Soal Pengungsi, Soal Kemanusiaan
Pengungsi di Indonesia membutuhkan perhatian dari pemerintah. Problem pengungsi juga menjadi problem kemanusiaan,

Meskipun tidak menjadi bagian dalam Konvensi PBB tahun 1951 tentang pengungsi, Indonesia tidak bisa menutup mata dengan keberadaan pengungsi luar negeri yang datang. Hingga saat ini, Indonesia merupakan negara transit bagi para pengungsi ini.
Hingga Mei 2023, setidaknya 12.704 pengungsi dari luar negeri dicatat oleh Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) berada di Indonesia. Sebanyak 73 persen dari jumlah ini merupakan orang dewasa dan 27 persen lainnya anak-anak. Apabila dilihat lebih dalam dari pengungsi dewasa, 27 persen di antaranya perempuan.
Sebagian besar pengungsi ini melarikan diri akibat konflik di negara asal mereka. Salah satu aliran pengungsi yang datang ke Indonesia berasal dari Myanmar.
Dari Januari hingga April 2023 terdapat setidaknya empat kapal yang berlabuh di beberapa daerah di Aceh dengan total mengangkut 457 pengungsi Rohingya. Selain itu, ada 21 pengungsi Rohingya yang dicatat oleh UNHCR mendarat di Dumai, Riau.
Dengan tambahan jumlah ini, hingga pertengahan 2023, sedikitnya ada 1.356 pengungsi dari Myanmar yang tercatat UNHCR berada di Indonesia. Namun, jumlah ini bukan yang terbanyak.
Jumlah terbanyak pengungsi di Indonesia berasal dari Afghanistan, yaitu 6.663 orang. Artinya, separuh, yakni 52,4 persen, dari total pengungsi di Indonesia berasal dari Afghanistan. Setelah Afghanistan, baru kemudian pengungsi dari Myanmar.

Berikutnya, negara yang menjadi asal pengungsi adalah Somalia. Jumlah pengungsi dari negara Afrika timur ini sebanyak 1.250 orang atau 9,8 persen dari total pengungsi yang berada di Indonesia.
Setelah Somalia, ada Irak dan Sudan. Jumlah pengungsi dari Irak yang berada di Indonesia sebanyak 614 orang dan yang berasal dari Sudan 483 orang.
Indonesia bukan satu-satunya negara persinggahan pengungsi. Sejumlah negara ASEAN juga menghadapi aliran pengungsi dari luar negeri.
Publikasi ”Forced Displacement and Statelessness 2022” dari UNHCR menunjukkan Malaysia, Filipina, dan Thailand menghadapi masalah dengan keberadaan pengungsi. Pada 2022, pengungsi di Malaysia mencapai 182.000 orang. Pengungsi di Thailand mencapai 95.400 orang, sementara di Filipina ada 1.700 orang.
Kondisi ini menggambarkan, keberadaan pengungsi menjadi tantangan yang dihadapi banyak negara di dunia, tidak terkecuali di kawasan Asia Tenggara. Ada kesamaan asal negara pengungsi yang masuk ke wilayah Asia, termasuk Indonesia. Sebagian besar pengungsi tersebut berasal dari Afghanistan dan Myanmar.
Baca juga : 12.000 Lebih Pengungsi di Indonesia Terbantu Filantropi Islam
Tercerabut
Melihat negara asal para pengungsi asal luar negeri yang masuk ke Indonesia, tampak bahwa perang dan konflik menjadi faktor utama yang mengancam keselamatan. Artinya, berstatus sebagai pengungsi hingga pencari suaka dan hidup tanpa kewarganegaraan bukanlah hal yang diinginkan.
Ancaman perang hingga persekusi memaksa para pengungsi ini untuk meninggalkan negara mereka dengan mencari tempat yang aman.
Konflik di Afghanistan, misalnya, telah berlangsung sejak 2001 dan berkepanjangan hingga saat ini. Berikutnya, ancaman terhadap keselamatan orang-orang beretnis Rohingya memaksa mereka keluar dari Myanmar. Setali tiga uang, negara-negara lain yang menjadi asal para pengungsi juga mengalami konflik berkepanjangan.
Dengan kondisi ini, tak dapat dimungkiri bahwa para pengungsi adalah kaum marjinal dari seluruh problem konflik tersebut. Dengan pendekatan interseksionalitas, masih ada kelompok yang lebih rentan lagi menjadi bagian dari kelompok marjinal ini, yakni anak-anak, perempuan, dan mereka yang berkebutuhan khusus.

Pengungsi etnis Rohingya berada di penampungan sementara Desa Matang Peulawi, Kecamatan Peureulak, Kabupaten Aceh Timur, Aceh, Senin (27/3/2023).
Masih dari data UNHCR, jumlah anak-anak yang menjadi bagian dari pengungsi dari luar negeri di Indonesia sebanyak 3.467 jiwa. Dari jumlah ini terdapat 142 anak yang tidak didampingi oleh orangtua atau kerabat dewasa. Selain itu, ada 59 anak yang dalam berbagai situasi terpaksa harus terpisah dari orangtua mereka.
Anak-anak yang tidak didampingi oleh keluarga menambah pelik situasi karena mereka belum sepenuhnya dianggap warga negara di negara asal. Mereka belum memiliki dokumen resmi secara mandiri yang dapat melindungi hak-hak mereka. Secara praktis mereka berstatus anak-anak yang tak memiliki kewarganegaraan secara pasti.
Ditambah tekanan psikologis dan trauma dalam perjalanan melarikan diri dari negara asal, pengungsi anak-anak sangat rentan mengalami krisis identitas. Selain itu, pendidikan, baik formal maupun informal, hampir pasti tidak mereka dapatkan.
Baca juga : Menuju Australia, Menunggu Kepastian di Indonesia
Peran Indonesia
Dalam situasi yang pelik terkait pengungsi ini, peran Indonesia tidak bisa sepenuhnya maksimal dengan beberapa alasan mendasar. Hingga saat ini Indonesia belum menjadi ”negara pihak” yang menjadi bagian dalam Konvensi 1951 tentang status pengungsi.
Artinya, tidak ada kewajiban penuh bagi Indonesia untuk memberikan perlindungan dasar terhadap pengungsi sebagaimana disepakati konvensi tersebut, termasuk di dalamnya Protokol 1967.
Salah satu yang ditekankan dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi adalah perlindungan dasar mengenai kebutuhan hidup dasar keluarga-keluarga pengungsi, termasuk menerima keberadaan mereka dan memberikan tempat tinggal.
Dengan kata lain, negara-negara yang belum meratifikasi perjanjian tentang pengungsi pencari suaka memperlakukan para pencari suaka sebagai golongan umum atau orang asing.
Dalam situasi yang demikian, Indonesia memberikan kewenangan kepada UNHCR yang memiliki perwakilan di negeri ini untuk menjalankan mandat perlindungan permasalahan pengungsi di Indonesia. Di luar yang ditangani oleh UNHCR, tidak ada kepastian penanganan terhadap pencari suaka yang tidak terdaftar di Komisi Tinggi PBB ini.

Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah adalah memberikan basis legalitas hukum dalam kerja samanya dengan UNHCR. Pada 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Pasal 2 aturan ini mengatur bahwa penanganan pengungsi dilakukan berdasarkan kerja sama antara pemerintah pusat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi (UNHCR).
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan ditunjuk sebagai koordinatornya. Koordinasi yang dimaksud meliputi penemuan, penampungan, pengamanan, dan pengawasan keimigrasian.
Kebijakan ini diambil dalam situasi bahwa Indonesia di satu sisi belum menjadi negara pihak Konvensi 1951 dan Protokol 1967 yang memberikan perlindungan penuh terhadap pengungsi. Namun, di sisi lain, tak dapat ditolak jumlah pengungsi pencari suaka di Indonesia tidak sedikit.
Situasi lain yang harus dihadapi orang-orang yang melarikan diri dari negara asal mereka adalah permohonan status pengungsi. Dengan basis kerja sama dengan UNHCR, bagi mereka yang ditolak status pengungsinya oleh UNHCR, kebijakan yang diambil oleh pemerintah adalah pemulangan sukarela hingga deportasi.

Seorang anak pencari suaka asal Afghanistan mengenakan rompi dengan tulisan yang meminta Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mempercepat proses pemukiman kembali para pengungsi ke negara tujuan, Kamis (6/1/2022).
Bagi yang diakui status pengungsinya, Indonesia tidak dalam koridor memberikan suaka penuh, melainkan tempat transit bagi mereka untuk akhirnya mendapatkan negara suaka tujuan, misalnya yang terdekat adalah Australia.
Menunggu kepastian status ini pun menjadi problem yang tak sederhana karena keterbatasan tenaga yang dimiliki UNHCR di Indonesia. Pada pertengahan 2023, tercatat 29 anggota staf nasional, 7 anggota staf internasional, dan 44 tenaga kerja terafiliasi.
Dalam situasi yang tak mudah ini, Indonesia dapat menunjukkan perhatian lebih serius terhadap nasib pengungsi melalui revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian dan Perpres Nomor 125 Tahun 2016. Harapannya, akan lebih banyak pengungsi dari luar negeri mendapat perlindungan lebih baik di Indonesia dengan dasar hukum lebih pasti.
Upaya ini merupakan hal positif di tengah krisis kemanusiaan akibat perang dan konflik yang terus terjadi. Perang dan konflik yang mengorbankan orang-orang tak bersalah, bagaimanapun, menjadi bentuk penjajahan dan penindasan masa kini.
Selayaknya Indonesia menunjukkan keberpihakan terhadap mereka yang terpaksa menjadi korban. Bagaimanapun, keberadaan pengungsi tidak bisa dilepaskan dari perlindungan hak-hak dasar kemanusiaan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Pengungsi Rohingya Mencari Kebebasan