pesakitan pada pohon Mandira di alun-alun Maespati. Mengapa makhluk demikian jahat akhirnya dibiarkan pergi? Pantas bila rakyat Mespati tak habis mengerti.