Perkara Pengungsi Rohingya dan Tantangan Jacques Derrida
Bisakah kita menerima pengungsi Rohingya dengan ”keramahtamahan tanpa syarat”?
Menjelang akhir 2023 lalu, kedatangan pengungsi Rohingya dipenuhi dengan perdebatan di masyarakat. Pemerintah pun terlihat kurang tanggap sehingga dengan mudahnya perkara Rohingya dipolitisasi dalam persaingan antarcalon presiden untuk Pemilu 2024.
Pengungsi Rohingya sudah datang ke Indonesia sejak 2009 di Sabang, Aceh. Kemudian gelombang berikutnya datang lagi pada 2010 hingga 2019, tanpa pernah ada penolakan. Situasi kini berubah, banyaknya informasi yang mengangkat narasi penolakan disebut-sebut sebagai pemicu adanya berbagai aksi resistansi masyarakat terhadap pengungsi Rohingya.
Awal 2024 ini, beredar video hoaks yang memperlihatkan sebuah feri dengan tiga lantai dan diberi keterangan berisi pengungsi Rohingya yang sedang menuju Indonesia.
Video yang tersebar di platform Facebook tersebut mendapat tanggapan yang berisi ketakutan, kecemasan, serta kemarahan dari sejumlah akun. Padahal, video tersebut adalah tayangan transportasi laut di Bangladesh pada 2020 lalu.
Di laman Kementerian Komunikasi dan Informatika, terdapat juga klarifikasi atas video hoaks yang beredar di Tiktok dan berisi narasi Komisi Tinggi Urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) telah mensponsori atau membiayai kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia.
Faktanya, tayangan tersebut adalah rekaman video kedatangan pengungsi Rohingya pada 3 Desember 2023 lalu yang terdampar di Sabang, Aceh. Tidak ada keterlibatan UNHCR dalam kedatangan para pengungsi saat itu.
Para pengamat dalam negeri di sejumlah diskusi sepakat bahwa telah muncul propaganda dengan informasi yang menyesatkan di media sosial mengenai pengungsi Rohingya. Narasi tersebut diamplifikasi oleh para pendengung (buzzer)sehingga dengan mudahnya memengaruhi cara pandang publik terhadap pengungsi Rohingya.
Kendati sudah muncul anjuran dan edukasi dari para pengamat dan sejumlah lembaga, khususnya UNHCR, publik tampaknya masih menyimpan sikap antipati terhadap para pengungsi.
Konten-konten berisi informasi menyesatkan dan bertujuan menggiring opini publik masih beredar banyak di media sosial. Akun-akun di media sosial yang mengaku sebagai media massa pun sering mengunggah konten disinformasi tanpa memberikan penjelasan lengkap.
Suasana makin keruh ketika perkara ini turut dibawa ke ranah persaingan antarcapres yang memanas akhir-akhir ini. Pendukung dari tiap-tiap capres mengunggah pernyataan capres yang dinilai tepat dalam menanggapi isu pengungsi Rohingya.
Baca juga : Konflik dan Perang, Biang Keladi 108,4 Juta Orang Terusir dari Rumahnya
Pandangan capres
Dari ketiga capres, masing-masing memiliki cara penanganan yang cukup berbeda ketika membahas isu ini dalam kesempatan terpisah.
Berbekal pengalamannya menghadapi pengungsi dari luar negeri ketika menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengedepankan penerimaan berdasarkan prinsip kemanusiaan.
Anies melihat bahwa para pengungsi Rohingya perlu ditempatkan di satu lokasi khusus seperti ketika Indonesia menerima manusia-manusia perahu dari Vietnam dan dikumpulkan di Pulau Galang. Sebab, jika digabungkan dengan penduduk lokal, hal itu bisa berpotensi pada konflik akibat perbedaan budaya.
Dalam kunjungannya di Banda Aceh, Prabowo Subianto menegaskan bahwa permasalahan Rohingya adalah masalah dunia sehingga Indonesia harus berkoordinasi dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Prabowo kemudian melanjutkan, kepentingan masyarakat dan nasional harus tetap diutamakan ketika berhadapan dengan para pengungsi. Alasannya, masih banyak warga yang hidup dalam keadaan susah dan membutuhkan bantuan pemerintah.
Sementara itu, Ganjar Pranowo mengambil langkah agar Indonesia terlebih dahulu melakukan ratifikasi Konvensi Geneva 1951 tentang status pengungsi.
Menurut Ganjar, pilihan kedua yang dapat dilakukan adalah dengan adanya asesmen darurat jika ratifikasi belum dapat dilakukan atau bekerja sama dengan beberapa negara ASEAN yang sudah melakukan ratifikasi. Pada intinya, menolong sesama manusia perlu dikedepankan tanpa harus melupakan kepentingan nasional.
Hingga akhir Desember 2023, jumlah pengungsi Rohingya yang tiba di wilayah Indonesia tercatat sekitar 1.600 orang. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyatakan bahwa isu Rohingya sudah dibahas secara khusus dalam pertemuan bersama Komisioner Tinggi UNHCR di Geneva pada Desember 2023.
Para pengungsi Rohingya saat ini ditampung sementara di sejumlah lokasi, seperti di kamp Yayasan Mina Raya di Kabupaten Pidie, eks kantor Imigrasi Kota Lhokseumawe, dan Balai Meuseuraya Aceh (BMA) Banda Aceh.
Baca juga : Soal Pengungsi, Soal Kemanusiaan
Etika keramahan
Sembari menunggu kepastian tindakan pemerintah dalam persoalan pengungsi Rohingya, ada baiknya perkara ini dikembalikan pada persoalan etika yang akhir-akhir ini justru diinjak-injak atas kepentingan politik.
Berhadapan dengan permasalahan pengungsi, sesungguhnya kita dihadapkan pada pertanyaan, ”Apakah kita harus bersikap ramah terhadap mereka?” Pertanyaan ini tidak dapat dijawab selain atas dasar pertimbangan etika secara filosofis.
Keramahtamahan sering kali dinilai masih memiliki syarat atau disebut sebagai hospitalitas bersyarat (conditional hospitality). Contoh konkret ini biasa ditemui pada kehidupan sehari-hari dalam hospitalitas atau keramahtamahan saat ada tamu yang berkunjung ke rumah. ”Silakan masuk, anggap rumah sendiri, asalkan...”, begitulah yang terlintas dalam benak si tuan rumah.
Jacques Derrida, filsuf kontemporer Perancis, mencermati permasalahan etika keramahtamahan ini. Dalam ”On Cosmopolitanism dan Forgiveness” (2001), Derrida mengajukan tantangan, ”Bisakah kita menerapkan keramahtamahan tanpa syarat (unconditional hospitality)?” Tuan rumah tidak akan memberikan batasan apa pun terhadap tamu yang datang ke kediamannya, termasuk menjarah seisi rumahnya.
Menurut Derrida, dalam menerima seseorang dari pihak luar, pihak penerima selalu dihadapkan pada dua pilihan, antara menerima tanpa pamrih dan selalu berupaya mengesampingkan segala bentuk prasangka yang mendahului sikap menerima. Di sini, prasangka sama dengan penilaian atau kesan yang diberikan penerima sebelum adanya interaksi langsung dengan pihak luar tersebut.
Derrida sebenarnya mencoba melanjutkan etika Emmanuel Levinas tentang kehadiran ”orang lain” (the others) yang senantiasa menuntut untuk ditolong. Bersama Levinas, kita diajak untuk menyelami sesuatu yang tidak nyaman dari dalam diri, yakni kehadiran ”orang lain” yang sama sekali asing sekaligus menuntut tanggung jawab atas nasibnya.
Kembali pada pandangan Derrida dan disesuaikan dengan konteks permasalahan pengungsi Rohingya, di satu sisi rasa kemanusiaan kita akan mendorong kita untuk menerima mereka tanpa syarat apa pun. Di sisi lain, penerima juga dihadapkan pada syarat-syarat penerimaan yang ditujukan untuk kebaikan kedua pihak dan kepentingan-kepentingan lain, seperti hukum, politik, dan ekonomi.
Dalam konteks pengungsi Rohingya, warga Indonesia diuji kenyamanannya ketika melihat berbagai konten di media sosial yang menarasikan bahwa para pengungsi justru bertindak seenaknya, seperti tamu yang tidak tahu malu.
Baca juga : Percepat Relokasi Pengungsi Rohingya dari Aceh
Solusi etis
Tegangan atau dilema tersebut justru seakan-akan makin membuat kita bingung untuk mengambil sikap. Derrida menyadari tegangan antara di balik keramahtamahan tanpa syarat tersebut dengan mengajukan pertanyaan berikutnya, ”Bagaimana kita membedakan antara tamu dan parasit?” Jawaban atas pertanyaan itu dapat ditemukan dalam pemikiran lain yang digagas oleh Giorgio Agamben, filsuf Italia.
Agamben berpandangan bahwa fenomena kehadiran para pengungsi akibat konflik di daerahnya dapat menyebabkan mereka menjadi ”homo sacer” atau orang yang identitas yuridisnya sudah dilucuti dan begitu rentan sehingga orang yang membunuhnya tidak akan dikenai hukuman.
Gagasan Agamben ini terbukti ketika pada Desember lalu sejumlah mahasiswa di Banda Aceh mencoba mengusir pengungsi Rohingya dari wilayah tersebut.
Meski begitu, homo sacer juga tidak boleh dijadikan tumbal atas dasar kepentingan religius karena dikhawatirkan menimbulkan hukuman spiritual. Posisi pengungsi Rohingya juga senantiasa terombang-ambing dan berada dalam ancaman. Identitas religius mereka yang memiliki kesamaan dengan masyarakat setempat tampaknya tidak berarti apa pun untuk melindungi keberadaan mereka.
Para pengungsi Rohingya pada dasarnya ingin pulang ke daerah asalnya di Negara Bagian Rakhine. Persoalannya, mereka berhadapan dengan konflik pascakudeta militer dan tidak diterima sebagai salah satu suku bangsa di Myanmar. Kini mereka tidak memiliki kewarganegaraan (Kompas, 14 Desember 2023).
Dengan melihat pengungsi sebagai homo sacer yang begitu rentan dari segala aspek, masihkah kita mempertanyakan kehadirannya sebagai tamu atau parasit? Apakah dikotomi rasional sedemikian besar untuk membenarkan sikap penolakan? Pertanyaan terpenting akhirnya adalah, ”Apakah kita bisa menerapkan ’keramahtamahan tanpa syarat’ bagi mereka?” (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Sebanyak 549 Pengungsi Rohingya di Aceh Menanti Kepastian