Menimbang Usulan Hak Angket Pemilu
Jajak pendapat "Kompas" juga menunjukkan sikap publik yang terbelah saat ditanya peluang usulan hak angket terwujud.
Publik memahami wacana usulan hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam Pemilu Presiden 2024 merupakan hak konstitusional DPR. Meski demikian, wacana usulan ini masih ditanggapi secara beragam oleh publik mengingat belum adanya kepastian ke mana arah hak angket ini akan berlabuh.
Kesimpulan ini tertangkap dari hasil jajak pendapat Kompas yang digelar pada 26-28 Februari 2024 untuk mengetahui sejauh mana pendapat masyarakat terkait dengan usulan hak angket DPR yang saat ini tengah digulirkan.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hasilnya menyebutkan, tidak banyak masyarakat yang mengikuti informasi seputar hak angket tersebut. Lebih kurang hanya separuh responden dalam jajak pendapat ini yang mengaku mengetahui soal usulan hak angket tersebut.
Hak angket merupakan salah satu hak yang dimiliki DPR selain hak interpelasi dan hak menyatakan pendapat. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Baca juga: Menjaga Asa Hak Angket Bergulir di DPR
Dalam konteks ini, publik memahami wacana usulan hak angket merupakan hak konstitusional DPR. Sebagai bagian dari hak DPR, lebih dari separuh responden (62,2 persen) jajak pendapat menyatakan setuju jika DPR menggunakan wewenangnya untuk menyelidiki dugaan kecurangan di pemilihan presiden (pilpres).
Sikap ini tidak hanya ditunjukkan kelompok responden yang tahu dan mengikuti isu tersebut, tetapi juga dinyatakan oleh mereka yang mengaku tidak tahu atau tidak mengikuti pemberitaan terkait hak angket.
Jika merujuk Pasal 199 Ayat (1) hingga Ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pengajuan hak angket harus memenuhi tiga syarat, yakni, pertama, diusulkan oleh minimal 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.
Kedua, pengusulan hak angket disertai dokumen yang memuat paling sedikit materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki dan alasan penyelidikan. Kemudian, ketiga, mendapat persetujuan Rapat Paripurna DPR yang dihadiri lebih dari separuh jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari separuh jumlah anggota DPR yang hadir.
Baca juga: Hak Angket DPR, Mungkinkah Menjadi Pintu Masuk Pemakzulan Presiden?
Artinya, proses pengusulan hak angket memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada proses politik yang harus dilalui meskipun jika mengacu jumlah kursi atau fraksi yang merujuk konstelasi politik saat ini, kubu yang cenderung setuju hak angket relatif lebih banyak menguasai kursi di DPR.
Tidak mudah
Dari sembilan partai politik pemilik kursi di DPR saat ini, ketiganya tersebar pada tiga kubu pasangan capres-cawapres yang berkontestasi di Pilpres 2024. Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, misalnya, dari koalisi partai politik pengusungnya, hanya ada PDI-P (128 kursi) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan 19 kursi.
Kemudian, sinyal dukungan terhadap hak angket juga dinyatakan oleh partai-partai politik pengusung Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, yakni Partai Nasdem dengan 59 kursi, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan 58 kursi, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan 50 kursi.
Jika jumlah kursi DPR kelima partai politik pengusung Ganjar-Mahfud dan Anies-Muhaimin ini dijumlahkan, berarti total mereka menguasai 314 kursi DPR atau 54,6 persen dari total kursi DPR.
Sementara itu, kubu yang cenderung menolak usulan hak angket adalah partai-partai politik pengusung pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, seperti Partai Gerindra (78 kursi), Golkar (85 kursi), Partai Amanat Nasional (44 kursi), dan Partai Demokrat (54 kursi). Maka, total kursi yang dikuasai kubu ini mencapai 261 kursi atau 45,4 persen dari total kursi DPR.
Meskipun secara komposisi kursi sudah menunjukkan peta kekuatan di parlemen, bukan berarti hak angket lebih mudah. Soliditas antarkubu, baik yang mendukung maupun yang menolak, juga masih belum menunjukkan kepastian.
Sikap Ketua Majelis Kehormatan PPP Zarkasih Nur, misalnya, yang mendorong Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP tidak perlu ikut mengajukan hak angket, memberikan sinyal potensi perubahan konstelasi antarkubu partai di parlemen terkait hak angket tersebut.
Baca juga: Rentan Perpecahan, Majelis Kehormatan PPP Sebut Tak Perlu Hak Angket
Kondisi ini pun terbaca dari hasil jajak pendapat yang menunjukkan masyarakat cenderung terbelah ketika ditanya mengenai peluang usulan hak angket ini bisa mudah direalisasikan. Meskipun separuh lebih responden cenderung setuju pada hak angket, soal keyakinan bahwa usulan ini mudah diwujudkan di DPR terlihat disikapi secara terbelah. Hampir separuh responden (49,5 persen) yakin hal itu akan terwujud, tetapi sebagian yang lain (40,6 persen) menyatakan ketidakyakinannya.
Kekhawatiran publik
Hal lain yang mengemuka dari wacana usulan hak angket ini ialah kekhawatiran akan munculnya isu pemakzulan presiden jika hak ini dilakukan DPR. Kekhawatiran ini cenderung lebih tampak dari kelompok responden yang tidak setuju adanya hak angket.
Sebanyak 54,4 persen responden yang tidak setuju hak angket menyatakan khawatir hak angket akan berbuah pada pemakzulan presiden. Sebaliknya, dari kelompok responden yang setuju, lebih banyak yang menyatakan tidak khawatir.
Isu pemakzulan wajar berembus karena isu hak angket dimulai dari munculnya dugaan kecurangan terhadap pelaksanaan pilpres. Apalagi jika dirunut, hak angket DPR ini awalnya diusulkan oleh Ganjar Pranowo. Hal ini dilatarbelakangi oleh situasi politik nasional yang menghangat setelah hari pemungutan suara pemilu pada 14 Februari 2024 lalu. Saat itu, Ganjar mendorong partainya, PDI-P, beserta koalisi partai pengusungnya mengajukan hak angket.
Isu kecurangan di pilpres yang menjadi latar belakang munculnya usulan hak angket memang ramai diperbincangkan di ruang publik, termasuk di media sosial.
Mengutip data Drone Emprit, percakapan yang ramai di Twitter/X sepanjang periode 14-23 Februari 2024 adalah percakapan tentang dugaan kecurangan Pemilu 2024. Dalam periode tersebut, ada 964.645 mention di Twitter/X yang berisi kata kunci ”kecurangan” dan ”curang”, dengan 75 persen di antaranya bernada negatif.
Maka, tidak heran jika kemudian isu kecurangan di pilpres ini menjadi daya dorong usulan hak angket DPR.
Namun, hingga kini, wacana usulan hak angket DPR masih bergulir di tengah proses panjang pengajuan hak angket, dinamika sikap partai-partai, dan dampak politik usulan hak angket. Dalam situasi dan kondisi yang masih belum ada kepastian ini, publik pun masih menimbang-nimbang usulan hak angket DPR tersebut.