Rekayasa Ambang Batas Parlemen
Keberanian MK memutuskan norma ambang batas parlemen diharapkan dapat memulihkan kembali marwahnya.
Ambang batas efektif antara ambang batas bawah dan atas dapat digunakan untuk membandingkan sistem pemilu yang berbeda, tetapi belum ada kesepakatan antarpeneliti mengenai cara menghitungnya.
Judah Troen, 2019: 4
Untuk yang ketujuh kalinya, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan tentang ambang batas parlemen. Di putusan terakhirnya Nomor 116/PUU-XXI/ 2023 kali ini, MK menyampaikan bahwa DPR perlu melakukan perubahan norma ambang batas parlemen dan besaran angka atau persentasenya pada Pemilihan Anggota Legislatif 2029.
Mahkamah Konstitusi juga menyarankan agar ambang batas dapat digunakan secara berkelanjutan, menjaga prinsip proporsionalitas untuk meminimalkan suara yang terbuang, dan mewujudkan penyederhanaan partai politik.
Meski demikian, putusan ini belum dapat menjawab dua pertanyaan penting: bagaimana menentukan ambang batas parlemen dan berapa angka atau persentase ambang batas parlemen yang ideal.
”Governability” versus ”representasi”
Selalu saja kita akan dihadapkan pada dilema ketika akan menentukan angka ambang batas parlemen. Inilah yang disebut sebagai politik ambang batas.
Pada satu sisi, kita membutuhkan ambang batas untuk mewujudkan pemerintahan yang efektif. Pada sisi lain, kita juga memerlukan peningkatan derajat representasi politik.
Keduanya bersifat trade off, artinya tidak dapat dipilih secara bersamaan, sehingga kita harus memilih salah satu. Hal ini yang perlu diperhatikan ketika kita melakukan rekayasa kepemiluan dan rekayasa kelembagaan politik.
Saat ini tingkat kepercayaan publik kepada MK sedang menurun.
Setiap pilihan memiliki konsekuensi. Pilihan pada penyederhanaan sistem kepartaian dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang efektif bisa berdampak pada pelembagaan sistem kepartaian yang mendorong proses demokratisasi.
Hal ini tentu saja akan menguntungkan partai-partai politik yang sudah mapan di pemilu-pemilu sebelumnya. Namun, hal ini bisa membawa konsekuensi pada berkurangnya tingkat keterwakilan publik di parlemen. Dalam konteks ini, banyaknya suara yang terbuang adalah harga yang harus dibayar.
Sementara pilihan pada peningkatan representasi politik membawa setidaknya tiga dampak positif. Pertama, kesesuaian antara kebijakan publik dan kehendak publik. Kedua, meningkatkan derajat inklusivitas yang memperdalam demokrasi (deepening democracy). Ketiga, pilihan ini akan memberikan kesempatan bagi sebanyak mungkin partai politik untuk masuk ke parlemen.
Namun, sisi negatifnya adalah tentu saja pemerintahan tidak akan dapat berjalan dengan efektif. Selain itu, pilihan ini juga berarti membuka kesempatan untuk mendirikan partai politik peserta pemilu dengan sangat mudah. Dengan demikian, semakin kompleksnya sistem kepartaian kita ke depan adalah harga yang harus dibayar.
Jadi, desain ambang batas harus didasarkan atas konsekuensi dari masing-masing pilihan. Tentu saja ada banyak agenda yang bisa dilakukan untuk menekan efek negatif dari setiap pilihan.
Sebagai contoh, kita perlu melakukan pendidikan politik (termasuk pendidikan pemilih) secara berkesinambungan agar suara yang terbuang bisa diminimalkan. Atau, kita perlu memperketat persyaratan bagi partai politik yang akan menjadi kontestan pemilu. Ambang batas hanya salah satu unsur dalam sistem pemilu. Dan, sistem pemilu bukan satu-satunya obat untuk menyembuhkan sistem politik kita yang sedang sakit.
Rentang ambang batas
Ada banyak formula untuk menentukan ambang batas parlemen. ACE Project menyatakan bahwa terdapat dua metode penentuan ambang batas, yaitu metode formal dan metode efektif.
Metode formal merujuk pada ketentuan ambang batas yang diterapkan secara tertulis. Sementara metode efektif adalah hasil yang didapat secara alamiah (mathematically de facto). Namun, ada baiknya kita juga mempertimbangkan pendekatan komparatif untuk menentukan angka ambang batas parlemen.
Menurut data International IDEA, dari 40 negara di dunia yang menggunakan sistem proporsional terbuka, 15 negara tidak memiliki ambang batas parlemen secara formal, 4 negara menggunakan ambang batas 4 persen, dan 10 negara menggunakan ambang batas 5 persen (Wall, 2021).
Di kawasan Eropa, negara-negara yang menerapkan ambang batas, angkanya berada di kisaran 3-5 persen (Del Monte, et al, 2023).
Kasus Turki yang menetapkan ambang batas parlemen sebesar 10 persen dinilai sebagai kasus menyimpang. Saat ini, Turki berencana menurunkan angka ambang batas tersebut. Dari perspektif komparasi ini, kita dapat melihat bahwa banyak negara yang tidak merumuskan ambang batas parlemen. Jika mereka menetapkan ambang batas, rentangnya adalah 4-5 persen.
Dalam putusan terakhirnya, MK memang tidak secara eksplisit menganulir persentase ambang batas parlemen sebesar 4 persen.
Dengan memperbandingkan ambang batas dengan sistem pemilu, hasilnya juga tidak berbeda (Troen, 2019). Di negara-negara dengan sistem pemilu mayoritarian, rentangnya adalah 0,67 persen (Belanda) sampai 5 persen (Serbia dan Slowakia). Untuk negara-negara dengan sistem pemilu proporsional, rentangnya adalah 3 persen (Yunani) sampai 5 persen (Polandia dan Ceko).
Sementara di negara-negara dengan sistem pemilu campuran, rentangnya adalah 2 persen (Denmark) dan 6 persen (Moldova). Dengan demikian, kita dapat melihat bahwa rentang ambang batas rata-rata 0,67-6 persen. Belanda yang menetapkan ambang batas sebesar 0,67 persen adalah bersifat kasuistik sehingga rentang ambang batas yang wajar adalah 2-6 persen pada semua sistem pemilu.
Dari data itu, kita dapat menyimpulkan bahwa sebetulnya ambang batas yang sudah berlaku di Indonesia (2,5 persen untuk Pemilu 2009, 3 persen untuk Pemilu 2014, dan 4 persen untuk Pemilu 2019) adalah sudah masuk dalam rentang ambang batas yang umum diterapkan secara global.
Menunggu keberanian
Dalam sistem pemilu kita, MK adalah salah satu pembuat aturan main kepemiluan. Namun, kewenangan MK adalah sebatas memastikan norma ambang batas parlemen tidak melanggar hak konstitusional warga negara.
Dalam putusan terakhirnya, MK memang tidak secara eksplisit menganulir persentase ambang batas parlemen sebesar 4 persen. MK kemudian menyatakan bahwa kewenangan menentukan persentase ambang batas parlemen ada di DPR (open legal policy).
Meski demikian, MK seharusnya lebih memberikan kepastian terkait dengan politik ambang batas.
MK perlu mengarahkan norma ambang batas parlemen di antara dua pilihan, yaitu pemerintahan yang efektif atau peningkatan representasi politik.
Selebihnya, DPR yang akan menindaklanjutinya. DPR dapat meningkatkan ambang batas parlemen jika MK memilih norma pertama. Atau, DPR akan menurunkan ambang batas parlemen jika MK memilih norma yang kedua. Bahkan, DPR tetap dapat menetapkan angka ambang batas parlemen di Pemilu 2029 sebesar 4 persen.
Mengapa hal itu penting? Sebab, idealnya memang MK tidak seperti partai politik. MK harus memastikan bahwa aturan main kepemiluan kita tidak mencederai hak politik warga negara.
MK berorientasi pada publik dan bukan sekadar konstituen. MK juga idealnya memiliki horizon yang lebih luas dan lebih berjangka panjang dalam proses rekayasa sistem politik kita.
Baca juga: MK Hapus Ambang Batas Parlemen 4 Persen, tapi Belum Berlaku di Pemilu 2024
Saat ini tingkat kepercayaan publik kepada MK sedang menurun. Keberanian MK memutuskan norma tentang ambang batas parlemen diharapkan akan dapat memulihkan kembali marwahnya sebagai penjaga terakhir konstitusi.
Mada Sukmajati,Dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM