Budaya Mudik di Sejumlah Negara di Dunia
Mudik menjadi budaya di Indonesia, tetapi juga ditemukan di negara lain di dunia.
Mudik telah menjadi budaya melekat di kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, budaya ini ternyata tidak hanya ditemukan di Indonesia. Dengan nama dan latar belakang yang beragam, tradisi ini juga ditemukan di sejumlah negara di dunia.
Menjelang hari raya Idul Fitri, sebagian besar masyarakat di Indonesia sudah bersiap untuk melakukan perjalanan mudik ke kampung halaman.
Selaras dengan tren mudik dua tahun ke belakang, jumlah warga yang mudik pada masa Lebaran kali ini diperkirakan meningkat.
Hasil survei Kementerian Perhubungan menunjukkan, lebih dari 190 juta warga di Indonesia akan melakukan perjalanan mudik selama masa hari raya Idul Fitri 2024.
Angka ini jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan jumlah pemudik pada masa Lebaran tahun lalu. Saat itu, diperkirakan 123 juta orang melakukan perjalanan mudik.
Baca juga: Mengantisipasi Puncak Arus Mudik Lebaran 2024
Tradisi mudik di dunia
Fenomena mudik ini ternyata tidak hanya ditemukan di Indonesia. Di negara-negara Asia Tenggara, momen hari raya keagamaan ternyata juga dimanfaatkan oleh warganya untuk ”pulang kampung” dan menghabiskan momen bersama keluarga.
Di Malaysia, misalnya, ada tradisi balik kampung yang mirip dengan mudik di Indonesia. Saat hari raya Idul Fitri, masyarakat di negara ini melakukan perjalanan ke kampung asalnya dan menghabiskan waktu untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar.
Tak hanya itu, saat balik kampung, masyarakat di Malaysia juga memiliki kebiasaan untuk melakukan ziarah ke makam anggota keluarga yang sudah mendahului.
Tradisi pulang kampung ini juga dilakukan oleh masyarakat Muslim di Thailand dan Filipina. Warga minoritas Muslim yang merantau di Bangkok berbondong-bondong melakukan perjalanan mudik ke Pattani, daerah mayoritas Muslim di Thailand.
Selaras, warga Muslim di Filipina yang merantau ke Manila juga pulang kampung ke Mindanao, di mana populasi Muslim cukup banyak berasal dari daerah tersebut.
Tradisi mudik di Asia Tenggara ini tidak hanya dilakukan oleh komunitas Muslim. Di Thailand, misalnya, ada tradisi mudik yang dilakukan warganya di hari Songkran atau tahun baru kalender negara tersebut. Di hari tersebut, masyarakat Thailand melakukan perjalanan ke kampung halaman untuk berkumpul dengan sanak saudara.
Selaras, fenomena pulang kampung ini juga ditemukan di Filipina. Pada masa libur Natal dan Tahun Baru, masyarakat Filipina melakukan perjalanan balikbayan. Secara esensi, balikbayan mirip dengan mudik di Indonesia, yaitu terjadi perjalanan masyarakat perantau di daerah urban ke daerah-daerah sub-urban dan rural dalam satu waktu.
Menariknya, tradisi balikbayan ini tidak muncul secara organik. Pasalnya, tradisi ini baru muncul tahun 1970-an. Saat itu, Presiden Ferdinand Marcos ingin memanfaatkan potensi pekerja migran Filipina yang tersebar di berbagai penjuru dunia. Hal ini didorong oleh keadaan diaspora Filipina yang telah tersebar sejak tahun 1960-an sudah mulai mapan di daerah-daerah perantauan mereka.
Sebagai cara untuk menarik sebagian potensi ekonomi dari kelompok diaspora ini, Presiden Marcos memperkenalkan tradisi pulang kampung kepada warganya. Karena mayoritas warga Filipina pemeluk agama Katolik, momen yang dipilih oleh Marcos adalah momen Natal dan Tahun Baru.
Harapannya, selagi mudik, warga diaspora yang sudah cukup mapan secara ekonomi ini akan mengalirkan sebagian pendapatannya untuk memantik roda ekonomi di dalam negeri. Bahkan, Presiden Marcos juga mengenalkan budaya balikbayan box atau paket parsel yang dikirim ke kampung halaman apabila para diaspora berhalangan untuk mudik.
Dilihat secara lebih luas, fenomena mudik ini ternyata juga tidak hanya muncul di Asia Tenggara. Di China, misalnya, ada tradisi pulang kampung yang biasa disebut dengan chunyun. Fenomena ini ditengarai menjadi momen perpindahan manusia terbesar di dunia.
Pada perayaan Imlek 2020, misalnya, diperkirakan setidaknya 3 miliar orang ikut meramaikan gelombang chunyun. Angka ini sedikit meningkat jika dibandingkan dengan arus mudik Imlek tahun 2019 yang berada pada angka 2,9 miliar orang.
Secara emosi, momen Tahun Baru Imlek di China mirip dengan momen Lebaran bagi warga Indonesia. Layaknya masa Lebaran di Indonesia, seluruh keluarga berkumpul saat Imlek, terlepas jauhnya jarak yang harus ditempuh agar dapat terlaksana. Bagi banyak orang di China, ini momentum istimewa dalam setahun untuk dapat bertemu dengan orangtua dan keluarga.
Di Amerika Serikat, tradisi mudik ini juga dilakukan oleh warganya. Momen mudik, atau biasa disebut dengan homecoming, ini dilakukan pada hari libur Thanksgiving yang jatuh pada minggu terakhir November tiap tahun.
Biasanya, warga AS akan pulang ke kampung halamannya dan bersantap malam dengan sanak saudara. Mirip dengan momen Lebaran di Indonesia, tiap tahun Gedung Putih pun menyelenggarakan open house dan mengundang beberapa tokoh untuk ikut makan malam bersama Presiden AS di momen tersebut.
Baca juga: Amankan Rumah Sebelum Ditinggal Mudik
Faktor pendorong mudik
Tradisi mudik tidak dapat dilepaskan dari fenomena urbanisasi yang menguat selama beberapa dekade terakhir. Dengan pertumbuhan ekonomi yang terpusat di kota-kota besar, mau tak mau masyarakat harus melakukan migrasi untuk mencari kesempatan bekerja yang lebih luas.
Hal ini sangat tampak di China. Selama tiga dekade terakhir, tingkat urbanisasi di China terbilang sangat tinggi. Perekonomian di wilayah kota yang tumbuh lebih tinggi daripada kawasan perdesaan menimbulkan ketimpangan yang luar biasa.
Warga yang berasal dari bagian tengah, daerah rural, China berbondong-bondong merantau ke wilayah-wilayah pesisir, seperti Beijing dan Guangzhou, yang secara ekonomi jauh lebih terbangun.
Dari tahun 1990 hingga 2015, proporsi populasi China yang tinggal di daerah perkotaan meningkat dari 26 persen menjadi 56 persen. Pada 2016, diperkirakan lebih dari 200 juta orang menjadi migran dan bekerja di luar kota kelahirannya akibat keterbatasan lapangan pekerjaan di kawasan rural.
Apabila pemerataan pembangunan tidak dapat segera terwujud, hal serupa kemungkinan besar juga akan terjadi di Indonesia. Data dari BPS menunjukkan bahwa hampir 57 persen warga Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat hingga ke level 66 persen pada 2035 apabila tidak ada intervensi dari pemerintah.
Tak ayal, fenomena mudik menjadi menarik untuk diperhatikan tiap tahun. Selain sebagai fenomena sosial, tradisi ini juga bisa menjadi barometer ketimpangan pembangunan. Jumlah pemudik yang terus bertambah tiap tahun bisa menjadi alarm bahwa pemerataan pembangunan belum terwujud secara maksimal. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Fenomenologi Mudik