Anomali Kenaikan Harga di Daerah Lumbung Beras
Kenaikan harga beras terjadi di seluruh pelosok negeri, tak terkecuali daerah surplus beras sekalipun.
Kenaikan harga beras terjadi di seluruh provinsi di negeri ini, tak terkecuali daerah dengan catatan stok beras yang surplus sekalipun. Idealnya, kenaikan harga seharusnya tidak terjadi ketika pasokan tersedia dan terdistribusi secara lancar di pasaran. Jika faktanya berbalik, ada kemungkinan terjadi anomali dalam rantai pasok pemasarannya.
Harga beras terus merangkak naik dan meluas ke sejumlah daerah di Indonesia. Pantauan terbaru dari Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional yang dikelola Bank Indonesia, rata-rata harga beras sudah mencapai Rp 15.800 per kilogram. Untuk kelas premium atau super, rata-rata sudah menembus angka lebih dari Rp 20.000 per kg. Bahkan, di wilayah Kalimantan Tengah harga beras premium ini mencapai Rp 22.000 per kilogram.
Kenaikan harga tersebut sudah melampaui ketentuan harga eceran tertinggi Badan Pangan Nasional (Bapanas). Berdasarkan Peraturan Bapanas Nomor 7 Tahun 2023, HET beras premium maksimal Rp 14.800 per kilogram. Itu pun hanya di Pulau Maluku dan Papua, sedangkan di gugus pulau lain ketentuannya di bawah Rp 14.500 per kg.
Aturan harga itu juga berlaku untuk beras kelas medium. Bapanas mengatur, harga tertinggi beras medium Rp 11.800 untuk Pulau Maluku dan Papua, sedangkan daerah lainnya tidak boleh lebih dari Rp 11.500 per kilogram. Namun, faktanya, harga rata-rata beras premium saat ini sudah mencapai Rp 15.650 per kg. Bahkan, di Kalimantan Selatan harganya sudah menembus Rp 23.000 per kg untuk beras kelas menengah ini.
Baca juga: Beras Masih Mahal, Warga Mengincar Operasi Pasar
Sebagai bahan perbandingan dan deskripsi, beras premium adalah beras yang memiliki butir patah maksimal 15 persen. Sementara itu, beras medium adalah beras yang kandungan beras patahnya maksimal 25 persen.
Untuk mengendalikan inflasi, harga beras diatur dengan ketentuan harga eceran tertinggi (HET), di mana acuan tersebut digunakan sebagai batas atas di tingkat konsumen akhir. Dengan kata lain, harganya tidak boleh melebihi batas maksimal tertinggi yang telah ditentukan pemerintah. Meskipun demikian, faktanya harga beras saat ini sudah melambung relatif jauh dari aturan yang ditetapkan pemerintah.
Surplus beras
Kembali merujuk data PIHPS oleh Bank Indonesia, jika dibandingkan dengan 1 Januari 2024, harga beras pada saat ini secara umum mengalami peningkatan sebesar 8,5 persen. Memang, tidak setiap hari harga beras naik. Namun, jika dilihat secara lebih mendetail, frekuensi kenaikannya lebih sering terjadi pada dua pekan terakhir. Secara nasional, kenaikannya berkisar Rp 50 per kg hingga Rp 100 per kg. Jika dirata-rata, harga beras naik Rp 30 per kg per hari atau sekitar 0,20 persen sehari sepanjang Januari-Februari 2024.
Kenaikan tersebut terjadi secara merata di seluruh Nusantara. Ironinya, lonjakan harga beras juga terjadi di daerah-daerah yang stoknya berlebih. Tidak ada satu pun provinsi yang harga berasnya stabil meskipun provinsi bersangkutan mengalami surplus stok beras. Padahal, secara teori, kenaikan harga salah satunya terjadi lantaran tidak ada keseimbangan antara kebutuhan (demand) dan pasokan (supply).
Permintaan yang tinggi, tetapi tidak dapat dicukupi oleh pasokan yang tersedia, akan menimbulkan kelangkaan dan berimbas pada kenaikan harga. Hukum ekonomi pasar ini umumnya tidak akan terjadi ketika permintaan tersebut dapat dipenuhi oleh stok yang tersedia di market. Namun, kondisi ini tampaknya tak berlaku pada fenomena melejitnya harga beras akhir-akhir ini.
Baca juga: Akankan Harga Beras Terus Mengimpit?
Jawa Tengah, misalnya, salah satu lumbung padi nasional, mengalami kenaikan harga beras yang relatif lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Sepanjang periode pemantauan yang sama (Januari-Februari 2024), harga beras di Jateng naik 13,86 persen. Pada 1 Januari 2024, rata-rata harga beras di Jateng sudah mencapai Rp 13.700 per kilogram. Kini, per 27 Februari 2024 harganya sudah mencapai Rp 15.600 per kg. Jika dirata-rata harian, harganya naik 0,33 persen atau Rp 23 per kg per hari.
Selain lebih tinggi dari daerah lainnya, persentase kenaikannya melebihi rata-rata nasional. Kenaikan tertinggi pada pertengahan bulan ini, tepat sehari pascapemilu, yakni mencapai 2,69 persen, dari Rp 14.850 menjadi Rp 15.250 per kg.
Kenaikan harga tersebut bagaikan anomali hukum pasar. Pasalnya, Jateng merupakan produsen padi terbesar ketiga nasional setelah Jawa Timur dan Jawa Barat. Tahun 2023, produksi padi (gabah kering giling) Jateng sebanyak 9,06 juta ton atau jika dikonversikan dalam bentuk beras, menjadi 5,79 juta ton. Dengan produksi sebanyak ini, Jateng termasuk daerah surplus produksi beras karena total kebutuhan beras di Jateng sepanjang 2023 hanya sekitar 3,54 juta ton.
Estimasi kebutuhan beras itu dihitung dari rata-rata konsumsi beras per kapita di Jateng dikalikan dengan jumlah penduduk Jateng. Penghitungan tersebut sudah disesuaikan dengan kebutuhan beras nasional yang dipublikasikan oleh Bapanas.
Dari kalkulasi proyeksi kebutuhan itu, Jateng termasuk daerah yang surplus produksi beras secara nasional. Kondisi serupa juga terjadi pada lumbung padi lainnya, seperti Jawa Timur dan Jawa Barat. Jabar, produsen beras terbesar kedua, juga mengalami kenaikan harga beras yang cukup tinggi. Rata-rata naik sekitar Rp 54 per kilogram per hari. Kenaikan harga tertinggi terjadi awal pekan lalu, yakni Rp 500 per kg. Sementara itu, rata-rata kenaikan harga beras di Jatim sebesar Rp 35 per kg per hari. Hal yang mirip juga terjadi di Sumatera Selatan.
Semua provinsi yang dipersiapkan pemerintah untuk mencukupi kebutuhan beras nasional tersebut saat ini tengah mengalami lonjakan harga meski stok berasnya tercatat surplus. Tren peningkatan harga beras tersebut juga terjadi di sebagian provinsi lainnya yang juga berperan sebagai daerah lumbung pangan nasional. Di antaranya Aceh, Sulawesi Tengah, dan Gorontalo.
Solusi instan
Fenomena kenaikan harga ini menjadi sebuah pertanyaan besar, bagaimana bisa harga naik di daerah-daerah yang surplus beras? Beragam penjelasan kemudian dimunculkan. Pada beberapa daerah disebutkan bahwa produksi yang ada di wilayah tersebut dialirkan ke daerah lain yang kekurangan beras. Alhasil, pasokan di daerah yang seharusnya surplus beras menjadi berkurang, atau bahkan minus.
Jika memang demikian yang terjadi, stok beras pun kemungkinan besar sudah terbagi secara merata melalui mekanisme pasar. Dengan kata lain, kebutuhan dan pasokan berimbang seperti biasanya sehingga tidak memicu kendala gap harga di pasaran. Namun, faktanya harga beras di semua daerah melejit, baik yang surplus apalagi yang defisit.
Baca juga: Sanggah Harga Beras Naik, Presiden Jokowi: Cek di Pasar
Uniknya lagi, stok beras secara nasional tercatat mampu mencukupi kebutuhan selama setahun. Jika mengacu pada catatan Bapanas bahwa kebutuhan beras nasional sebanyak 2,5 juta ton per bulan, total beras yang harus dipersiapkan untuk setahun setidaknya 30 juta ton. Tahun lalu, produksi beras nasional mencapai 34,3 juta ton. Artinya, di atas kertas ada surplus beras sekitar 4 juta ton. Ditambahkan lagi dengan impor yang masih terus menerus dilakukan, stoknya tentu lebih besar. Kelangkaan seharusnya tidak terjadi sehingga harga cenderung terkontrol serta tidak menimbulkan persoalan di masyarakat.
Selama ini, langkah yang diambil pemerintah, baik pusat maupun daerah, masih sebatas solusi instan. Salah satu adalannya melalui kegiatan operasi pasar dan pembagian bantuan sosial berupa kebutuhan pokok. Kebijakan ini relatif baik untuk meredam harga, tetapi sayangnya hanya bersifat sementara dan skala cakupannya tidak luas. Tidak semua kalangan masyarakat dapat merasakan bansos dan beras murah itu.
Oleh karena itu, pemerintah harus mengevaluasi dan membenahi tata niaga beras dari hulu hingga hilir secara saksama. Pemantauan produksi beras hingga peredarannya mutlak harus terus dilakukan mengingat ketersediaannya sangat berdampak pada inflasi harga-harga pangan secara umum. Praktik-praktik yang mengganggu proses distribusi dan cenderung berspekulasi untuk menguntungkan segelintir pihak harus segera diberantas agar tidak membebani kehidupan masyarakat luas.
Selain itu, juga perlu adanya transparansi data agar masyarakat dapat turut memantau ketersediaan beras di pasaran. Bukan semata-mata hanya untuk mengamati naik turunnya harga, tetapi juga untuk memastikan ketersediaan stok dan kelancaran distribusi pangan di masyarakat. Di tengah kecanggihan teknologi yang ada saat ini, keterbukaan data mestinya bukan suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan. Semuanya itu demi mencegah kendala di lapangan dan juga praktik spekulasi guna meningkatkan keuntungan sejumlah oknum yang jelas-jelas merugikan masyarakat. (LITBANG KOMPAS)