Pekerjaan Rumah Memperluas Jangkauan BPJS Ketenagakerjaan
Diperlukan evaluasi dan sosialisasi lebih masif agar manfaat BPJS Ketenagakerjaan dapat dirasakan pekerja di seluruh Indonesia. Termasuk pekerja informal yang jumlahnya mendominasi di negeri ini.
Jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan terus meningkat dari waktu ke waktu. Hanya, jaminan perlindungan ini mayoritas masih tertuju pada pekerja formal, sedangkan untuk pekerja informal masih sangat minim. Diperlukan evalusi dan sosialisasi lebih masif agar manfaat BPJS Ketenagakerjaan dapat dirasakan para pejuang nafkah di seluruh Tanah Air. Termasuk pekerja informal yang jumlahnya sangat mendominasi di negeri ini.
Jaminan sosial dan ekonomi menjadi salah satu bagian penting bagi para pekerja. Pasalnya, dalam menjalankan rutinitas kerja, segala sesuatu mungkin saja terjadi. Tak terkecuali hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kecelakaan kerja, pemutusan hubungan kerja, dan kematian. Setelah masa kerja usai pun idealnya para pekerja memiliki dana untuk tetap dapat mencukupi kebutuhan di hari tua. Oleh karena itu, pemerintah meluncurkan BPJS Ketenagakerjaan sebagai wujud kehadiran negara dalam memberikan perlindungan tersebut.
Hampir setengah abad keberadaannya, BPJS Ketenagakerjaan atau yang kerap disebut BP Jamsostek telah mampu menjaring puluhan juta penduduk terdaftar sebagai peserta. Merujuk basis data Kementerian Ketenagakerjaan, terdapat 40,2 juta peserta aktif jaminan sosial tenaga kerja per September 2023. Jumlah ini naik sekitar 12 persen jika dibandingkan dengan Desember tahun lalu. Jika ditarik tren waktu lebih panjang, peningkatan jumlah peserta aktif mencapai 226 persen dibandingkan tahun 2013 silam.
Capaian tersebut patut diapresiasi. Sebab, dengan semakin banyak peserta yang terdaftar keanggotaannya maka semakin banyak pula penduduk khususnya pekerja yang terjamin keselamatan dan ekonominya. Cukup besarnya peran BPJS Ketenagakerjaan dalam memberikan perlindungan pada anggotanya tergambar dari besaran klaim manfaat yang dilaporkan tiap tahun.
Baca juga : Hingga Juli 2023, Jumlah Peserta BPJS Ketenagakerjaan Baru 37,4 Juta Orang
Pencairan manfaat tahun lalu, misalnya, mencapai Rp 49,04 triliun, meningkat 14,8 persen dibandingkan tahun 2021. Klaim terbesar tahun 2022 adalah program jaminan hari tua (JHT) senilai Rp 43,2 triliun yang berasal dari 3,39 juta permohonan pencairan. Sebagai informasi, ragam perlindungan yang ditanggung oleh BPJS Ketenagakerjaan adalah jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, JHT, jaminan pensiun, dan terbaru adalah jaminan kehilangan pekerjaan.
Dengan kehadiran BPJS Ketenagakerjaan, jutaan penerima manfaat terbantu setiap tahun. Para peserta terlindungi karena mendapat jaminan terkait keselamatan kerjanya sehingga turut terselamatkan pula kondisi sosial-ekonominya. Hal ini mendatangkan apresiasi positif dari sebagian besar masyarakat Indonesia. Fakta demikian tertangkap dari hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu, yang menyatakan lebih dari separuh responden puas terhadap manfaat BPJS Ketenagakerjaan itu.
Bukan penerima upah
Meskipun menunjukkan tren positif, keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan masih sangat minim jika dibandingkan dengan total pekerja Indonesia. Merujuk catatan BPS, jumlah penduduk bekerja di Indonesia sebanyak 139,85 juta jiwa per Agustus 2023. Dengan jumlah peserta aktif yang kini baru 40 juta jiwa, artinya baru sekitar seperempat pekerja yang terjamin keamanan sosial dan ekonominya.
Sementara itu, BP Jamsostek menargetkan jumlah peserta aktif sebanyak 70 juta jiwa pada 2026. Jika menggunakan asumsi peningkatan peserta aktif konstan seperti kenaikan September 2023 sebesar 12 persen, maka jumlah peserta aktif pada 2026 baru 56,8 juta jiwa. Target 70 juta peserta akan dapat diraih jika peningkatan jumlah peserta rata-rata 20 persen per tahun sepanjang tiga tahun ke depan.
Salah satu faktor penyebab relatif minimnya keanggotaan tersebut karena BPJS Ketenagakerjaan belum banyak diakses oleh pekerja informal. Dari 40 juta peserta aktif, hanya 7,3 juta jiwa yang merupakan pekerja informal. BPJS menyebutnya sebagai kelompok peserta bukan penerima upah (BPU). Padahal, proporsi tenaga kerja Indonesia didominasi oleh kelompok kerja tersebut, yakni 59,31 persen pada 2022 atau sekitar 80 juta orang. Dengan kata lain, jumlah pekerja informal yang mengakses jaring pengaman ekonomi melalui BPJS Ketenagakerjaan masih minim, kurang dari 10 persen.
Baca juga : Wapres Minta Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Lebih Inklusif
Hal ini senada dengan temuan jajak pendapat Kompas yang menunjukkan 22,9 persen responden mengaku tidak menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan karena bukan karyawan perusahaan yang berpendapatan tetap. Aprilian (33), warga Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, menceritakan, dirinya tidak menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan lantaran hanya bekerja sebagai pengemudi ojek daring. Padahal, demi mengumpulkan uang, ia harus berkendara di jalanan sepanjang hari yang tentu saja berisiko tinggi bagi keselamatannya.
Jika dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah peserta BPU tahun ini memang lebih banyak, meningkat 21 persen daripada tahun sebelumnya yang sebanyak 6 juta jiwa. Meskipun demikian, proporsi keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan hingga saat ini masih didominasi kelompok pekerja penerima upah (PU). Jumlahnya 24 juta jiwa atau hampir dua pertiga dari total peserta secara nasional. Sementara itu, peserta BPU hanya 18 persen. Sisanya adalah peserta dari sektor-sektor jasa konstruksi.
Fenomena tersebut membuat tingkat kerentanan pekerja informal di Indonesia sangat tinggi. Pandemi Covid-19 memberi contoh nyata betapa rawannya kelompok pekerja informal kehilangan pekerjaan. Saat dunia porak poranda akibat pandemi, angka pengangguran meningkat, yang berakibat hilangnya mata pencarian kelompok pekerja lepas tersebut. Pada masa awal pandemi, triwulan II-2020, setidaknya 630.900 pekerja informal kehilangan pekerjaan. Kondisi ini berujung pada meningkatnya angka kemiskinan karena tidak ada jaring pengaman ekonomi untuk berlindung. Untuk menekan dampak buruk akibat situasi itu, pemerintah dituntut menyediakan anggaran lebih besar guna memberikan perlindungan sementara pada masa sulit akibat wabah tersebut.
Sosialisasi
Tanpa menegasikan upaya pemerintah dalam meningkatkan jumlah peserta program jaminan sosial tenaga kerja, sosialisasi terkait BPJS Ketenagakerjaan dan manfaatnya perlu dilakukan lebih masif lagi, terutama untuk para pekerja informal. Pasalnya, informasi ini masih minim bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Indikasinya terlihat dari hasil jajak pendapat yang menemukan 78 persen responden tidak mengetahui bahwa jaminan pengaman sosial ekonomi tersebut dapat diakses oleh semua kelompok pekerja, termasuk pekerja lepas.
Oleh sebab itu, model Kampanye Kerja Keras Bebas Cemas Masuk Desa seperti yang dilakukan di DKI Jakarta pada Juli 2023 lalu dapat menjadi acuan praktik baik yang dapat diimplementasikan di provinsi lain. Pasalnya, hampir tiga perempat pekerja informal Indonesia tinggal di perdesaan, sedangkan jaminan perlindungan pekerja ini masih terfokus di perkotaan hingga sekarang. Terlihat keanggotaan BPJS Ketenagakerjaan masih didominasi penduduk perkotaan, seperti di DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Jadi, sosialisasi yang mengarah ke kawasan rural dapat dijadikan alternatif cara untuk mendorong peningkatan jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan di Indonesia.
Baca juga : Daya Tarik Jaminan Sosial
Informasi yang disosialisasikan terkait BPJS Ketenagakerjaan itu tidak sebatas manfaatnya, tetapi juga secara teknis menjelaskan tentang proses registrasi secara detail kepada masyarakat. Sebab, jajak pendapat Kompas menunjukkan masih ada sekitar 10 persen responden yang tidak mengetahui cara pendaftarannya. Sekitar 5 persen lainnya mengatakan masih gagal dalam proses pendaftaran.
Sosialisasi tersebut sangat penting guna mendorong peningkatan jumlah kepesertaan. Apalagi, BPJS Ketenagakerjaan telah menginisiasi proses pendaftaran secara daring sehingga lebih mudah diakses siapa pun tanpa harus mengunjungi kantor BPJS setempat. Sayangnya, sosialisasi masih minim sehingga kemudahan akses dengan teknologi itu menjadi tidak berfungsi optimal.
Selain minim informasi, hal lain yang menjadi kendala dalam upaya peningkatan jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan itu adalah ketentuan iuran. Sebanyak 12,1 persen responden mengaku enggan menjadi anggota BPJS Ketenagakerjaan lantaran tidak mampu membayar iuran bulanan. Kendati hanya berkisar Rp 10.000-Rp 30.000 per bulan, besaran iuran tersebut boleh jadi terbilang cukup memberatkan bagi yang berpenghasilan kurang dari Rp 3 juta. Apalagi bagi mereka yang harus menafkahi keluarga dengan penghasilan yang hanya berasal dari satu pekerja. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan kolaborasi dengan pemerintah agar menyediakan subsidi bagi peserta BPU, terutama yang rentan miskin.
Perbaikan
Berbagai upaya perbaikan perlu dilakukan agar BPJS Ketenagakerjaan mampu memikat calon peserta lebih banyak lagi. Salah satunya terkait lamanya proses pencairan manfaat dan administrasi seperti yang dikeluhkan oleh dua pertiga responden jajak pendapat. Ade (52), peserta BPJS Ketenagakerjaan yang juga seorang pegawai swasta di Kota Bandung, mengatakan, salah satu kendala yang ia hadapi dalam menggunakan BPJS Ketenagakerjaan adalah proses klaim manfaat yang masih sering memakan waktu lama.
Protes kekesalan lantaran lamanya prosedur pencairan juga masih kerap ditemukan di media sosial, salah satunya di Instagram BPJS Ketenagakerjaan. Sistem daring yang disediakan pun disebut-sebut belum mampu memenuhi langgam digitalisasi yang identik dengan sifat serba cepat. Mengutip cuitan salah satu akun yang membalas unggahan @bpjs.ketenagakerjaan, peserta masih harus menunggu dua minggu, bahkan satu bulan, untuk klaim JHT. Padahal, diinformasikan sebelumnya hanya perlu menunggu lima hari. Publik juga menyatakan masih kerap kesulitan menghubungi petugas administrasi.
Baca juga : Publik Apresiasi Pelayanan Kesehatan JKN-KIS
Persoalan-persoalan tersebut harus segera diatasi dan dibenahi karena dapat mempengaruhi kesediaan peserta untuk melanjutkan keanggotaannya ataupun menggaet peserta baru. Apalagi, program BPJS Ketenagakerjaan ini identik dengan kebutuhan yang mendesak, seperti kecelakaan kerja atau kematian, sehingga dituntut untuk berproses cepat tanpa berbelit-belit. Tuntutan perbaikan dalam sejumlah aspek perlu segera dipenuhi guna menghindari hilangnya kepercayaan publik pada lembaga pengelolanya, yakni BPJS.
Dengan membenahi sejumlah kekurangan tersebut, harapannya jumlah peserta BPJS Ketenagakerjaan akan terus meningkat dan dapat melindungi sebagian besar pekerja di Indonesia. Tidak hanya pekerja formal, tetapi pekerja informal pun dapat turut serta mendapatkan manfaat dari BPJS Ketenagakerjaan. Dengan demikian, inklusivitas dan fungsi melindungi serta memberi jaminan sosial ekonomi bagi semua insan pekerja dapat terpenuhi di seluruh pelosok negeri. (LITBANG KOMPAS)