Ambang Batas Parlemen yang Tak Terbatas
Putusan MK mengubah ambang batas parlemen membuka peluang bagi partai politik baru meskipun tantangannya tidak mudah.
Ambang batas parlemen masih menjadi ”hantu” bagi partai politik, terutama mereka yang berada pada kategori partai politik nonparlemen ataupun partai politik baru. Putusan Mahkamah Konstitusi bisa membuka peluang harapan baru bagi mereka untuk berlaga di parlemen nasional.
Mahkamah Konstitusi (MK) akhir Februari lalu memerintahkan pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, mengubah ketentuan ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional melalui revisi Undang-Undang Pemilu. Perubahan ambang batas itu diminta baru berlaku untuk Pemilu 2029 dan pemilu setelahnya, sedangkan pada Pemilu 2024 tetap berlaku 4 persen.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Tetap berlakunya ambang batas parlemen 4 persen pada pemilu tahun ini sedikit banyak juga menutup peluang bagi partai-partai politik baru ataupun nonparlemen yang selama ini sudah beberapa kali mencoba peruntungan melalui pemilu. Sayangnya, jika merujuk putusan MK dan data sementara rekapitulasi suara di KPU, sepertinya hanya sembilan partai politik yang lolos ambang batas parlemen 4 persen tersebut.
Sembilan partai politik tersebut merupakan petahana yang saat ini juga memiliki kursi di DPR pusat, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Nasdem, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sementara sembilan partai politik peserta Pemilu 2024 lainnya, yang merujuk data sementara KPU, belum mencapai ambang batas parlemen 4 persen. Peluang partai-partai ini menyempit untuk mendudukkan kadernya menjadi anggota legislatif di DPR pusat. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), misalnya, yang perolehan sementara menunjukkan angka 3 persen pun berpeluang kecil masuk dalam parlemen nasional.
Artinya, sedikit banyak putusan MK untuk mengubah angka ambang batas parlemen pasca-Pemilu 2024 adalah harapan bagi mereka yang sulit tembus parlemen nasional untuk kembali mencoba peruntungan pada Pemilu 2029. Meskipun demikian, tantangannya tentu tidak mudah ketika MK hanya memerintahkan untuk mengubah, bukan menghapusnya.
Salah satunya tentu berasal dari komitmen partai-partai politik yang ada di parlemen hasil Pemilu 2024 apakah mereka juga berkeinginan yang sama untuk mengubah angka ambang batas parlemen.
Sebab, ketika perubahan angka ambang batas parlemen semakin mengecil, hal itu justru akan membuka peluang para kontestan yang akan bersaing dengan mereka pada Pemilu 2029 bisa bertambah, bahkan tidak menutup peluang jumlah partai-partai politik yang masuk parlemen nasional tersebut lebih banyak.
Otomatis, ketika angka ambang batas parlemen mengecil, hal itu akan membuka partai-partai politik baru menjadi pesaing bagi sembilan partai politik yang nanti berpeluang membahas dan melaksanakan putusan MK tersebut.
Hal ini terbukti dengan sejumlah sikap partai politik yang cenderung tidak sepakat jika angka ambang batas parlemen diturunkan. Seperti yang diberitakan di Kompas.id pada 5 Maret 2024, mayoritas fraksi partai politik yang ada di DPR memandang ambang batas parlemen semestinya dipertahankan, bahkan ditingkatkan, untuk memperkuat sistem presidensial, bukan malah diturunkan.
Sikap ini setidaknya ditunjukkan oleh lima dari sembilan fraksi partai politik yang ada di DPR saat ini dan berpeluang juga menempati kursi DPR hasil Pemilu 2024. Kelima parpol dimaksud adalah PDI-P, Golkar, PKB, Nasdem, dan PKS.
Wacana perubahan angka ambang batas parlemen itu muncul setelah MK meminta ambang batas 4 persen direvisi karena tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin konstitusi.
Sikap partai politik ini semuanya seragam, yakni lebih mempertahankan angka ambang batas parlemen sebesar 4 persen, bahkan lebih baik ditingkatkan, bukan dikurangi.
Baca juga: Ambang Batas Parlemen 4 Persen Inkonstitusional
Ambang batas parlemen menggerus kedaulatan rakyat
Di sisi lain, keberadaan angka ambang batas parlemen justru dipandang akan menggerus kedaulatan rakyat yang sudah memberikan amanahnya kepada calon anggota legislatif yang dipilih pada pemilu. Hal ini pun menjadi pertimbangan MK saat memutuskan perkara dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
Menurut MK, ketentuan ambang batas parlemen 4 persen yang tertera dalam Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu dinilai tak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.
Salah satu isu yang diangkat terkait tergerusnya kedaulatan rakyat adalah makin banyaknya suara pemilih yang terbuang atau tidak bisa terkonversi ke dalam kursi parlemen karena partai politik pilihannya tersebut gagal memenuhi ambang batas parlemen.
Jika mengacu tren pemberlakuan ambang batas parlemen, ketika angka ambang batas dinaikkan, jumlah suara terbuang juga mengalami naik turun. Aspek jumlah partai politik yang masuk dalam ambang batas juga belum secara linier menunjukkan kebijakan angka ambang batas parlemen sejalan dengan tujuan penyederhanaan partai politik.
Buktinya kita lihat saja saat angka ambang batas parlemen dinaikkan menjadi 3,5 persen pada Pemilu 2024 dari sebelumnya 2,5 persen pada Pemilu 2009, jumlah partai politik yang lolos ke DPR mencapai 10 partai politik atau bertambah satu partai politik dibandingkan hasil Pemilu 2009 yang tercatat ada sembilan partai politik.
Kemudian, pada Pemilu 2019 dengan menaikkan angka ambang batas parlemen menjadi 4 persen, jumlah partai politik kembali berkurang satu partai, menjadi sembilan partai politik di Senayan.
Kondisi ini yang kemudian membuktikan bahwa tujuan penyederhanaan partai politik tidak bisa sekadar ditumpukan pada angka ambang batas parlemen. Hal inilah yang kemudian menjadi pertimbangan Perludem mengajukan uji materi terkait ambang batas parlemen ini ke MK. Penyederhanaan partai politik yang menjadi pertimbangan menaikkan ambang batas nyatanya tak terjadi.
Pada akhirnya, ambang batas parlemen memang tidak bisa hanya dibatasi urusan penyederhanaan partai politik, yang terbukti belum secara linier bisa menyederhanakan partai politik. Angka ambang batas parlemen semestinya juga terbuka tak terbatas untuk juga menyelamatkan angka suara terbuang dari pemilih yang semestinya memiliki hak yang sama untuk dikonversikan menjadi kursi.
Menyeimbangkan antara kepentingan penyederhanaan partai politik dan tetap menghargai setiap suara pemilih menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah. Namun, setidaknya keseimbangan ini menjadi pembuka yang tidak terbatas dan membatasi angka ambang batas parlemen menjadi monopoli urusan penyederhanaan partai politik. Ambang batas parlemen semestinya tidak terbatas dengan urusan tersebut. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Rekayasa Ambang Batas Parlemen