Polemik pemblokiran Tiktok di AS. Ancaman pada keamanan siber atau sumber nafkah bagi warganet?
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·5 menit baca
(AP PHOTO/KIICHIRO SATO
Logo Tiktok.
WASHINGTON, KAMIS – Pemerintah Amerika Serikat semakin serius dengan niat melarang pemakaian media sosial Tiktok di negara tersebut dengan alasan keamanan serta peretasan data pribadi. Hal ini memperoleh penolakan dari para pemakai Tiktok. Apalagi, warganet menganggap pemerintah tidak komprehensif melakukan kajian mengenai privasi di media sosial.
DPR AS pada Kamis (23/3/2023) waktu setempat atau Jumat (24/3/2023) malam waktu Indonesia akan memanggil Direktur Utama Tiktok Shou Zi untuk memberi keterangan di hadapan Komite Energi dan Perdagangan. Hal ini adalah bagian dari rencana Pemerintah AS untuk memblokir Tiktok secara umum.
Pemerintah AS menawarkan dua pilihan kepada Tiktok. Pertama ialah agar Tiktok melepaskan diri dari perusahaan induknya, ByteDance. Adapun pilihan kedua ialah agar warga negara China pemegang saham Tiktok menjual seluruh saham mereka dan kemudian dibeli oleh pengusaha-pengusaha dari bangsa lain.
Sebelumnya, Tiktok sudah dilarang diunduh, apalagi dipakai di gawai-gawai milik pemerintah federal. Selain itu, dari 50 negara bagian, ada 23 negara bagian yang melarang pemakaian Tiktok di gawai-gawai mereka. Alasannya karena ada dugaan kuat bahwa Tiktok meretas data pribadi pemakainya dan meneruskannya ke Pemerintah China. Ini adalah ancaman keamanan yang besar.
Walaupun demikian, tidak semua anggota DPR AS menyetujui usulan dari legislatif itu. Jamaal Bowman, Mark Pocan, dan Robert Garcia dari Faksi Demokrat mengutarakan ketidaksetujuan mereka. Menurut mereka, ini adalah histeria massal yang dipengaruhi ketakutan atas persaingan geopolitik sehingga mendiskreditkan satu media sosial tertentu, yaitu Tiktok.
“Lebih baik kita lakukan kajian menyeluruh mengenai perlindungan data pribadi di semua perusahaan media sosial yang beroperasi di AS. Jika tujuannya untuk melindungi warga AS, tentu aturannya harus melibatkan semua perusahaan media sosial guna memastikan setiap pemakainya aman,” kata Bowman.
Di Washington, setidaknya 30 pembuat konten Tiktok melakukan unjuk rasa di luar Capitol Hill atau Gedung DPR AS. Mereka menolak niat pemerintah melarang Tiktok. Menurut data media sosial ini, ada 150 juta pengguna di AS dan 5 juta di antaranya merupakan pengusaha mikro, kecil, dan menengah.
“Menutup Tiktok berarti menghancurkan berbagai komunitas dan gerakan akar rumput yang lahir secara alami,” kata Jason Linton, salah seorang pembuat konten di Tiktok kepada NBC.
Linton adalah seorang ayah dengan tiga anak yang semuanya diadopsi. Melalui kanal media sosialnya, ia berbagi pengalaman mengenai lika-liku mengadopsi anak, mulai dari berbagai persyaratan hukum, membina keluarga yang sehat walaupun para anggotanya berbeda suku bangsa dan ras, serta membahas berbagai masalah yang kerap dihadapi keluarga dengan anak adopsi. Melalui Tiktok, pengikut kanal Linton tidak hanya dari AS, tetapi juga dari seluruh dunia.
AFP/LIONEL BONAVENTURE
Foto yang diambil pada 21 November 2019 di Paris ini memperihatkan logo Tiktok pada layar tablet.
Demikian pula dengan Naomi Hearts, seorang transpuan. Awalnya, ia membuat video Tiktok hanya untuk bersenang-senang. Akan tetapi, banyak warganet menanyakan statusnya sebagai seorang transpuan sehingga Hearts kerap mengunggah konten mengenai pengalaman pribadinya. Ini membuka berbagai diskusi mengenai jender, hak asasi manusia, dan hak kesehatan reproduksi.
Selain itu, kanal Tiktok juga menjadi sumber pendapatan bagi Hearts karena berbagai videonya kini disponsori oleh jenama-jenama pakaian serta produk lainnya. Pada tahun 2021, ia memperoleh pendapatan total 50.000 dollar AS dari kanal Tiktoknya. Jumlahnya bertambah dua kali lipat pada tahun 2022 menjadi 100.000 dollar.
Pada tahun 2020, Presiden AS Donald Trump telah mengutarakan niat melarang Tiktok dari bumi “Paman Sam”, tetapi rencana itu tidak pernah terwujud. Aidan Kohn-Murphy, seorang pengelola gerakan anak muda bernama Gen Z for Change menjelaskan bahwa Generasi Langgas (milenial) dan Generasi Z menolak rencana Trump dengan menggunakan suara mereka di pemilihan presiden AS 2020 dan berujung kepada kekalahan Trump dari Joe Biden.
“Niat pelarangan ini akan membuat pemerintahan Biden semakin tidak populer setelah persoalan kontraksi ekonomi akibat pandemi Covid-19, melonjaknya tunggakan utang masyarakat, dan berbagai persoalan rasialisme sistematis,” tuturnya.
Mata –mata
Berbagai pemerintahan di negara-negara Barat menganaktirikan Tiktok dengan alasan perusahaan dari China dan Pemerintah China telah mengeluarkan undang-undang agar semua perusahaan mereka menyetor data ke Beijing. Pada Agustus 2021, Pemerintah China memiliki 1 persen saham di berbagai raksasa teknologi China, antara lain ByteDance, Alibaba, dan Tencent.
AP PHOTO/NG HAN GUAN
Dalam foto yang diambil pada 7 Agustus 2020 ini tampak warga Beijing tengah berjalan melintas di depan Markas Besar ByteDance yang terletak di Beijing, China.
Lebih lanjut, pada Agustus 2022, Badan Pengelola Ranah Siber China (CAC) menerbitkan laporan yang disebarluaskan oleh berbagai media nasional China bahwa perusahaan-perusahaan teknologi tersebut telah menyetor 30 jenis algoritma yang mereka gunakan untuk menarik minat pengguna. Hal itu dilakukan atas perintah CAC guna membuktikan tidak ada perusahaan teknologi di China yang menyebarluaskan konten antipemerintah ataupun pamer kekayaan karena tidak sesuai dengan nilai-nilai sosialisme ala China.
Aturan itu memang diberlakukan kepada perusahaan yang ada di China. Akan tetapi, pemerintah negara-negara lain mengkhawatirkan Beijing melakukan hal sama kepada data mereka. India mengambil langkah ekstrem dengan melarang semua jenis media sosial dan aplikasi dari China, mulai dari Tiktok hingga WeChat.
Apalagi, pada Oktober 2022, majalah Forbes melakukan penyelidikan internal dan membuktikan sejumlah wartawan mereka diretas data pribadinya oleh Tiktok. Dua bulan kemudian, Direktur Utama ByteDance Liang Rubo mengundurkan diri dari perusahaan.
Ia kemudian menulis surat elektronik kepada Forbes dan mengakui semua tuduhan itu. Tidak lama setelah pengungkapan oleh Liang, Tiktok mengeluarkan pernyataan resmi bahwa perbuatan itu dilakukan secara pribadi oleh Liang dan segelintir orang, bukan atas nama perusahaan.
Inggris dan Selandia Baru kemudian melarang pemakaian Tiktok dari semua gawai pemerintah maupun gawai pribadi para pegawai negeri sipil. Kepada Financial Times, Wakil Direktur Utama Tiktok Eropa Theo Bertram menyayangkan hal tersebut dan berpendapat bahwa persaingan politik yang tidak sehat telah memasuki ranah bisnis dan sosial.
“Data Tiktok Inggris disimpan di Singapura dan AS. Pemerintah China tidak punya wewenang untuk mengaksesnya. Beijing tidak pernah meminta data itu kepada Tiktok Eropa. Jika mereka meminta, pasti kami tolak,” ujarnya. (AP)