Musim kemarau tahun 2024 di sebagian besar wilayah Indonesia diprediksi mundur ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memprediksi musim kemarau tahun 2024 di sebagian besar wilayah Indonesia mundur dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dari intensitas curah hujan, sekalipun sebagian besar diprediksi dalam kondisi normal, ada beberapa daerah yang bakal lebih kering dari rata-rata klimatologinya.
”Jika dibandingkan terhadap rerata klimatologinya (periode 1991-2020), maka awal musim kemarau 2024 di 282 ZOM (zona musim) Indonesia atau sekitar 40 persen mengalami kemunduran. Sebanyak 175 ZOM (25 persen) sama dan 105 ZOM (15 persen) maju,” kata Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati, dalam pertemuan pers di Jakarta, Jumat (15/3/2024).
Menurut analisis BMKG, sejumlah wilayah yang awal kemaraunya diprediksi mundur yaitu sebagian Sumatera Utara, sebagian Riau, Lampung, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, sebagian besar Kalimantan, dan sebagian Bali. Daerah lain meliputi Nusa Tenggara Barat, sebagian Nusa Tenggara Timur, sebagian Sulawesi Tenggara, sebagian Sulawesi Barat, sebagian besar Sulawesi Tengah, Gorontalo, sebagian Sulawesi Tengah, dan sebagian Maluku.
Untuk intensitas kemarau 2024 jika dibandingkan terhadap rerata klimatologinya (periode 1991-2020), sebagian besar diprediksi bersifat normal, yaitu terjadi di 359 ZOM atau 51,36 persen. Sebanyak 279 ZOM (39,91 persen) di atas normal dan 61 ZOM (8,73 persen) yang diprediksikan akan bersifat di bawah normal.
Daerah yang berada di bawah normal artinya curah hujan lebih rendah dari rata-rata alias lebih kering. Wilayah yang diprediksi mengalami sifat musim kemarau di bawah normal, yaitu di sebagian kecil Aceh, sebagian kecil Sumatera Utara, sebagian kecil Riau, sebagian Kepulauan Bangka Belitung, sebagian Jawa Timur, sebagian Kalimantan Barat, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Tenggara, sebagian Sulawesi Tengah, sebagian NTT, Maluku Utara, sebagian Papua Barat, sebagian Papua Tengah, dan sebagian Papua Selatan.
Sedangkan wilayah yang diprediksi mengalami sifat musim kemarau di atas normal atau lebih basah yaitu sebagian kecil pesisir selatan Sumatera Barat, Bengkulu, Sumatera Selatan, Lampung, sebagian besar Pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian Kalimantan Barat, sebagian Kalimantan Tengah, sebagian Kalimantan Selatan, sebagian Kalimantan Timur, sebagian kecil Kalimantan Utara, bagian selatan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, bagian utara dari Gorontalo dan Sulawesi Utara, sebagian Maluku, sebagian Papua Barat, dan sebagian besar Papua Selatan.
”Sebagian besar wilayah Indonesia sebanyak 317 ZOM (45,61 persen) akan mengalami puncak musim kemarau pada Agustus 2024,” kata Dwikorita.
Derah yang mengalami puncak kemarau pada Agustus itu meliputi sebagian Sumatera Selatan, Jawa Timur, sebagian besar Pulau Kalimantan, Bali, NTB, NTT, sebagian besar Pulau Sulawesi, Maluku, dan sebagian besar Pulau Papua. ”Terdapat beberapa wilayah yang mengalami puncak musim kemarau pada bulan Juli 2024 sebanyak 217 ZOM (31,22 persen) dan September 2024 sebanyak 68 ZOM (9,78 persen),” kata Dwikorita.
Kemungkinan La Nina akan terjadi pada akhir tahun ini.
Ia juga menyampaikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah dan masyarakat untuk menghadapi musim kemarau 2024. BMKG mengimbau kementerian/lembaga, pemerintah daerah, institusi terkait, dan seluruh masyarakat untuk lebih siap dan antisipatif terhadap kemungkinan dampak musim kemarau.
Perhatian itu terutama di wilayah yang mengalami sifat musim kemarau bawah normal (lebih kering dibandingkan dengan biasanya). Wilayah tersebut diprediksi dapat mengalami peningkatan risiko bencana kekeringan meteorologis, kebakaran hutan dan lahan, serta kekurangan sumber air.
Kondisi El Nino
Menurut Dwikorita, hingga awal Maret 2024, pemantauan terhadap anomali iklim global di Samudra Pasifik menunjukkan El Nino moderat masih berlangsung dengan nilai indeks 1,59. Sedangkan di Samudra Hindia, pemantauan suhu muka laut menunjukkan kondisi Indian Ocean Dipole (IOD) netral.
Fenomena El Nino tersebut, kata dia, diprediksi akan segera menuju netral pada periode Mei-Juni-Juli 2024 dan setelah triwulan ketiga (Juli-Agustus-September) 2024 berpotensi beralih menjadi La Nina dalam kategori lemah. Sementara itu, kondisi IOD diprediksi akan tetap netral setidaknya hingga September 2024. Sedangkan kondisi suhu muka laut di Indonesia diprediksikan berada dalam kondisi yang lebih hangat, dengan kisaran +0,5 - +2,0 derajat celsius lebih hangat dari kondisi normalnya.
Laporan pembaruan Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) untuk Maret 2024 menyebutkan, terdapat sekitar 60 persen kemungkinan El Nino akan bertahan selama Maret-Mei dan 80 persen kemungkinan kondisi netral, pada April-Juni. Sedangkan kemungkinan La Nina akan terjadi pada akhir tahun ini.
El Nino terjadi rata-rata setiap dua hingga tujuh tahun dan biasanya berlangsung selama sembilan hingga 12 bulan. Ini adalah pola iklim alami yang terkait dengan pemanasan permukaan laut di Samudra Pasifik tropis bagian tengah dan timur. Hal ini umumnya memengaruhi pola cuaca yang lebih kering untuk wilayah Indonesia.
Menurut analisis WMO, El Nino yang terus berlanjut (meskipun lebih lemah) dan perkiraan suhu permukaan laut di atas normal di sebagian besar lautan global diperkirakan akan menyebabkan suhu di atas normal di hampir seluruh wilayah daratan dalam tiga bulan ke depan. Hal ini akan memengaruhi pola curah hujan regional.
Menurut WMO, dampak terbesar El Nino terhadap iklim global biasanya terjadi pada tahun kedua perkembangannya, dalam hal ini 2024. Hal ini juga pernah terjadi saat El Nino kuat pada 2015, yang memicu rekor suhu global pada 2016.
”Setiap bulan sejak Juni 2023 telah mencatat rekor suhu bulanan baru dan tahun 2023 sejauh ini merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat. El Nino berkontribusi terhadap rekor suhu ini, tetapi gas rumah kaca yang memerangkap panas jelas merupakan penyebab utamanya,” kata Sekretaris Jenderal WMO Celeste Saulo.
Menurut Saulo, suhu permukaan laut di Pasifik khatulistiwa saat ini masih mencerminkan El Nino. Namun, suhu permukaan laut di belahan dunia lain terus-menerus dan luar biasa tinggi selama 10 bulan terakhir. Suhu permukaan laut pada Januari 2024 sejauh ini merupakan rekor tertinggi pada Januari. Hal ini mengkhawatirkan dan tidak dapat dijelaskan hanya oleh El Nino saja.