Mencermati Lonjakan Suara PSI, Mungkinkah Masuk Senayan?
Konsentrasi suara PSI masih berada di perkotaan dan hanya tercatat di kurang lebih 15 dapil yang melebihi ambang batas.
Di luar perkiraan berbagai pihak, pergerakan suara Partai Solidaritas Indonesia atau PSI di rekapitulasi suara nasional KPU melonjak beberapa hari terakhir ini.
Jika tren lonjakan ini konsisten terjadi, dengan lebih dari sepertiga data belum terhitung, peluang partai melenggang ke Senayan terbuka. Jika skenario ini benar-benar terjadi, kisah PSI menjadi anomali karena menerabas teorema mapan statistik yang telah diamini lebih dari tiga abad.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Hingga Minggu, 3 Maret 2024, pergerakan suara PSI berdasarkan real count KPU semakin menjanjikan. Bagaimana tidak, angka perolehan partai ini telah mencapai 3,13 persen, atau tak sampai 1 persen untuk melampaui ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Meski demikian, masih dibutuhkan lebih dari 600.000 suara lagi agar mimpi PSI untuk duduk di Senayan menjadi kenyataan.
Pergerakan suara ini mengagetkan banyak pihak. Pasalnya, selama dilakukan pengukuran oleh berbagai lembaga, partai ini tak pernah lepas dari kategori partai dengan elektabilitas di bawah ambang batas.
Hasil survei Litbang Kompas dari Oktober 2019 hingga Agustus 2023 menunjukkan, tingkat keterpilihan PSI konsisten berada di bawah 1 persen. Baru pada survei Desember 2023, partai ini mampu mendorong tingkat keterpilihan hingga di angka 2,6 persen.
Hasil tangkapan ini pun selaras dengan quick count atau hitung cepat yang dilakukan sejumlah lembaga pada hari pemungutan suara 14 Februari 2024 lalu. Setidaknya, dari delapan lembaga yang melakukan hitung cepat, termasuk Litbang Kompas, rerata suara PSI berada di angka 2,79 persen. Delapan lembaga ini memprediksi perolehan suara PSI berada di rentang 2,6-2,9 persen.
Dengan rerata margin of error (MoE) tiap lembaga di kisaran plus minus 1 persen, kans partai ini untuk bisa tembus ke Senayan sebenarnya cukup kecil. Pasalnya, apabila MoE + 1 persen, suara dari PSI pun masih belum bisa melampaui ambang batas 4 persen.
Baca juga: Lorong Sempit PSI Masuk Senayan
Anomali suara PSI
Namun, tren perolehan PSI pada pemilu ini sangat cepat. Dalam waktu beberapa hari saja, suara dari PSI melonjak hingga 0,5 persen. Dalam kontestasi dengan 18 partai politik peserta pemilu, termasuk PSI, tentunya kejadian menjadi perhatian publik.
Hal ini tampak dari pergerakan hasil penghitungan real count KPU dari data masuk di sekitar 62-65,5 persen. Selama rentang tersebut, suara PSI naik dari sekitar 2,5 persen menjadi 3 persen. Artinya, dari 3,5 persen total penambahan suara yang masuk, proporsi yang cukup besar masuk ke PSI. Distribusi yang terjadi ini berbeda sangat jauh dibandingkan dengan hasil quick count dan ketika suara masuk masih di bawah 62 persen.
Jika ditelaah lebih dalam, laju pergerakan suara PSI ini salah satunya terlihat jelas pada 1 Maret 2024 pukul 23.00 hingga 2 Maret 2024 pukul 00.00 WIB. Dalam rentang waktu satu jam, PSI mengalami lonjakan lebih dari 3.300 suara dari 45 TPS.
Pergerakan data ini setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, bertambahnya suara PSI dalam rentang waktu tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan partai politik lain yang lebih mapan.
Golkar, misalnya, hanya memperoleh 882 suara atau tak sampai sepertiga dari suara yang didapat oleh PSI di rentang waktu tersebut. Sama halnya dengan Gerindra, PDI-P, Nasdem, dan PKS yang mendapat sekitar 500 suara.
Perbandingan ini tentunya melahirkan pertanyaan di benak publik. Bagaimana tidak, partai-partai tersebut terbilang mapan, dengan perolehan yang jauh di atas ambang batas, tetapi lonjakannya masih jauh dari PSI.
Gerindra, PDI-P, dan Golkar menjadi tiga partai politik dengan perolehan tertinggi masing-masing di atas 10 persen. Sementara itu, Nasdem dan PKS bertengger cukup mapan dengan perolehan masing-masing sebesar 9,4 dan 7,5 persen.
Hal kedua terkait distribusi suara dari 45 TPS tersebut juga sangat jauh dari proporsi di tingkat nasional. Suara dari 45 TPS yang masuk rentang waktu di atas berjumlah sekitar 9.200 suara. Dengan memperoleh sekitar 3.300 suara, PSI mendapat lebih dari 33 persen suara dari beberapa TPS tersebut.
Perolehan ini tentunya sangat jauh dari proporsi nasional karena saat itu perolehan PSI masih berada di kisaran 3 persen. Jika diproporsi, wajarnya PSI meraih sekitar 300 suara dari 45 TPS tersebut. Bahkan, dibandingkan dengan perolehan tertinggi di tingkat dapil, yakni DKI Jakarta III, suara PSI di TPS tersebut wajarnya berada di sekitar 1.200 suara atau setara dengan 13 persen.
Kecenderungan anomali ini menembus pemahaman statistik yang telah mapan lebih dari tiga abad. Salah satu teorema yang diyakini dan digunakan hingga saat ini adalah hukum jumlah besar(law of large number).
Secara singkat, teori ini menjelaskan bahwa rata-rata hasil yang diperoleh dari sejumlah sampel acak independen dan terdistribusi secara identik dengan populasi akan mirip dengan rata-rata hasil riil di populasi.
Dalam penerapannya, teori ini digunakan dalam banyak hal, mulai dari kasino hingga prediksi hasil pemilu. Dalam konteks kasino, kuatnya postulat yang dikandung oleh teori tersebut, bandar di kasino tidak akan ”kalah” karena dengan jumlah kejadian sekian ribu kali, kemenangan-kemenangan pemain akan lebih kecil dibandingkan dengan kemenangan sang bandar yang sudah diatur di permainan sejak awal.
Selaras, di pemilu, teori ini menjelaskan mengapa hasil dari hitung cepat umumnya tidak berbeda jauh dengan hasil riil yang dihitung penyelenggara pemilu.
Sebagai contoh, pada Pemilu 2019, beberapa hasil hitung cepat lembaga survei, seperti Litbang Kompas, CSIS, Cyrus Network, LSI Denny JA, dan Charta Politika, menunjukkan kemenangan pasangan Jokowi-Ma’ruf di kisaran 54,3-55,71 persen. Hasil tersebut tak jauh berbeda dengan margin di kisaran plus minus 1 persen dibandingkan hasil resmi KPU yang tercatat berada di angka 55,5 persen.
Maka, dengan tingkat akurasi yang relatif tinggi, tidak berlebihan jika hasil hitung cepat bisa dilihat sebagai salah satu upaya untuk mengawal jalannya penghitungan suara.
Apabila hasil dari penghitungan berbeda jauh dari hasil hitung cepat, ada potensi anomali data yang sebenarnya hampir tidak pernah terjadi. Dalam konteks ini, perolehan suara PSI berbeda jauh atau melebihi margin error dari berbagai lembaga yang melakukan hitung cepat saat pemungutan suara 14 Februari 2024 lalu.
Baca juga: Suara PPP Turun, PSI Naik, KPU: Sirekap Hanya Alat Bantu
Basis suara PSI tak berubah
Tentunya, pergeseran suara dalam konteks elektoral mungkin saja terjadi. Argumentasi bahwa politik itu dinamis, terutama di Indonesia, memang sahih. Namun, agaknya sulit untuk bisa memahami potensi anomali dengan lonjakan suara PSI.
Salah satu cara untuk melihat pergeseran perolehan suara ialah melihat ekspansi dalam dimensi geografis. Dalam konteks bahasan kali ini dilihat bagaimana PSI mampu memperkuat suara di daerah lumbung atau menambah penguasaan di daerah yang sebelumnya gagal dikuasai.
Apabila PSI mampu untuk melakukan keduanya, pantaslah apabila terjadi kenaikan suara yang signifikan dibandingkan pemilu sebelumnya.
Pada Pemilu 2019, PSI hanya mampu mengumpulkan sekitar 2,65 juta suara atau setara dengan 1,89 persen dari total suara sah. Dari jumlah suara tersebut, terdapat beberapa provinsi, seperti DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Banten di mana perolehan PSI melampaui 100.000 suara.
Di luar Jawa, suara PSI terbesar berada di provinsi Sumatera Utara, Papua, NTT, Sulawesi Selatan, dan Lampung dengan perolehan di atas 50.000 suara.
Di satu sisi, secara umum, perolehan suara PSI di pemilu kali ini memang lebih baik. Hingga saat ini, perolehan PSI di sebagian besar daerah pemilihan sudah melampaui capaiannya tahun 2019. Namun, masih ada beberapa daerah di mana perolehan PSI masih sangat kecil, di bawah 1 persen, seperti Gorontalo, Sulawesi barat, Sulawesi Selatan II, Sulawesi Selatan III, Sumatera Barat II, dan Sumatera Barat III.
Namun, di sisi lain, basis suara PSI pada Pemilu 2024 kurang lebih sama dengan hasil Pemilu 2019. Daerah-daerah dengan jumlah suara PSI yang besar kali ini mirip dengan lumbungnya di pemilu sebelumnya, seperti DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, dan Papua.
Tak hanya itu, meskipun mengalami peningkatan, suara PSI di Lampung justru sedikit lesu hingga provinsi tersebut tak lagi menjadi lumbung bagi PSI pada pemilu kali ini.
Kedua hal ini menunjukkan, meski perolehan PSI makin membaik dibanding tahun 2019, sulit agaknya untuk bisa benar-benar yakin partai ini bisa menembus ambang batas parlemen 4 persen.
Salah satu basis argumentasinya adalah suara PSI yang masih relatif terkonsentrasi di wilayah-wilayah perkotaan yang jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan area rural. Tak hanya itu, dari total 84 daerah pemilihan (dapil) pada Pemilu 2024, perolehan PSI baru bisa melampaui ambang batas parlemen di 15 dapil di antaranya atau tidak sampai dari seperlimanya.
Proses rekapitulasi suara di tingkat nasional masih berjalan. Tentu, semua menanti di tahapan akhir nanti, apakah suara PSI mampu menembus angka ambang batas parlemen sehingga memperkuat potensi anomali atau justru tren lonjakan ini hanya proses naik turun suara yang bisa terjadi dalam proses rekapitulasi. Kita tunggu saja. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Raihan Suara Bersaing Ketat, PPP Menilai Lonjakan Suara PSI Tak Masuk Akal