logo Kompas.id
RisetMadura, Mahfud MD, dan...
Iklan

Madura, Mahfud MD, dan Pertaruhan Elektoral Pemilu 2024

Bagaimana peta elektoral pemilu 2024 di wilayah Madura? Apakah peluang Mahfud MD lebih mudah mendulang dukungan?

Oleh
YOHAN WAHYU
· 5 menit baca
Jembatan Suramadu saat malam hari, Sabtu (24/8/2013).
KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Jembatan Suramadu saat malam hari, Sabtu (24/8/2013).

Wilayah Madura menjadi salah satu pilar pertaruhan elektoral di Jawa Timur. Kiai sebagai sosok pemuka agama tidak saja memiliki pengaruh keagamaan, tetapi juga menyimpan pengaruh elektoral dalam kontestasi politik. Sebagai putra daerah, Mahfud MD tentu menjadi perhatian sendiri dalam konteks pemilihan presiden di wilayah ini.

Peran elektoral yang dimainkan oleh kiai sebagai pemimpin pondok pesantren tidak saja melekat dengan peran keagamaannya, tetapi secara sosial juga sudah menyatu dalam kehidupan masyarakat di Madura. Setidaknya filosofi atau pandangan hidup orang Madura terkait sosok panutan ini tecermin dalam ungkapan bhuppa’ bhabbu’ ghuru rato.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Ungkapan ini menyangkut nilai kepatuhan orang Madura kepada bapak, ibu, guru, dan raja (pemimpin formal). Mereka adalah figur-figur utama dalam lanskap sosial masyarakat Madura. Nilai normatif ini mengikat kepada semua orang Madura. Akibatnya, jika ini dilanggar, atau setidaknya melalaikan aturan tersebut, sanksi atau beban sosial dan kultural akan menjadi konsekuensi.

Sejarawan Kuntowijoyo menyebutkan bahwa peran kiai di Madura pada masa kerajaan bersifat pemimpin ritual keagamaan. Peran ini berkembang pada masa kolonial yang menjadikan kiai tidak hanya sebagai pemimpin keagamaan, tetapi juga berperan sebagai pemimpin masyarakat.

Peran ini berlanjut pada masa pascakemerdekaan, yakni selain sebagai pemimpin keagamaan dan masyarakat, kiai juga berkembang menjadi pemimpin politik yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan pemerintahan.

https://cdn-assetd.kompas.id/yLMO4u4I_cIXr6oaWNuZ3gpi76o=/1024x1023/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F08%2F15%2F3a5d675e-e6f1-42e1-8ae1-4588761cd81b_png.png

Di posisi inilah kemudian dikenal konsep ”kiai politik”. Fenomena ini melekat dengan kelembagaan politik, yakni kehadiran Nahdlatul Ulama (NU) sebagai kekuatan politik yang tergabung dalam Partai Masyumi. Kekuatan politik kiai ketika itu begitu dominan dalam wadah NU. Setelah keluar dari Masyumi pada 1952, peran politik Partai NU berdiri sendiri sebagai kekuatan politik kiai.

Namun, kebijakan fusi di era Orde Baru membuat NU harus bergabung dengan partai politik Islam lainnya, seperti Parmusi, PSII, dan Perti, yang kemudian melebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973.

Saat Muktamar NU di Situbondo pada 1985, NU memutuskan kembali ke khitah sebagai organisasi kemasyarakatan Islam dan melepas keterkaitan dengan PPP.

Di era Reformasi, peran politik NU kembali menggeliat dengan lahirnya Partai Kebangkitan Bangsa. Peran kiai, yang semula pascamuktamar bergeser pada peran politik individual, kembali menguat secara kelembagaan dengan lahirnya PKB.

Baca juga: Madura dan Sikap Perlawanan

Suara menyebar

Namun, PKB bukanlah satu-satunya partai politik yang menjadi aspirasi warga Madura. Suara pemilih di Madura relatif menyebar ke beberapa partai politik.

Pada Pemilu 2019, misalnya, partai ini hanya meraih 15,7 persen suara, berada di peringkat kedua setelah Partai Gerindra yang menempati posisi pertama dengan 17,5 persen suara.

Di peringkat ketiga adalah Partai Nasdem dengan perolehan suara relatif tipis dengan PKB, yakni 15,4 persen suara. Partai Demokrat berada di posisi keempat dengan 14 persen suara.

Menyebarnya suara pemilih ini kemudian juga diikuti dengan distribusi kursi DPR yang ada di Daerah Pemilihan Jawa Timur XI yang meliputi empat kabupaten di Madura tersebut.

Dari delapan kursi DPR yang diperebutkan, relatif merata karena direbut oleh delapan partai politik yang berbeda dengan masing-masing meraih satu kursi, yakni Gerindra, PKB, Nasdem, Golkar, PAN, Demokrat, PPP, dan PDI-P.

https://cdn-assetd.kompas.id/skZiGnVcFkTu9dkEPQ0BBAy69zY=/1024x1158/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F06%2F24%2F20210624-LHR-Politik-madura-Grafik1-mumed_1624521042_png.png

Hal yang kurang lebih sama jika dilihat penguasaan partai politik pada empat kabupaten di Madura. Pada Pemilu 2019, Kabupaten Bangkalan dimenangi oleh Partai Gerindra dengan mendominasi perolehan suara mencapai 33,7 persen.

Kemudian di Kabupaten Sampang direbut oleh Partai Nasdem dengan 34,8 persen suara, Kabupaten Pamekasan menjadi basis PPP dengan 28,6 persen suara. PKB hanya menguasai Kabupaten Sumenep dengan perolehan 35,2 persen suara.

Iklan

Persebaran suara juga terekam dari ajang Pemilihan Presiden 2019. Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mendominasi perolehan suara hingga 65,8 persen, sedangkan pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin hanya berhasil mendulang 34,2 persen suara pemilih di Madura.

Jika dilihat dari penguasaannya dari empat kabupaten, pasangan Prabowo-Sandiaga menang di wilayah Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Sementara pasangan Jokowi-Amin hanya menang di Kabupaten Bangkalan.

Baca juga: ”Medan Pertempuran” Tiga Matahari Politik

Peluang Mahfud

Lalu bagaimana peta elektoral Pemilu 2024 di Madura, terutama dengan keberadaan Mahfud MD, satu-satunya putra Madura yang kini berlaga dalam pemilihan presiden sebagai calon wakil presiden mendampingi Ganjar Pranowo?

Di atas kertas, sebagai nahdliyin dan putra daerah, tentu Mahfud memiliki peluang lebih besar untuk mendulang dukungan. Namun, rekam jejak sejarah tak bisa begitu saja membuat langkah Mahfud mudah mendapatkan insentif elektoral.

Setidaknya ada tiga hal yang menjadi tantangan bagi mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini dalam mendulang dukungan di daerah kelahirannya tersebut.

Pertama, warga Madura secara umum mayoritas NU dan secara kultural sama dengan kebanyakan warga NU lainnya, yang menempatkan kiai sebagai panutan dan sekaligus panduan.

Namun, nahdliyin di Madura secara politik tentu tidak bisa linier dengan sosial kulturalnya. Sebab, sejarah merekam, secara politik, sebagian warga NU di Madura cenderung lebih dekat dengan Sarekat Islam (SI), khususnya di wilayah Pamekasan dan Sampang.

Pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut tiga, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, tiba di tempat debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum di Jakarta Convention Center, Jumat (22/12/2023).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut tiga, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, tiba di tempat debat yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum di Jakarta Convention Center, Jumat (22/12/2023).

Hal ini diakui oleh Bustomi, peneliti Institute for Strategy and Political Studies (Intrapols). Putra asli Madura ini menjelaskan bahwa tidak semua warga Madura secara politik mengikuti kultur politik NU secara organisasi. ”Madura itu NU, iya, karena secara alamiah dan social culture itu NU. Tapi, kalau ditarik secara social political, itu menyebar,” ungkapnya.

Sejarah juga merekam bagaimana di Madura juga sudah masuk unsur Sarekat Islam beberapa tahun pasca-NU lahir pada 1926. Sejumlah pondok pesantren di Madura secara historis dan politis cenderung lebih dekat ke SI dibandingkan ke NU meskipun secara sosial kultural menyatu dan tidak terpisahkan dengan budaya masyarakat nahdliyin.

Kedua, rekam jejak elektoral, dengan wilayah Madura cenderung bukan menjadi basis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), menjadi tantangan tersendiri bagi Mahfud MD dalam upaya mendulang dukungan.

Dengan menjadi pendamping Ganjar sebagai cawapres yang diusung PDI-P, tentu tidak mudah mendekati pemilih di Madura dengan simbol-simbol partai ini.

Pengalaman Pemilu 2019, ketika pasangan Jokowi-Amin yang juga diusung PDI-P dengan koalisi partai politik lainnya, yang kemudian gagal memenangi Madura, juga menjadi catatan bagaimana tidak mudah bagi pasangan capres mendulang elektoral di Madura.

Apalagi rekam jejak PDI-P pada pemilu legislatif di Madura juga tidak begitu menonjol. Pengalaman pemilihan gubernur Jawa Timur di Madura juga membuktikan pasangan calon yang diusung PDI-P cenderung sulit memenangi wilayah Madura.

Ketiga, relasi Mahfud dengan basis akar rumput di Madura juga akan menjadi penentu sejauh mana kehadirannya sebagai putra daerah mampu memengaruhi sisi emosional pemilih di wilayah ini.

Pengalaman pada Desember 2020, ketika rumah Mahfud MD didemo sekelompok orang yang memprotes pernyataan Mahfud terkait Habib Rizieq Shihab, menjadi gambaran bagaimana memori tersebut bisa saja menjadi ganjalan bagi Mahfud untuk mendulang simpati pemilih di wilayah kelahirannya tersebut.

https://cdn-assetd.kompas.id/GB1w7ibrWMA9ttRhBzhgdgs-29g=/1024x557/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F02%2F20d47b0c-ba54-42ab-8e5f-ec5a8490e0c7_png.png

Namun, terlepas dari ketiga tantangan di atas, peluang Mahfud mendapatkan simpati elektoral tetap saja terbuka. Deklarasi dukungan Ikatan Keluarga Madura (Ikama) kepada pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD pada awal Januari ini bisa menjadi modal politik bagi Mahfud untuk banyak turun ke bawah, mendekati masyarakat akar rumput di Madura.

Seperti halnya sambutan ribuan warga dari Kabupaten Bangkalan, yang antusias menyambut kedatangan Mahfud untuk pulang kampung pada pertengahan November tahun lalu. Saat itu Mahfud disambut dengan konvoi dari Jembatan Suramadu hingga ke lapangan Desa Morkepek, Kecamatan Labang, Kabupaten Bangkalan.

Sambutan ini menjadi bukti tantangan bagi Mahfud untuk mendulang dukungan juga ditopang oleh penerimaan warga Madura yang bangga bahwa putra daerahnya maju dalam kontestasi pemilihan presiden. Tinggal bagaimana kebanggaan tersebut diwujudkan dalam pemberian dukungan suara di bilik suara nanti. (LITBANG KOMPAS)

Baca juga: Perkuat Basis Suara, Mahfud Gerilya di Tapal Kuda

Editor:
ANDREAS YOGA PRASETYO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000