Kemarau dan Praktik Bakar Lahan Picu Kebakaran Hutan di Sulsel
Praktik membakar lahan bekas sawah atau kebun memicu kebakaran hutan di Sulsel.
Oleh
RENY SRI AYU ARMAN
·3 menit baca
MAKASSAR, KOMPAS — Kebakaran hutan terus terjadi di sejumlah kabupaten di Sulawesi Selatan. Praktik pembersihan lahan dengan cara membakar menjadi salah satu penyebabnya. Hal ini diperparah dengan kondisi kemarau dan terbatasnya air untuk pemadaman.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sulsel, hingga September 2023, luas hutan yang terbakar sekitar 829,27 hektar. Dari jumlah ini, terbanyak terjadi pada September dengan luas yang terbakar 659,1 hektar. Jumlah ini belum termasuk yang terjadi sepanjang Oktober 2023.
”Di Sulsel, hampir semua kabupaten mengalami kebakaran hutan dan lahan. Sampai saat ini juga masih berlangsung, misalnya di Bantaeng, Soppeng, dan beberapa kabupaten lain,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Sulsel A Hasbi Nur, Selasa (31/10/2023).
Hasbi menyebut penyebab kebakaran berdasarkan evaluasi di lapangan kebanyakan diduga akibat kelalaian masyarakat, terutama dalam proses pembersihan lahan dengan cara dibakar.
”Hal ini makin parah karena tingkat kekeringan yang tinggi sehingga api mudah menjalar dan tidak dapat dikendalikan oleh masyarakat. Apalagi air untuk memadamkan susah dijangkau,” katanya.
Dalam proses pemadaman biasanya dilakukan secara bersama antara pemerintah kabupaten/kota, aparat kepolisian, TNI, dan anggota yang ada di KPH DLHK di setiap kabupaten/kota. Selain itu, dibantu oleh anggota Manggala Agni dari Balai PPI KLHK serta kerja sama dari masyarakat.
Hal ini makin parah karena tingkat kekeringan yang tinggi sehingga api mudah menjalar dan tidak dapat dikendalikan oleh masyarakat.
Pantauan di Gowa, beberapa waktu lalu, menunjukkan, banyak areal persawahan yang dibakar seusai panen. Kerap setelah dibakar ditinggalkan begitu saja. Kondisi kering dan angin yang kencang kerap membuat api cepat menyebar.
”Memang masih banyak petani yang melakukan hal seperti itu. Kalau dibakar cepat membersihkan sisa-sisa batang padi. Katanya tanah juga jadi lebih subur. Tapi, sejak kemarau panjang ini kami sudah mengurangi membakar lahan,” kata Mustafa (55), petani di Gowa.
Di kawasan hutan pinus Malino, kebakaran hutan juga sudah terjadi beberapa kali sejak September lalu. Salah satu penyebab kebakaran diduga adalah puntung rokok yang dibuang sembarangan. Pekan lalu, sejumlah komunitas pencinta alam melakukan aksi bersih Gunung Bawakaraeng. Salah satu yang juga gencar dilakukan adalah edukasi terkait kebakaran hutan.
”Edukasi terkait kebakaran hutan juga kami berikan ke pengunjung. Salah satunya menjaga puntung rokok. Kalaupun ada puntung rokok, kami minta dimasukkan ke dalam botol berisi air dan tidak dibuang sembarangan. Tentu dalam kondisi seperti ini semua harus menjaga tidak hanya sampah, tapi juga mencegah kebakaran,” kata Muhammad Fihria Lessi dari Komunitas Pendaki Napas Tua Celebes.
Kawasan hutan di Gowa, terutama hutan pinus dan daerah lereng Gunung Bawakaraeng, memang sering terbakar saat kemarau. Selain disebabkan pembakaran lahan, kebakaran juga kerap disebabkan kelalaian pengunjung, terutama akibat puntung rokok. Kawasan Malino, terutama Gunung Bawakaraeng, menjadi salah satu atau destinasi wisata warga Makassar, bahkan luar Makassar, terutama komunitas pencinta alam.