MK memerintahkan perubahan ambang batas parlemen 4 persen di UU Pemilu. Perubahan mulai diberlakukan pada Pemilu 2029.
Oleh
SUSANA RITA KUMALASANTI, WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN, DIAN DEWI PURNAMASARI, NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi memerintahkan pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, mengubah ketentuan ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional melalui revisi Undang-Undang Pemilu. Perubahan ambang batas itu diminta baru berlaku untuk Pemilu 2029 dan pemilu setelahnya, sedangkan pada Pemilu 2024 tetap berlaku 4 persen.
Dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (29/2/2024), ketentuan ambang batas parlemen 4 persen yang tertera di Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu dinilai tak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
”Sebagai konsekuensi yuridisnya, norma Pasal 414 Ayat (1) UU No 7/2017 harus dinyatakan konstitusional bersyarat sepanjang masih diberlakukan untuk hasil Pemilu DPR 2024 dan tidak diberlakukan untuk hasil Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya kecuali setelah dilakukan perubahan norma ambang batas dan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen,” kata Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan putusan perkara 116/PUU-XXI/2023. Sidang tersebut dipimpin Ketua MK Suhartoyo.
Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu menyebutkan, partai politik (parpol) peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4 persen dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR atau dikenal ambang batas parlemen.
MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Perludem menilai ketentuan ambang batas tersebut telah menyebabkan hilangnya suara rakyat atau besarnya suara pemilih yang tidak terkonversi menjadi kursi di DPR.
Di Pemilu 2019 dengan ambang batas parlemen 4 persen, misalnya, jumlah suara yang terbuang atau tak dikonversi menjadi kursi DPR mencapai 13,5 juta suara. Di Pemilu 2014, dengan ambang batas parlemen 3,5 persen, jumlah suara terbuang 2,9 juta dan di Pemilu 2009, dengan ambang batas parlemen 2,5 persen, jumlah suara terbuang 19 juta.
Dalam pertimbangannya, Saldi Isra mengungkapkan, ambang batas parlemen perlu segera diubah dengan memperhatikan sejumlah hal, seperti didesain untuk digunakan secara berkelanjutan. Selain
itu, perubahan norma ambang batas parlemen, termasuk besaran angka atau persentase ambang batas, juga harus diputuskan dengan tetap menjaga proporsionalitas sistem pemilu proporsional. Hal ini penting untuk mencegah besarnya jumlah suara yang tak dapat dikonversi menjadi kursi DPR.
Perubahan ketentuan ambang batas, lanjut Saldi, juga harus ditempatkan dalam rangka mewujudkan penyederhanaan parpol. Revisi sebaiknya juga dirampungkan sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan Pemilu 2029.
”Dan, perubahan melibatkan semua kalangan yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaraan pemilu dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna, termasuk melibatkan partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki perwakilan di DPR,” tutur Saldi.
MK juga sepakat dengan dalil Perludem bahwa tata cara penentuan ambang batas parlemen dan besaran angka atau persentase ambang batas tidak berdasarkan pada metode dan argumen memadai. Namun, MK tidak dapat mengabulkan cara penghitungan ambang batas parlemen yang diajukan oleh Perludem. Sebab, MK berpandangan bahwa hal itu merupakan kebijakan dari pembentuk undang-undang.
Dalam gugatannya, Perludem meminta MK menyatakan penghitungan ambang batas dilakukan dengan cara membagi bilangan 75 persen dengan rata-rata daerah pemilihan, ditambah satu, dan dikali dengan akar jumlah daerah pemilihan. Permintaan lain adalah dalam hal hasil bagi besaran ambang batas parlemen itu menghasilkan bilangan desimal dilakukan pembulatan.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia Jeirry Sumampow menilai tepat putusan MK itu karena sudah mengembalikan kedaulatan rakyat. Selama ini, ambang batas parlemen membuat banyak suara pemilih yang tak terkonversi menjadi kursi di DPR. Akibatnya, suara mereka tak terwakili di parlemen.
Putusan MK yang tak berlaku untuk Pemilu 2024 juga dinilai tepat karena pemungutan suara sudah selesai. Dengan demikian, putusan MK tak lagi bisa digunakan untuk memasukkan parpol tertentu ke DPR.
Hanya, ia menyayangkan perintah merevisi ambang batas parlemen itu tak disertai dengan ketegasan tentang berapa angka ambang batas yang tepat. MK justru menyerahkannya ke pembentuk undang-undang. Ini dikhawatirkannya akan membuat ambang batas parlemen itu tetap ada dan besaran persentasenya diturunkan hanya sedikit, misal 3,5 persen.
”Jika begitu, tetap saja akan menghalangi kedaulatan rakyat itu. Menurut saya, sebaiknya ambang batas parlemen pusat ditiadakan saja. Dan soal penyederhanaan partai di parlemen yang sejak lama jadi agenda, cukup lewat pengetatan seleksi partai politik yang ikut pemilu,” tambahnya.
Sebaliknya, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P, Komarudin Watubun, keberatan dengan putusan MK tersebut. Pasalnya, aturan terkait ambang batas merupakan kewenangan dari pembentuk undang-undang. Apalagi gugatan soal ambang batas parlemen sebelumnya juga sudah sering ditolak MK dengan alasan hal itu merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
Sementara itu, parpol peserta Pemilu 2024, yaitu Partai Perindo, mempertanyakan putusan MK yang tak langsung berlaku untuk Pemilu 2024. Sekretaris Jenderal Partai Perindo Ahmad Rofiq membandingkan putusan MK itu dengan putusan MK soal persyaratan usia calon presiden-calon wakil presiden yang langsung berlaku di Pemilu 2024.