Fenomenologi Mudik
Makna kekuasaan akan lebih jernih diteropong bukan saat ketika kita sedang berkuasa, melainkan setelah meninggalkan-nya.
Fenomenologi adalah studi untuk menguraikan hakikat pengalaman manusia yang intinya adalah kesadaran. Mudik Lebaran, dan secara implisit identitas yang dibawa pemudik, dapat ditelaah memakai pendekatan ini.
Sebagian pakar, seperti Gordon Mathews, berpendapat bahwa manusia bisa memilih identitas kontemporer di supermarket budaya global di era digital ini. Identitas demikian mungkin cocok dalam kehidupan keseharian sebagian orang modern di perkotaan semata demi pengelolaan kesan di mata orang lain.
Namun, saat mudik, pandangan Howard Stein dan Robert Hill agaknya lebih relevan. Menurut mereka, unsur terpenting identitas manusia adalah identitas etnis, yang mereka sebut inti diri (the core of one’s self). George DeVos melukiskannya sebagai perasaan sinambung dengan masa lalu yang dirawat sebagai bagian penting definisi diri.
Manusia memang selalu terobsesi dengan asal-usulnya dan ingin memastikannya. Itu sebabnya mereka lazim menziarahi makam orangtua dan leluhur saat mudik.
Baca juga : Mudik yang Dirindukan Gen Z
Naluri primordial ini banyak tersua di Youtube. Sejumlah orang asal Indonesia yang ketika kecil diadopsi suami-istri atau keluarga Belanda berupaya mencari orangtua biologis mereka di Indonesia setelah dewasa. Ada yang berhasil, ada yang gagal.
Di antara yang berhasil adalah Andre Kuik yang diadopsi saat berusia lima bulan. Ia datang ke Indonesia dan melakukan pencarian pertama pada 2013. Akhirnya, pada 2018, lewat bantuan berbagai pihak, terutama Yayasan Mijn Roots, dan melalui tes DNA, saat usianya 40 tahun, ia menemukan ibu kandungnya, Kartini, di Pringsewu, Lampung.
Hakikat mudik
Untuk memahami hakikat mudik, meminjam perspektif Edmund Husserl, Bapak Fenomenologi, kita harus menunda sikap alamiah kita. Caranya, kita mesti menjaga jarak dengan gagasan-gagasan umum tentang mudik lewat metode epoche yang menuntut kita untuk ”meletakkan dunia dalam kurung” sehingga kita leluasa menelaah arus kesadaran, arus pengalaman silam, kini dan yang diantisipasi, yang merupakan eksistensi manusia dan pengetahuannya.
Falsafah Jawa sangkan paraning dumadi (dari mana kita berasal dan akan ke mana kita) dapat kita letakkan dalam konteks ini, bahwa kita sebenarnya berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Sebagian orang menyadari makna mudik sejati ini. Nyatanya, dalam proses mudik, banyak orang yang akhirnya melakukan mudik sejati.
Tahun ini diperkirakan 193 juta orang Indonesia melakukan mudik. Berapakah jumlah total orang yang nanti meninggal karena kelelahan, sakit, kecelakaan dalam mudik kali ini? Pada mudik 2023, selama periode 18-23 April, tercatat 189 orang meninggal karena kecelakaan.
Jumlahnya lebih besar jika termasuk jumlah yang tewas karena kecelakaan di luar periode itu, yang tidak tercatat, dan yang meninggal di tempat tujuan karena sakit atau sebab lain dan tidak pernah kembali ke perantauan.
Lantas, identitas seperti apa yang akan kita bawa saat mudik sejati? Kebaikan, itulah jawabannya. Alfred Schutz menekankan pentingnya temporalitas dalam konstruksi sosial realitas: orang mamaknai sesuatu setelah sesuatu itu berlalu. Orang baru menyadari nilai sehat ketika ia sakit dan menyadari nilai kebebasan ketika ia dipenjara. Orang baru menyadari nilai keteladanan setelah ia tidak lagi berkuasa.
Andai kita jadi pemimpin negeri ini, dengan kekuasaan yang waktunya terbatas, ke mana kita pergi setelah kekuasaan kita usai?
Retrospeksi serupa kelak akan dilakukan oleh orang-orang yang kini terlibat dalam sengketa hasil pemilihan presiden dan wakil presiden 2024 di Mahkamah Konstitusi. Mereka boleh jadi memenangi perebutan kekuasaan itu meski dengan cara culas.
Mereka disebut orang sukses oleh sebagian orang. Hanya saja, sukses demikian dalam pandangan Paul Pearshall adalah sukses toksik yang ditandai antara lain oleh sifat ambisius dan rusaknya hubungan dengan orang lain. Menurut Pearshall, sukses beracun ini bisa jadi sumber stres dan segala jenis penyakit berat, seperti darah tinggi, diabetes, serangan jantung, stroke, dan kanker, yang bisa membawa kematian, terkadang dengan bunuh diri karena depresi.
Makna kekuasaan akan lebih jernih diteropong bukan saat sekarang ketika kita sedang berkuasa, melainkan setelah meninggalkan kekuasaan itu, apalagi kekuasaan yang mencelakakan kita. Perhatikanlah para mantan pejabat politik yang kini menghuni penjara karena terbukti melakukan korupsi.
Momen terperih dalam hidup para koruptor itu adalah saat mereka digiring ke sel tahanan dengan rompi oranye di tubuh mereka, setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Meminjam pandangan Harold Garfinkel, peristiwa itu merupakan upacara degradasi status (status degradation ceremony). Jika mereka manusia normal, dampak yang mereka alami adalah perasaan malu, perasaan bersalah tak terperikan, dan perasaan: ”Saya ingin tenggelam di bawah lantai; saya ingin lari dan bersembunyi; saya ingin bumi terkuak dan menelan saya.”
Seorang sastrawan besar dunia asal India, Rabindranath Tagore, pernah merenungkan pengalaman hidupnya ketika ia berusia di atas 80 tahun. Bagi pemenang Nobel Sastra ini, ternyata perjuangan untuk meraih kesuksesan, bahkan kesuksesan intelektual sekalipun, tidak dengan sendirinya memadai; dan bahwa orang-orang yang mengisi hidupnya dengan ambisi tak berkesudahan, baik ambisi material maupun ambisi lainnya, adalah orang-orang yang kehilangan banyak dalam hidup.
Fatamorgana kosong
Apa yang disampaikan Tagore penting direnungkan para penguasa saat ini: presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, bupati, wali kota, ketua DPR, anggota legislatif di DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota, ketua partai, ketua MK, ketua KPU, dan pimpinan lembaga kekuasaan lain. Juga orang-orang yang kelak menduduki jabatan-jabatan itu.
Simaklah salah satu bait lagu lawas Bimbo berjudul ”Salju” yang seluruh syairnya berasal dari puisi Wing Karjo:
ke mana akan pergi
mencari matahari
ketika salju turun
pohon kehilangan daun.
Suasana yang diisyaratkan Wing Karjo dan dilantunkan Bimbo lewat kata salju dan frasa kehilangan daun ini adalah suasana muram musim dingin.
Menurut Shifa Mustapha, musim dingin merupakan metafora untuk usia renta ketika fisik seseorang sudah ringkih, dengan gigi dan rambut yang telah rontok. Fase ”musim dingin” kehidupan itu boleh jadi ditandai dengan penyesalan mendalam akibat kesalahan masa lalu, termasuk kesalahan berpolitik.
Lewat retrospeksi atas masa lalunya, ia akan memandang diri dan pencapaian politiknya dengan cara tertentu, apakah membanggakan, menyenangkan, atau malah menyedihkan?
Andai kita jadi pemimpin negeri ini, dengan kekuasaan yang waktunya terbatas, ke mana kita pergi setelah kekuasaan kita usai? Adakah warisan yang kita tinggalkan untuk generasi mendatang yang akan menjadi pelajaran, inspirasi, dan keteladanan bagi mereka?
Sekali lagi, makna hakiki jabatan seseorang akan ia lihat saat ia pensiun nanti, setidaknya menjelang ajalnya. Lewat retrospeksi atas masa lalunya, ia akan memandang diri dan pencapaian politiknya dengan cara tertentu, apakah membanggakan, menyenangkan, atau malah menyedihkan?
Pada akhir hidupnya, penguasa zalim boleh jadi harus mendefinisikan ulang pengalaman hidupnya. Ia mungkin memandang masa lalunya sebagai labirin yang ruwet, fatamorgana kosong, atau lorong yang menipu.
Dalam usia senjanya, ia mungkin menyadari, ia tidak memiliki kebanggaan apa pun; ia malah sangat menyesal; ia merasa bahwa kejayaan politik dan finansialnya hanyalah kedunguan dan sumber bencana; bahwa orang-orang yang ia anggap setia kepadanya hanyalah pengkhianat, egois, dan busuk.
Bahwa tindakannya meloloskan anaknya, kerabatnya, atau sejawatnya untuk meneruskan kekuasaannya, dengan melanggar prinsip meritokrasi dan keadilan, menjerumuskannya ke lubang paling dalam dan paling kelam.
Deddy MulyanaGuru Besar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran