Patih Suroto lalu berteriak keras, membangunkan Sang Prabu. Tapi teriakannya terpantul kembali menjadi gema yang justru memekakkan telinganya. Andaikan ia boleh naik ke tubuh Sang Prabu dan menginjak-injaknya sekali pun, itu hanya akan seperti seekor semut yang merambati gunung, dan tak memberikan rasa apa-apa pada tubuh junjungannya. Patih Suroto putus asa, dan tak tahu, harus mencari pertolongan ke siapa. Ia menyerah, dan dengan perasaan pasrah, ia mendekati telinga Prabu Arjunasasrabahu, lalu berbisik dengan lemah, “Sang Prabu, Raden Sumantri telah gugur.” Patih Suroto terkejut, justru dengan bisikan lemah yang menyebutkan nama Sumantri itu tiba-tiba terlihat Prabu Arjunasasrabahu menggeliat.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 143)
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 144)
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 145)
“Paman Patih, benarkah yang kudengar darimu, Sumantri telah gugur?” Prabu Arjunasasrabahu terkejut tak mengira.
“Benar, Paduka, Raden Sumantri, Mahapatih Suwondo, telah gugur di medan laga,” jawab Patih Suroto lega melihat rajanya mulai terbangun dari tapanya.
“Siapa yang membunuhnya?” tanya Prabu Arjunasasrabahu lagi.
“Rahwana, penguasa Alengka, raja raksasa yang menyerang pasukan Maespati, sementara Paduka bertapa,” tegas Patih Suroto.
“Sumantri gugur? Rahwana yang membunuhnya?” Prabu Arjunasasrabahu mengulang kata-kata Patih Suroto seakan tak percaya. Serentak ia keras menggeram. Geramannya menggema, mengalahkan suara keburan samudra. “Kau tak boleh mati, Sumantri!” teriak Prabu Arjunasasrabahu lagi. Teriakannya demikian memilukan hati. Dari teriakannya itu terasa betapa ia sedih karena kehilangan Sumantri. Memang dari semula dia amat menyayangi Sumantri, lebih dari siapa saja. Ia tak mengira, Sumantri demikian cepat meninggalkannya. “Paman, aku tak rela Sumantri binasa. Aku harus membalas kematiannya. Rahwana harus kuhabisi sekarang juga!” geram Prabu Arjunasasrabahu.
Tanpa berpikir panjang, Prabu Arjunasasrabahu dalam wujud raksasanya itu segera bangun. Ia menegakkan kakinya lalu bangkit secepatnya. Dan berlarilah ia sekencang-kencangnya. Ia sama sekali lupa, bahwa dengan tindakannya itu musnahlah bendungan yang terbuat dari tubuhnya di muara bengawan Gangga. Selama ini kakinya yang raksasa menjadi tanggul di lembah, di mana Dewi Citrawati dan putri-putri Maespati berada. Maka begitu kakinya beranjak, tanggul itu hilang. Serentak jebollah telaga yang selama ini dibendung oleh tubuhnya. Air bah pun menderas turun ke dataran yang tadinya lembah. Dewi Citrawati dan putri-putri Maespati tak mengira sama sekali tiba-tiba datang bencana air bah menghampiri mereka. Mereka menjerit-jerit ketakutan. Tangan mereka melambai-lambai minta tolong. Mereka menjerit-jerit dengan amat memilukan. Betapapun pilu jeritan itu terdengar, tak ada siapa pun yang dapat menolong mereka. Dalam sekejap air bah menerjang mereka. Tubuh-tubuh putri jelita itu tergulung-gulung terseret arus air yang dahsyat.
Kematian ternyata tak mengenal waktu. Di hadapan kematian, waktu suka dan waktu duka ternyata sama saja.
Siapa mengira kematian datang dengan tiba-tiba dalam rupa air bah? Kematian ternyata tak mengenal waktu. Di hadapan kematian, waktu suka dan waktu duka ternyata sama saja. Baru saja putri-putri jelita itu bersenang-senang di lembah seperti surga, mendadak sekarang air bah melemparkan mereka semua ke samudra. Seperti putri-putri Maespati lainnya, tak sejenak pun Dewi Citrawati bisa berpikir tentang kematiannya. Kematian memperlakukan dia sama seperti putri-putri lainnya. Di hadapan kematian yang mendadak mencengkamnya, kendati kecantikan dan keagungannya yang tiada tara, Dewi Citrawati tiada bedanya dengan putri-putri Maespati yang tergulung-gulung air deras bengawan Gangga. Bersama mereka, Dewi Citrawati terlempar dan akhirnya lenyap ditelan samudra yang tiada tepinya. Jika dulu ia pernah ditelan cinta yang rasanya tanpa tepi, sekarang dia ditelan kematian yang tak lagi mengenal hari.
Deru air bah Bengawan Gangga yang demikian dahsyat itu sampai ke telinga Prabu Arjunasasrabahu. Ia menghentikan lari kencangnya, dan menoleh kembali ke muara yang ditinggalkannya. Sayup-sayup masih juga terdengar olehnya jeritan pilu putri-putri Maespati. Ia masih sempat juga melihat lambaian tangan-tangan mereka yang meminta tolong. Terlihat juga Patih Suroto, punggawa tua Maespati itu, bergerak mencoba melawan arus, dan mencari pegangan hidup, tapi akhirnya juga terlempar ke laut. Dari jauh ia memandang, bagaimana laut menjadi maut yang menelan mereka, tanpa bekas dan sisa sedikit pun juga. Ia tak mengira, Dewi Citrawati dan putri-putri Maespati serta Patih Suroto sirna dalam sekejap mata. Dan itu semua terjadi karena kesalahannya. Mengapa ia begitu saja bangun dari semadi, begitu ia mendengar Sumantri mati?
Jika ia tidak terburu-buru bangun, dengan badannya yang sebesar gunung, ia pasti bisa menahan dan mengarahkan Bengawan Gangga, sampai air telaga yang diciptakannya sendiri itu mengalir ke arah lain dan kemudian surut perlahan-lahan, hingga Dewi Citrawati dan putri-putri Maespati bisa diselamatkan. Ia adalah titisan Batara Wisnu, ia pasti bisa meniadakan telaga itu, seperti ia telah bisa menciptakannya, tanpa membahayakan nyawa siapa pun juga, apalagi permaisuri dan selir-selirnya. Dan tidakkah ia membuat telaga itu hanya agar Dewi Citrawati dan putri-putri Maespati dapat bersenang-senang? Ternyata justru telaga ciptaannya itu yang mengantarkan orang-orang yang dicintainya itu menuju kebinasaan. Mengapa semua ini terjadi justru ketika ia terbenam dalam semadi? Ia tak habis mengerti dengan semuanya ini. Yang dirasanya adalah rasa kehilangan luar biasa. Kehilangan Sumantri, Patih Suroto, Dewi Citrawati, dan putri-putri Maespati yang tiada bersalah. Ia sungguh-sungguh sedih, dan dengan kesedihan ia lari ke medan laga, hendak melabrak Rahwana, membalaskan kematian mereka yang dicintainya.
Di medan laga ia melihat Rahwana sedang mengamuk dan mengobrak-abrik balatentara Maespati. Ia mendengar, hampir semua senapati Maespati sudah mati dalam peperangan melawan Rahwana. Ia segera menghampiri Rahwana. Raja Alengka yang juga sedang bertiwikrama itu terkejut. Ia merasa dirinya raksasa yang besar luar biasa, ternyata sekarang di hadapannya berdiri raksasa yang jauh lebih besar daripada dirinya.