Menjelang Pemilu, Akankah Tiktok Dilarang di AS?
Isu keamanan data dan pelarangan Tiktok di AS masih menjadi perdebatan hingga saat ini.
Di tengah popularitasnya yang tinggi, media sosial Tiktok terancam tak bisa beroperasi di Amerika Serikat. Isu keamanan data hingga membahayakan kepentingan nasional menjadi alasan pemerintah merencanakan pelarangan ini. Meskipun begitu, kepentingannya dalam pemilu membuat Joe Biden sebagai presiden sekaligus petahana bisa jadi tak sepenuh hati meneken peraturan tersebut.
Isu pelarangan Tiktok di AS santer diperbincangkan setelah Presiden Biden menyatakan akan menandatangani RUU terkait dengan hal tersebut. Agar bisa tetap beroperasi, ByteDance selaku perusahaan utama di balik Tiktok harus mau merelakan sebagian sahamnya bisa dimiliki pengusaha dari beberapa negara selain China.
Potensi pemberlakuan RUU ini dalam waktu dekat bukan isapan jempol belaka. Menjelang minggu ketiga Maret, RUU ini telah mendapat persetujuan dari Komite Energi dan Perdagangan DPR AS. Tak hanya itu, dukungan dari Ketua DPR AS Mike Johnson juga memberi sinyal RUU ini akan segera dibahas dan diambil pemungutan suaranya di parlemen dalam waktu tak lama lagi.
Isu pelarangan Tiktok ini sebetulnya bukanlah hal baru. Pada masa kepemimpinannya, Presiden Trump sempat mengeluarkan perintah presiden (executive order) yang isinya cukup mirip dengan RUU yang kini tengah dibahas. Trump meminta ByteDance untuk menjual sahamnya apabila tetap ingin beroperasi di AS. Namun, perintah ini akhirnya dimentahkan oleh beberapa hakim federal AS.
Setahun lalu, isu ini juga mendapatkan traksi di masyarakat AS. Saat itu, dukungan publik terhadap kebijakan pelarangan ini pun cukup besar. Hasil survei oleh PEW Research menunjukkan, sebagian besar warga AS mendukung rencana tersebut. Hanya 22 persen yang menyatakan tidak sepakat.
Isu yang mengiringi sentimen Pemerintah AS terhadap Tiktok konsisten selama empat tahun terakhir. Sejak Trump hingga Biden, Pemerintah AS melihat Tiktok sebagai ancaman terhadap keamanan negara. Mereka khawatir Tiktok melalui algoritmanya dapat digunakan oleh pihak dari China untuk mengambil data pribadi sekaligus mengatur konten apa saja yang dikonsumsi oleh warga AS.
Baca juga: Biden Siap-siap Larang Tiktok di AS
Popularitas tinggi
Perhatian Pemerintah AS pada platform ini patut dipahami. Pasalnya, dalam beberapa tahun saja, Tiktok berhasil menjadi salah satu platform media sosial dengan pengguna terbesar di AS.
Pada 2023, tidak kurang dari 150 juta penduduk AS menjadi pengguna aktif platform tersebut. Jumlah ini tak jauh berselisih dengan Instagram dengan pengguna aktif di AS sebesar 153 juta pengguna. Meski demikian, jumlah pengguna aktif Facebook masih jauh lebih besar, sekitar 265 juta orang.
Selain jumlah, penggunaan Tiktok juga menjadi yang paling intens dibandingkan dengan platform lain. Data Insider Intelligence menunjukkan, jumlah menit yang dihabiskan para pengguna Tiktok sangat tinggi, yaitu 53 menit.
Angka tersebut jauh mengungguli beberapa media sosial lain, seperti Youtube (48,7 menit), Twitter/X (34,1 menit), Instagram (33,1 menit), dan Facebook (30,9 menit). Artinya, meskipun secara jumlah lebih sedikit, para pengguna Tiktok relatif lebih aktif dibandingkan dengan para pengguna media sosial lain.
Data ini pun terkonfirmasi dengan temuan Hootsuite. Menurut lembaga ini, para pengguna Tiktok menghabiskan total 4,43 miliar detik per hari di platform tersebut.
Jumlah ini merupakan peningkatan lima kali lipat dibandingkan dengan tingkat penggunaan pada 2019. Berdasarkan tren ini, Insider Intelligence pun memprediksi, Tiktok tetap akan menjadi media sosial dengan pengguna paling aktif, setidaknya hingga 2025 mendatang.
Tingkat popularitas yang tinggi ini menjadikan isu pelarangan menjadi sensitif, terutama dalam masa kampanye pemilu. Data dari PEW Research menunjukkan, dukungan terhadap pelarangan Tiktok menurun secara drastis pada pengujung tahun lalu. Dukungan lebih dari 50 persen warga pada Maret 2023 menurun menjadi 38 persen pada periode September hingga Oktober 2023.
Hal ini menandakan, kebijakan pelarangan ini bisa saja membawa dampak negatif terkait tingkat kepuasan publik terhadap kepemimpinan Biden. Padahal, kepuasan terhadap Biden(approval rating) kini tengah mengalami tren negatif dengan tingkat kepuasan di angka 38,1 persen.
Baca juga: AS Berencana Larang Tiktok Sepenuhnya
Mesin propaganda pemilu
Tak mengherankan, meskipun secara gamblang menyatakan akan meneken RUU terkait pelarangan Tiktok, sikap berbeda ditunjukkan oleh Biden setelah pernyataan tersebut diberikan. Pada hari yang sama, dalam momen pidato kenegaraan yang dilanjutkan dengan agenda makan malam, Biden turut mengundang para pemengaruh (influencer) untuk menyaksikan dan membagikan momen tersebut.
Sebagian besar dari para pemengaruh ini memiliki basis pengikut yang besar di platform Tiktok. Dikutip dari The New York Times, Biden pun tidak sungkan untuk berinteraksi dengan para pemengaruh ini selama acara berlangsung. Salah satu video dari influencer yang hadir pun tersebar di Tiktok dengan jumlah view hingga ratusan ribu dalam waktu satu hari.
Sikap yang mirip pun ditunjukkan oleh Donald Trump. Mantan presiden serta calon kuat pesaing Biden pada pemilu AS kali ini secara terbuka menyayangkan rencana DPR dan Presiden Biden yang hendak melarang penggunaan platform tersebut.
Dalam unggahannya di platform Truth Social, Trump menyampaikan, pelarangan Tiktok hanya akan memberikan kue yang lebih besar kepada Facebook dan Mark Zuckerberg. Menurut dia, hal ini akan berbahaya karena Zuckerberg dan Facebook telah melakukan ”kecurangan” pada pemilu AS 2020 dengan dalih moderasi konten.
Gamangnya sikap dua kontestan pemilu AS ini mengonfirmasi satu hal. Dalam lanskap politik AS saat ini, Tiktok bisa jadi mesin propaganda yang efektif. Pasalnya, selain digunakan sebagai sarana hiburan, platform ini juga digunakan penggunanya untuk mencari berita terbaru. Survei dari PEW Research pada 2023 menunjukkan, 14 persen pengguna mendapat berita secara reguler di lini masa (for your page/FYP) Tiktok mereka.
Konteks diseminasi informasi ini jauh lebih kental di demografi muda. Di kelompok pengguna berusia 18-29 tahun, nyaris sepertiga penggunanya menyatakan konten berita muncul di FYP mereka setiap hari. Angka yang cukup tinggi juga tertangkap di kelompok pengguna berusia 30-49 persen, dengan 15 persen dari mereka mengatakan hal serupa.
Data ini pun semakin kuat dengan perilaku konsumsi media sosial remaja di AS. Data dari PEW Research pada 2022 menunjukkan, Tiktok menjadi media sosial kedua yang paling intens digunakan, dengan nyaris separuh penggunanya mengaku mengakses Tiktok beberapa kali dalam sehari. Dari banyaknya media sosial, hanya Youtube yang bisa menyaingi TikTok dalam demografi pemilih mula ini.
Tak ayal, dinamika pelarangan Tiktok ini menjadi salah satu fenomena menarik untuk diperhatikan dalam politik AS saat ini. Akankah Presiden Biden berpihak pada kolega partainya di Capitol Hill dengan meneken RUU pelarangan Tiktok? Atau justru bersikap pragmatis dengan menunggangi Tiktok sebagai mesin propaganda di pemilu? Semua akan terjawab ketika pemungutan suara selesai dilaksanakan. (LITBANG KOMPAS)