Awal Musim Kemarau 2024 Diprediksi Mundur
Musim kemarau tahun 2024 di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi mundur.
Musim kemarau tahun 2024 di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi mundur. Puncak musim kering akan terjadi antara bulan Juli dan Agustus 2024.
Saat ini sebagian besar wilayah Indonesia tengah dilanda cuaca ekstrem yang menyebabkan banjir dan tanah longsor. Bahkan, selama sepekan terakhir, terjadi sejumlah kejadian bencana yang menyebabkan banyak kerusakan dan kerugian ekonomi di puluhan kabupaten dan kota di seluruh Indonesia.
Bencana tersebut berdampak memilukan karena menelan korban jiwa. Sebanyak lima warga tenggelam karena banjir yang melanda Kota Palangkaraya sejak akhir Februari 2024. Hal serupa terjadi di Sumatera Barat, dengan sedikitnya 27 orang dinyatakan meninggal karena banjir dan tanah longsor. Sebanyak lima orang lainnya dinyatakan hilang dan masih dalam tahap pencarian.
Beberapa kejadian cuaca ekstrem itu berisiko besar terhadap keselamatan masyarakat di sejumlah wilayah Indonesia. Menurut analisis BMKG pada 14 Maret 2024, cuaca ekstrem diperkirakan akan berlanjut hingga seminggu ke depan.
Sebanyak 18 provinsi berstatus siaga hujan ekstrem disertai kilat dan angin kencang. Wilayah Sumatera meliputi Bengkulu dan Lampung, kemudian Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur. Kepulauan Bali dan Nusa Tenggara juga masuk kawasan berisiko tinggi, khususnya gelombang besar.
Wilayah Kalimantan meliputi Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara. Selanjutnya, kawasan timur meliputi Sulawesi Selatan, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Sisi selatan Indonesia akan menjadi kawasan berisiko tinggi mengingat posisi siklon tropis berada di Samudra Hindia.
Setelah kondisi cuaca ekstrem berlalu, musim di Indonesia akan bergeser ke kondisi lebih kering dan masuk ke musim kemarau. Analisis BMKG berdasarkan dinamika atmosfer di kawasan Indonesia dan secara global menunjukkan, awal musim kemarau tahun ini diperkirakan akan mundur dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Fenomena ini terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia.
Baca juga: Musim Kemarau 2024 Diprediksi Mundur
Analisis sepanjang tahun 1991-2020 menunjukkan bahwa awal musim kemarau di 40 persen wilayah Indonesia akan mundur. Wilayah tersebut meliputi sebagian Sumatera Utara, sebagian Riau, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Timur, sebagian besar Kalimantan, sebagian Bali, NTB, sebagian NTT, sebagian Sulawesi Tenggara-Sulawesi Barat-Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Maluku.
Dilihat dari periodisasinya, BMKG membagi tiga satuan waktu kapan wilayah Indonesia masuk musim kemarau. Sebanyak 13 persen akan mulai kering pada April 2024, 19 persen pada Mei 2024, dan paling banyak 24 persen pada Juni 2024. Wilayah tengah Indonesia, yakni Kalimantan dan Sulawesi, cenderung akan mulai kemarau pada Juli dan Agustus. Artinya, kawasan tengah ini fase basahnya akan lebih panjang dibandingkan dengan wilayah lain.
Kondisi musim
BMKG membandingkan sifat musim kemarau tahun 2024 terhadap rerata klimatologisnya sepanjang tahun 1991-2020. Hasilnya adalah 51,36 persen kawasan mengalami kemarau normal, sedangkan 39,91 persen mengalami kemarau di atas normal atau lebih basah. Kewaspadaan perlu ditingkatkan di 8,73 persen kawasan Indonesia yang mengalami kemarau di bawah normal atau jauh lebih kering.
Sifat kemarau di bawah normal menunjukkan kadar air di atmosfer dan badan air, termasuk simpanan air tanah, akan jauh berkurang. Implikasinya adalah kekeringan, kebakaran hutan dan lahan, serta akses air bersih yang sulit. Kondisi tersebut juga mengancam ketahanan pangan di daerah bersangkutan karena ancaman gagal panen sehingga risiko kelaparan perlu menjadi perhatian pemerintah.
Wilayah dengan kondisi sangat kering meliputi sebagian kecil Aceh-Sumatera Utara-Riau-Kepulauan Bangka Belitung, sebagian Jawa Timur, sebagian Kalimantan Barat, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Tenggara dan Tengah, serta sebagian NTT, Maluku Utara, Papua Barat, Papua Tengah, dan Papua Selatan.
Puncak musim kemarau akan terjadi pada Agustus 2024 meskipun beberapa daerah akan lebih cepat mencapai puncak musim kering pada Juli 2024. Terkait El Nino, pengaruh kekeringan di Indonesia akan terus berlanjut di level moderat dengan nilai indeks 1,59. BMKG memprediksi El Nino akan menuju netral pada periode Mei hingga Juli 2024. Setelah itu akan bergeser ke La Nina lemah pada triwulan ketiga 2024.
Baca juga: Kemarau Mulai April, Jateng Siapkan Antisipasi Kekeringan
Kondisi kering di Indonesia dapat menyebabkan banyak bencana alam yang merugikan masyarakat. Dua bencana paling berdampak adalah kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan.
Berdasarkan data BNPB sepanjang tahun 2023 hingga Januari 2024, bencana yang paling sering terjadi adalah kebakaran hutan dan lahan hingga sebanyak 2.051 kejadian. Dampak dari bencana tersebut adalah infeksi saluran pernapasan, kerusakan hutan dan lahan, emisi karbon meningkat, dan terganggunya aktivitas masyarakat karena kabut asap.
Selain kebakaran hutan dan lahan, bencana terbanyak yang melanda tahun 2023 adalah kekeringan yang mencapai 174 kali kejadian. Bencana kekeringan memiliki dampak yang jauh lebih fundamental bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Kekeringan mampu menyebabkan kelaparan dan kemiskinan karena kegagalan panen yang memicu kenaikan harga komoditas yang menyulitkan sebagian masyarakat.
Risiko bencana
Dua bencana yang mengintai saat musim kemarau adalah kebakaran hutan dan lahan serta kekeringan. Kebakaran hutan dan lahan terjadi setiap tahun di Indonesia. Berdasarkan data KLHK, luas hutan dan lahan yang terbakar dalam lima tahun terakhir mencapai 3,67 juta hektar. Tiga wilayah dengan kasus kebakaran terluas adalah NTT, Kalimantan Tengah, dan Sumatera Selatan.
Setidaknya ada tiga faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Pertama, anomali iklim yang menyebabkan suhu Bumi makin panas. Perubahan iklim global menyebabkan kekeringan berkepanjangan di Indonesia.
Kedua, karakteristik biofisik lahan yang mudah terbakar, seperti lahan gambut. Jenis lahan gambut sangat mudah terbakar, apalagi dalam kondisi kering.
Ketiga, ulah manusia yang dengan sengaja membakar hutan untuk pembersihan atau kelalaian dalam mengelola kawasan hutan. Dampak dari kebakaran hutan dan lahan sangat besar, mulai dari penyakit hingga konflik sosial dan antarnegara karena kabut asap.
Analisis risiko bencana oleh BNPB tahun 2023 menyebutkan, bencana kebakaran hutan dan lahan mampu menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp 515 triliun setiap tahun. Kerusakan lingkungan yang diakibatkan kebakaran juga sangat besar, yaitu 7,68 juta hektar lahan akan hangus dan daya dukungnya akan kolaps. Implikasinya, lahan menjadi kering dan tidak produktif lagi.
Baca juga: Kemarau dan Praktik Bakar Lahan Picu Kebakaran Hutan di Sulsel
Selanjutnya, bencana kekeringan timbul karena penurunan kadar air di permukaan Bumi karena kondisi panas. Setidaknya ada empat jenis kekeringan di Indonesia, yaitu kekeringan meteorologis, pertanian, hidrologi, dan sosial-ekonomi. Keempatnya memiliki benang merah yang sama, yaitu sulitnya akses terhadap air sehingga berpengaruh terhadap produktivitas lahan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan terhadap air.
Kajian risiko bencana oleh BNPB tahun 2023 menyebutkan bahwa 272 juta jiwa berisiko tinggi terpapar bencana kekeringan di Indonesia. Jumlah kerugian ekonomi yang diakibatkan kekeringan mencapai Rp 967 triliun serta menyebabkan kerusakan lahan hingga seluas 35 juta hektar. Dampak yang ditimbulkan kekeringan sangat masif karena berisiko membahayakan keselamatan manusia.
Oleh sebab itu, untuk mengantisipasi musim kemarau yang segera datang, sejumlah langkah mitigasi perlu dilakukan. Pemerintah perlu memetakan wilayah mana saja yang berisiko besar mengalami kekeringan, kebakaran hutan, dan kekurangan sumber air untuk memenuhi kebutuhan domestik.
Optimalisasi penyimpanan air melalui danau, waduk, kolam retensi, dan lainnya perlu dilakukan. Dengan demikian, risiko bencana yang berbahaya bagi manusia dapat diminimalkan. (LITBANG KOMPAS)