Mengapa Elektabilitas Prabowo-Gibran Melejit? (II)
Arah dukungan Presiden Jokowi turut berperan dalam mendongkrak elektabilitas Prabowo-Gibran.
Periode Oktober 2023-Desember 2023 merupakan masa transisi dengan terjadinya kegamangan pada kalangan pemilih nasionalis, apakah akan memilih Ganjar-Mahfud atau Prabowo-Gibran. Hal itu disebabkan pada periode tersebut terjadi peristiwa penting yang secara simbolis mencerminkan kian menjauhnya Jokowi dari kubu Ganjar Pranowo, yaitu masuknya nama Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
Terbukti, setelah nama Gibran dimasukkan sebagai cawapres Prabowo, keunggulan elektabilitas capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo-Gibran, semakin jauh meninggalkan elektabilitas Ganjar-Mahfud MD karena ada gejala migrasi pemilih. Hal itu terekam dari hasil survei lembaga-lembaga survei yang memotret elektabilitas capres dengan pengambilan data pada sekitar Oktober 2023.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sebagai catatan, 25 Oktober 2023 merupakan batas akhir pendaftaran pasangan capres-cawapres. Pascapendaftaran inilah terindikasi terjadi kompetisi sengit perebutan basis pemilih Jokowi pada Pemilu 2019 antara pasangan Prabowo-Gibran dan Ganjar-Mahfud.
Ambil contoh publikasi survei nasional tatap muka Lembaga Survei Indonesia (LSI) di laman lembaga tersebut. Pada survei 3-9 Agustus 2023 dalam simulasi tertutup tiga nama tanpa pasangan cawapres, elektabilitas Ganjar masih bertengger di angka 37,0 persen dan bersaing ketat dengan Prabowo yang meraih 35,3 persen.
Namun, pada survei tatap muka dua bulan berikutnya (2-8 Oktober 2023) kondisi tersebut cenderung berbalik arah, yaitu elektabilitas Prabowo menjadi 37,0 persen dan Ganjar 35,2 persen.
Bandingkan pula dengan hasil survei tatap muka nasional Litbang Kompas pada 29 November-4 Desember 2023 yang memotret makin besarnya jarak elektabilitas kubu Prabowo-Gibran dengan Ganjar-Mahfud. Kubu Prabowo-Gibran meraih elektabilitas 39,3 persen, sedangkan kubu Ganjar-Mahfud justru turun jauh menjadi 15,3 persen. Angka pemilih bimbang pada survei saat itu terekam naik sebesar 13,3 persen dari survei bulan Agustus 2023.
Sulit dimungkiri, perubahan konfigurasi pasangan capres-cawapres menjadi salah satu penyebab kebimbangan pemilih di samping tergoyahkannya soliditas pemilih, khususnya pada pemilih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Diukur dari aspek elektabilitas, melebarnya jarak elektabilitas Ganjar dari Prabowo tak lepas dari pergeseran dukungan yang terjadi pada pemilih PDI-P dan pemilih Jokowi. Soliditas dukungan dari publik yang pada Pemilu 2019 memilih PDI-P kemudian memilih Ganjar cenderung menurun. Pada Agustus 2023 responden pemilih PDI-P yang memilih Ganjar mencapai 60,6 persen, sedangkan pada Desember tinggal 40,7 persen.
Yang menarik, sejumlah narasi yang menjadi sorotan bagi pasangan Prabowo-Gibran, seperti soal kecurangan aparat dan netralitas Presiden Jokowi, lebih banyak ditolak publik. Sebagaimana rilis hasil survei LSI pada 3-5 Desember 2023, sekitar 60 persen responden pada saat itu masih menilai baik sosok Jokowi maupun aparat negara bersikap netral/tidak berpihak.
Bahkan, pada survei LSI sebelumnya, 16-18 Oktober 2023, terekam sikap permisif publik terkait majunya Gibran sebagai cawapres Prabowo. Lebih banyak proporsi publik yang setuju terhadap upaya Gibran menjadi cawapres Prabowo dan cenderung menafikan persoalan etika dalam putusan MK, loyalitas Gibran sebagai kader PDI-P, dan turut campurnya Presiden Jokowi dalam proses tersebut.
Soal netralitas Presiden Jokowi
Pandangan publik yang pada Oktober 2023 dan Desember 2023 masih menilai adanya netralitas di tubuh penyelenggara negara dan Presiden Jokowi tersebut sesungguhnya berbeda dengan yang terjadi di tubuh pengurus parpol.
Memasuki November 2023, beberapa parpol mulai mempertanyakan arah dukungan sebenarnya dari Presiden Jokowi. Sejumlah partai politik kembali mengingatkan Presiden Jokowi untuk betul-betul netral dalam menghadapi Pemilihan Presiden 2024.
Penegasan komitmen untuk tidak berpihak melalui sejumlah pernyataan dianggap tak bisa menjadi jaminan. Sebab, dalam beberapa waktu terakhir sebelumnya, pernyataan Presiden dinilai kerap bertolak belakang.
Penegasan komitmen netralitas itu tak cukup hanya dengan menggelar makan siang bersama tiga bakal capres karena momentum itu tak serta-merta bisa diartikan sebagai pernyataan sikap bahwa Presiden bakal netral. Pertemuan tersebut bahkan justru bisa diartikan sebaliknya.
Sebelumnya, Presiden makan siang dengan tiga bakal capres, yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (30/10/2023). Dalam pertemuan, para bakal capres menyuarakan pentingnya Presiden netral saat pilpres dan Presiden pun berkomitmen untuk netral.
Sebagaimana pemberitaan Kompas pada 31 Oktober 2023 dan menyitir ucapan Ketua Bidang Kehormatan PDI-P Komarudin Watubun, yang menilai janji-janji Jokowi soal netralitas, mungkin harus dilihat terbalik.
”Kenapa dilihat terbalik, karena kalau dari pengalaman kita, Pak Jokowi selama sembilan tahun ini biasa membuat pernyataan itu, (kalau) dia bilang itu menolak, berarti dia terima. Dia bilang terima, berarti dia menolak,” ujar Komarudin.
Dari protes petinggi PDI-P tersebut terlihat bahwa ada jarak sosial antara publik dan partai politik dalam melihat netralitas Jokowi dalam proses pemasangan Prabowo dan Gibran. Bahkan, di sejumlah siniar politik beredar pula berbagai isu di balik pencalonan Gibran sebagai wapres Prabowo.
Namun, berbagai suara parpol dan kasak-kusuk politik tersebut tak banyak didukung oleh publik sebagai pertimbangan penting yang berpotensi menghambat kenaikan elektabilitas Prabowo-Gibran. Alih-alih menurunkan elektabilitas Prabowo, pada saat yang sama justru terjadi migrasi pemilih Jokowi dan pemilih PDI-P pada Pemilu 2019 kepada pasangan Prabowo-Gibran.
Salah satu penyebab diabaikannya fakta-fakta yang disuarakan parpol tersebut disinyalir karena masih buruknya citra parpol di mata publik. Bahkan, dalam survei LSI 3-5 Desember 2023, ketika ditanyakan pihak mana yang paling berpotensi melakukan kecurangan dalam Pemilu 2024, jawabannya justru partai politik (17,1 persen) yang paling berpotensi melakukannya.
Efek Jokowi dan popularitas cawapres
Pada akhirnya, masuknya Gibran ke dalam kompetisi pemilu memberikan warna tersendiri. Terlebih ketika debat capres-cawapres mulai dilakukan 12 Desember 2023, performa Gibran dipandang memberikan banyak ”kejutan”.
Bahkan, pada debat kedua antarcawapres, performa Gibran yang sebelumnya cenderung dipandang sebelah mata ternyata secara umum di atas ekspektasi publik dan mampu mengimbangi Muhaimin Iskandar dan Mahfud MD. Nilai yang diberikan responden kepada ketiga cawapres berada di rentang skor 7-8, dengan selisih sedikit di antara mereka (Kompas, 30/12/2023).
Bukti lain, jika pada Agustus 2023 nama Gibran hampir tidak masuk ke dalam nominasi publik untuk menjadi calon wakil presiden, pada Desember 2023 tingkat pengenalan masyarakat mencapai 85,1 persen.
Popularitas Wali Kota Surakarta sekaligus putra sulung Presiden Jokowi itu lebih tinggi daripada Mahfud MD yang 72,2 persen dan Muhaimin yang 55,3 persen. Selain itu, elektabilitas Gibran sebagai cawapres juga jauh di atas dua calon lain. Elektabilitas Gibran mencapai 37,3 persen, Mahfud MD 21,6 persen, dan Muhaimin 12,7 persen (Kompas, 11/12-2023).
Setelah putusan Mahkamah Konstitusi membuka peluang Gibran maju sebagai cawapres dan digandeng Prabowo, band wagon effect dan coat tail effect Jokowi ke pasangan Prabowo-Gibran agaknya mulai bekerja. Band wagon effect berupa keinginan sebagian pemilih mengambang untuk ikut memilih ”yang paling potensial menang pemilu” dan sekaligus Jokowi efek berupa dampak popularitas nama Presiden Jokowi yang masih diyakini menjadi jaminan keberlanjutan berbagai manfaat yang diterima publik selama ini.
Hal lain yang mendorong popularitas ialah kerja mesin politik parpol dan sukarelawan Jokowi dan Gibran yang pada periode tersebut mengerahkan para kader parpol untuk turun ke masyarakat untuk mempromosikan Prabowo-Gibran. Komposisi parpol koalisi pendukung Prabowo-Gibran dan para sukarelawan di atas kertas sudah di atas kekuatan mesin politik kubu Anies-Muhaimin ataupun Ganjar-Mahfud.
Baca juga: Mengapa Elektabilitas Prabowo-Gibran Melejit? (1)
Saat itu, pasangan Prabowo-Gibran sudah beroleh dukungan politik lebih lengkap. Tujuh partai politik, yakni Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Garuda, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sepakat mengusung pasangan ini. Masuk pula mendukung dua partai baru, yakni Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia dan Partai Prima.
Prabowo-Gibran juga mendapatkan dukungan dari sejumlah kelompok sukarelawan, terdiri atas puluhan kelompok sukarelawan Jokowi, termasuk Projo dan Alap-alap Jokowi, dan berbagai kelompok sukarelawan Gibran yang mendukungnya sejak masih menjadi Wali Kota Surakarta.
Bagaimanapun, semua kekuatan politik dan narasi politik tersebut telah membalik peta elektabilitas pasangan capres-cawapres yang pada periode awal hingga pertengahan 2023 masih tertuju kepada Ganjar menjadi berbalik lebih mengunggulkan Prabowo-Gibran.
Namun, elektabilitas pada pengujung 2023 itu rupanya belum memberikan keyakinan dan kepastian bagi kubu pasangan nomor urut 2 untuk mampu menang satu putaran meski sudah unggul. Dinamika politik setiap saat dapat membawa dampak tak terduga yang bisa mengubah keunggulan. (Bersambung) (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Why is Prabowo-Gibran's electability soaring? (1)