Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 147)
Sejenak Prabu Arjunasasrabahu berpikir, raksasa yang dahsyat itu kiranya hanya bisa diperdaya dengan kekuatan yang ada pada dirinya. Bagaimana membuat kekuatan itu lunglai dengan sendirinya?
“Siapakah kau?” tanya Rahwana.
“Tak perlu kau bertanya, siapa aku. Aku datang hanya untuk membalaskan nyawa orang-orang yang mati di tanganmu.” Serentak dengan jawaban ini, sisa-sisa bala tentara Maespati bersorak gembira, dan mengagungkan nama rajanya. Dan bangkit kembalilah harapan mereka. Rahwana pun tahu, ternyata yang dihadapinya adalah Prabu Arjunasasrabahu.
“Ternyata kaulah Raja Maespati yang telah kucari-cari. Andaikan kau mau segera menemui aku, tak perlu jatuh korban sebanyak ini. Aku akan membuktikan, apakah kau memang raja diraja yang sakti mandraguna, seperti yang diagung-agungkan di mana-mana,” tantang Rahwana dengan lantangnya.
“Silakan kau mencobanya, Rahwana, jika kau tak menyayangi nyawamu sendiri,” kata Prabu Arjunasasrabahu.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 144)
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 145)
Anak Bajang Mengayun Bulan (Bagian 146)
Maka berkelahilah Prabu Arjunasasrabahu dan Rahwana. Kembali pertempuran berhenti. Para prajurit Alengka dan Maespati menjadi saksi, siapa di antara keduanya yang terbukti paling sakti. Kedua raksasa itu saling mendekat. Langkah mereka membuat bumi bengkah. Bukit-bukit ikut gemetar, ketika mereka berteriak melampiaskan kegeraman. Mereka pukul-memukul, dan tak ada yang bisa memastikan, siapakah yang akan unggul. Prabu Arjunasasrabahu sempat membanting Rahwana hingga ia jatuh ke tanah sekeras-kerasnya. Tapi begitu mencium bumi, Rahwana segera bangkit kembali. Raja Maespati marah, ternyata ia dengan mudah dapat mengangkat tubuh Rahwana, raksasa yang besar luar biasa itu. Ia melemparkan Rahwana ke udara setinggi-tingginya, dan kemudian tubuh itu jatuh menukik ke bumi. Semua mengira, Rahwana akan binasa, tapi berkat aji Pancasona ia hidup seperti semula.
Prabu Arjunasasrabahu mencoba lagi, ia mengangkat tubuh Rahwana, lalu dihantamkannya tubuh raksasa itu ke gunung di dekatnya. Tubuh itu membentur gunung, dan kiranya akan hancur berantakan. Ternyata tubuh itu tetap utuh begitu menyentuh tanah, dan melawan musuhnya dengan ganasnya. Sekarang Prabu Arjunasasrabahu mengangkat Rahwana, dan membawanya terbang ke udara. Lalu ia menjatuhkan tubuh itu, dan begitu tubuh itu terbaring di tanah, ia menyusulnya, lalu menginjak-injaknya dengan sekuat tenaga. Rahwana mengaduh kesakitan, dan tubuhnya semburat berantakan. Tapi kembali terjadi, karena mencium tanah, tubuh itu kemudian menyatu kembali, dan Rahwana hidup seperti semula. Kedua raksasa itu terus berkelahi, seakan tanpa ada akhirnya. Sekarang mereka berperang dengan mengadu senjata. Rahwana menyemburkan belati-belati tajam dari mulutnya. Prabu Arjunasasrabahu mengeluarkan pedang-pedang tak kalah tajamnya dari telapak tangannya. Belati dan pedang itu saling beradu, dan semuanya patah tiada ada bekasnya. Demikian pula ketika mereka saling melemparkan senjata gadanya. Ribuan gada bertebaran di udara, saling berbenturan hingga timbul kilat-kilat cahaya. Kemudian gada-gada hancur berantakan pula. Jika terus demikian, kapan perang tanding dua raksasa ini akan berkesudahan?
Aku ingin melawanmu sebagai satria, bukan sebagai raksasa. Andaikan aku harus mati pun, aku harus mati sebagai satria. Aku tak ingin mati sebagai raksasa.
Prabu Arjunasasrabahu kehilangan akal, bagaimana ia bisa mengalahkan Rahwana. Tiba-tiba datang ke pikirannya, ia harus melepaskan tiwikramanya sebagai raksasa, dan menjadi manusia biasa. Maka di hadapan Rahwana yang tetap dalam tiwikramanya menjadi raksasa tinggi besar itu, ia tampak bagaikan manusia kecil, yang sekali diinjak saja sudah pasti binasa.
“Hai, Arjunasasrabahu, sedang sebagai raksasa dahsyat kau tak dapat mengalahkan aku, mengapa kau mau melawan aku dengan menjadi manusia biasa sekecil dirimu?” bentak Rahwana.
“Aku ingin melawanmu sebagai satria, bukan sebagai raksasa. Andaikan aku harus mati pun, aku harus mati sebagai satria. Aku tak ingin mati sebagai raksasa.” Kata-kata Prabu Arjunasasrabahu terasa keluar dari rasa penyesalannya. Karena menjadi raksasa, ia telah menyebabkan kematian sedemikian banyak orang, juga mereka yang dicintainya. Keraksasaannya ternyata telah menjadi malapetaka. Ia harus meninggalkannya. Siapa tahu dengan menjadi manusia, ia bisa menebus kesalahannya, juga bila itu harus berakhir dengan kematiannya?
“Kau merendahkan aku, hai Arjunasasrabahu. Rasakanlah, jika kau ingin mati sebagai satria!” Rahwana menggeram marah. Ia siap menjejakkan kakinya, dan menginjak manusia kecil di bawahnya. Sejenak Prabu Arjunasasrabahu berpikir, raksasa yang dahsyat itu kiranya hanya bisa diperdaya dengan kekuatan yang ada pada dirinya. Bagaimana membuat kekuatan itu lunglai dengan sendirinya? Maka Prabu Arjunasasrabahu pun berjaga-jaga dengan pusaka Nagarante yang dimilikinya. Pusaka itu adalah pusaka mereka yang lemah, karena itu hanya bisa digunakan justru ketika ia hanya adalah manusia biasa. Pusaka itu tak mungkin digunakan ketika ia menjadi raksasa karena tiwikramanya. Dengan pusaka itulah ia akan melemahkan Rahwana.
Maka begitu Rahwana melangkah hendak menginjaknya, ia pun melempar pusaka Nagarante. Pusaka itu melesat menjadi rantai yang hendak melilit Rahwana. Rahwana berkelit, tapi tubuhnya sempat terlilit. Ia memberontak, dan menghindar, tapi rantai itu terus mengejar. Rahwana terbang ke udara, rantai itu pun terbang bagaikan naga yang terus mengejarnya. Di udara, rantai itu melilitnya. Rahwana memberontak, dan rantai itu melepaskan lilitannya. Rahwana mengira, ia telah terlepas dari rantai gila ini. Tapi rantai itu kemudian mengejarnya dan melilitnya lagi. Rantai itu menjadikan Rahwana bulan-bulanan. Sejenak ia melepaskannya, lalu melilitnya lagi. Ke arah manapun Rahwana terbang, rantai itu selalu mengikuti. Rantai itu bagaikan naga, yang kepalanya bermata, tahu Rahwana hendak terbang ke mana.
Mengapa rantai naga itu tak mengikat Rahwana seterusnya, hingga tubuhnya tak bisa bergerak lagi? Demikian tanya mereka yang menyaksikan dari bawah, bagaimana rantai itu mengejar-ngejar Rahwana. Memang Rahwana hanya bisa dikalahkan dengan kekuatannya sendiri. Karena berulang-ulang dipermainkan oleh pusaka itu, Rahwana menjadi kelelahan. Badannya terasa lunglai, walaupun tidak terlukai sama sekali. Ia sempat mengeluh, mungkinkah ia bisa bertahan, jika kekuatan yang dimilikinya terus menanggung kelelahan? Pikirnya, bahkan hidup pun takkan berlangsung terus jika lelah. Atau apa gunanya terus hidup, jika harus dijalani dalam kelelahan? Karena mengeluh demikian, aji Pancasonanya pun melompat keluar dari dirinya. Memang aji Pancasona hanya mau melekat pada orang yang mau terus mempertahankan hidupnya. Entah sementara entah selamanya, aji Pancasona akan pergi, jika orang yang dilekatinya ragu dalam menahan hidupnya, walaupun ia telah dibuatnya bosan dan lelah. Begitu aji Pancasona itu pergi, Rahwana pun jatuh dengan sendirinya ke tanah. Ia tampak tak berdaya dan lelah. Badannya mengecil, kembali seperti semula, karena ia tidak mampu lagi bertiwikrama. Badan itu terikat oleh pusaka Nagarante. Sekarang rantai itu malah mengikatnya erat-erat, sampai ia tidak lagi bisa bergerak.