Meningkatkan Keterpilihan Perempuan pada Pemilu 2024
Memberikan nomor urut premium kepada perempuan di daftar calon anggota legislatif bisa menjadi salah satu alternatif solusi.
Potensi keterpilihan perempuan yang menjadi calon anggota legislatif sejauh ini belum sesuai yang diharapkan walaupun regulasi sudah mengamanatkan kebijakan minimal 30 persen bagi kuota perempuan dalam daftar caleg di surat suara pemilu.
Jika dihitung secara akumulasi nasional, kuota perempuan dalam daftar caleg sebenarnya sudah mencakup minimal 30 persen. Pada Pemilu 2009, Komisi Pemilihan Umum mengumumkan 34,6 persen daftar calon tetap (DCT) anggota DPR adalah perempuan, kemudian meningkat menjadi 37 persen pada Pemilu 2014, dan pada Pemilu 2019 mencapai 40 persen.
Tren keterpilihannya pun positif, tetapi belum mencapai kuota yang diharapkan. Setelah reformasi, keterwakilan perempuan di parlemen terus meningkat, dari hanya 9 persen pada Pemilu 1999 kini proporsinya menjadi 20,5 persen pada kontestasi wakil rakyat hasil Pemilu 2019.
Pada 3 November 2023, KPU telah mengumumkan penetapan DCT untuk calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota se-Indonesia. DCT untuk anggota DPR sebanyak 9.917, meliputi 18 partai politik peserta Pemilu 2024 yang tersebar di 84 daerah pemilihan. Sebanyak 37,13 persen (3.676) adalah caleg dari kalangan perempuan.
Secara kumulatif, semua parpol peserta Pemilu 2024 sudah memenuhi syarat menyertakan 30 persen keterwakilan perempuan, bahkan ada yang melebihi 40 persen. Tertinggi adalah Partai Garda Republik Indonesia (Garuda) sebesar 41,4 persen, diikuti Partai Bulan Bintang (PBB) 41,06 persen, dan berikutnya Partai Ummat sebesar 40,04 persen.
Sejumlah partai juga tercatat memiliki jumlah caleg perempuan melebihi caleg laki-laki hingga proporsinya mencapai 75 persen lebih. Partai itu antara lain Partai Garuda di dapil Sumatera Selatan II, tujuh dari sembilan calegnya adalah perempuan, kemudian tiga perempat caleg Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) di dapil Bengkulu, 80 persen caleg perempuan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di dapil Lampung II, lalu 83 persen caleg perempuan Partai Persatuan Indonesia (Perindo) di dapil Jawa Timur X, bahkan di dapil Maluku 3 caleg Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora) semuanya diwakili perempuan.
Namun, penelusuran Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) terhadap DCT yang ditetapkan KPU tersebut menemukan, daftar calon anggota DPR dari 17 parpol tidak memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap dapil yang diikuti.
Padahal, sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu disebutkan, daftar bakal calon memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan (Kompas, 10/11/2023).
Kondisi ini tentu berdampak pada hak pencalonan ribuan perempuan untuk ikut pemilu tersingkirkan karena kuota bagi mereka diisi caleg laki-laki. Walakin, akankah pesta demokrasi mendatang akan menjadi momentum bagi perempuan dapat semakin menunjukkan keberdayaannya untuk berperan aktif dalam kehidupan berpolitik?
Baca juga: Tak Semua Partai Penuhi Imbauan KPU soal Jumlah Minimal 30 Persen Caleg Perempuan
Peluang nomor urut
Keterwakilan perempuan dalam parlemen sangat penting. Selain memenuhi hak politik juga agar dapat lebih optimal memperjuangkan isu terkait kesetaraan jender dengan berperan aktif dalam pengambilan keputusan politik yang lebih akomodatif dan substansial untuk merespons masalah utama yang dihadapi oleh perempuan, juga kelompok rentan seperti anak dan kelompok disabilitas.
Untuk itu, dukungan demi meloloskan wakil perempuan perlu diperjuangkan agar caleg perempuan tidak hanya sebagai ”pelengkap” untuk memenuhi syarat di atas kertas. Menempatkan caleg perempuan pada nomor urut istimewa atau premium seperti nomor 1 atau 2 menjadi salah satu peluang agar wakil perempuan terpilih.
Tak dapat dimungkiri, meski nomor urut tidak menjadi parameter untuk menentukan pengisi kursi tetapi dalam sistem pemilu proporsional terbuka faktor nomor urut tetap besar peluangnya untuk terpilih dan secara teknis nomor satu adalah posisi yang menguntungkan.
Analisis Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia terhadap keterpilihan caleg perempuan berdasarkan nomor urut pada Pemilu 2019 menunjukkan, pemilih masih punya kecenderungan memilih caleg di urutan atas, yaitu 1 dan 2. Puskapol UI mencatat, 48 persen caleg terpilih perempuan berada di posisi nomor 1 dan 25 persen berada di nomor urut 2.
Lantas, bagaimana komposisi urutan caleg perempuan pada Pemilu 2024? Berdasarkan data DCT yang diolah Litbang Kompas, dari 3.676 caleg perempuan yang terdaftar hanya 7,13 persen di nomor urut 1 dan 11,64 persen di nomor urut 2.
Dari sembilan partai politik yang saat ini di Senayan, Partai Gerindra dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) tercatat paling banyak menempatkan caleg perempuan di nomor istimewa 1, masing-masing 19 caleg.
Sementara di nomor urut 2 paling banyak ditempati caleg perempuan dari Partai Nasional Demokrat/Nasdem (30), diikuti Gerindra (26), dan Partai Golkar (20). Semua parpol paling banyak menempatkan caleg perempuannya pada nomor urut 3 (26,28 persen).
Menempatkan caleg perempuan pada nomor urut istimewa tentu mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya adalah basis dukungan massa yang dimiliki selain posisi caleg dalam struktur kepengurusan partai supaya imbasnya dapat menaikkan suara partai untuk mendapatkan kursi.
Baca juga: Masyarakat Sipil Anggap KPU Menunda-nunda Revisi Aturan soal Perhitungan Keterwakilan Perempuan
Hambatan dan tantangan
Masuk dalam belantara dunia politik bagi perempuan tidaklah mudah. Perempuan apalagi sebagai ibu rumah tangga mempunyai peran ganda jika akan berkarier di dunia politik sehingga tidak leluasa dan fokus dalam urusan politik karena harus berbagi perhatian dengan urusan domestik.
Selain hambatan waktu dan tenaga, caleg perempuan juga menghadapi hambatan biaya untuk berkompetisi dalam merebut suara pemilih. Sistem pemilu proporsional terbuka menyebabkan setiap caleg harus bersaing dengan caleg lain yang separtai ataupun dengan caleg dari partai lain sehingga biaya politik menjadi tinggi.
Tak dapat dimungkiri modal finansial yang cukup sangat dibutuhkan untuk berkontestasi. Apalagi bagi caleg perempuan yang tidak memiliki posisi strategis dalam kepengurusan partai atau tidak populer seperti caleg dari kalangan artis tentu akan menghadapi tantangan yang lebih berat dalam menguatkan keterpilihan mereka.
Belum lagi hambatan kondisi politik dan sosial yang cenderung diwarnai oleh dominasi gaya politik laki-laki sehingga kerap kali partai politik kesulitan mendapatkan kader untuk mengisi keterwakilan perempuan.
Namun, peningkatan keterwakilan perempuan dalam parlemen harus terus diperjuangkan. Dalam tataran kelompok negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN), keterwakilan perempuan parlemen di Indonesia masih tergolong rendah, berada di urutan ke-7 menurut jender data portal Bank Dunia tahun 2020.
Rendahnya keterlibatan perempuan di parlemen akan berpengaruh terhadap keberdayaan perempuan untuk berperan aktif dalam kehidupan ekonomi dan politik mengingat keterlibatan perempuan dalam parlemen merupakan salah satu dimensi pembentuk Indeks Pemberdayaan Gender (IDG). Dari tiga komponen pembentuk IDG, posisi terendah adalah persentase keterlibatan perempuan di parlemen.
Oleh karena itu, pendidikan politik dengan melibatkan perempuan untuk berperan aktif di kepengurusan partai atau sebagai calon anggota legislatif dan pendidikan politik secara umum untuk menambah pengetahuan masyarakat sangat penting untuk ditingkatkan. Apalagi jumlah pemilih perempuan yang lebih banyak bisa menjadi modal untuk mendukung keterpilihan wakil perempuan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Kuota 30 Persen Perempuan Jangan Sebatas Pemenuhan Syarat