Kampanyekan Kelebihan Capres Pilihan, Bukan Serang Capres Lawan
Minat pemilih untuk mengampanyekan kelebihan calon pilihannya ternyata lebih tinggi daripada menyerang capres lawan.
Oleh
YOHAN WAHYU
·5 menit baca
Suhu politik yang makin menghangat seiring makin dekatnya pelaksanaan pemilihan umum ternyata tidak serta-merta diikuti dengan minat pemilih maupun simpatisan untuk mengampanyekan sisi negatif calon presiden yang bukan pilihannya. Mereka lebih fokus pada kelebihan dari calon presiden pilihannya bisa diketahui banyak orang.
Secara umum, masyarakat di Indonesia cenderung lebih nyaman sebagai pemilih pasif. Dalam artian, menjadi pemilih tanpa harus secara aktif mengampanyekan calon presiden yang dipilih. Sebanyak 78 persen responden dalam jajak pendapat Litbang Kompas yang digelar pertengahan pada Oktober lalu mengaku hanya sebagai pemilih yang nanti di bilik suara tinggal menggunakan hak pilihnya.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Banyaknya responden cenderung menjadi sekadar pemilih tentu bukan fenomena baru. Masyarakat pemilih di Indonesia memang sebagian besar lebih aman menjadi bagian dari silent majority. Kelompok mayoritas yang cenderung diam atau pasif dalam pergerakan isu di publik, tetapi pada akhirnya menggunakan keputusan politiknya di bilik suara saat pemungutan suara di pemilu nanti.
Istilah silent majority adalah gambaran kelompok besar di suatu negara atau sekumpulan orang-orang yang memilih tidak mengekspresikan opininya di depan publik dan cenderung enggan bersuara ketika melihat isu yang sedang berkembang atau viral di masyarakat maupun melalui media sosial.
Dalam sejumlah artikel disebutkan, istilah ini pertama kali muncul dalam pidato Presiden Amerika Serikat Richard Nixon tahun 1969 saat meminta dukungan warganya yang tidak ikut demonstrasi menentang kebijakan perang Vietnam. Sebagian besar warga Amerika kala itu menganggap kebijakan perang terlalu berisiko kalau dilakukan.
Nah, kembali pada hasil jajak pendapat Litbang Kompas, sikap yang kurang lebih sama muncul di masyarakat pemilih di negeri ini yang cenderung memilih pasif dengan dinamika isu, termasuk terkait elektoral calon presiden menjelang pemilihan umum 2024.
Meskipun demikian, jika dilihat dari kelompok responden yang berada di sisi sebaliknya, yakni mereka yang masuk kategori vocal minority, cenderung lebih aktif dalam berkampanye mendukung calon presiden yang diusungnya.
Jajak pendapat Litbang Kompas merekam, sebanyak 13,9 persen responden mengaku sebagai pemilih sekaligus relawan nonparpol yang bersedia untuk membantu kampanye dari pasangan calon presiden-calon wakil presiden yang didukungnya. Sementara sebagian yang lain, yakni kurang dari 3 persen, mengaku sebagai pemilih yang juga kader atau anggota dari partai politik.
Lebih banyaknya kelompok silent majority dibandingkan vocal minority ini membuat aktivitas kampanye cenderung lebih banyak kurang diminati responden untuk terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan kampanye di pemilihan presiden. Secara umum, hasil jajak pendapat merekam, rata-rata lebih banyak responden yang cenderung tidak berminat melakukan kegiatan atau agenda kampanye politik.
Setidaknya hasil jajak pendapat menangkap, dari lima aktivitas yang ditanyakan kepada responden, mulai dari menyebarkan konten positif calon presiden pilihan di media sosial, menyebarkan konten negatif calon presiden yang tidak dipilih di media sosial, ikut menghadiri acara kampanye calon presiden pilihan di tempat terbuka, ikut membujuk orang lain agar memilih calon presiden pilihannya, hingga ikut menyumbang uang/barang untuk pemenangan calon presiden pilihannya, cenderung lebih banyak disikapi secara pasif.
Dari kelima aktivitas tersebut, menghadiri acara kampanye capres pilihan di tempat terbuka cenderung lebih banyak diminati dibandingkan empat aktivitas lainnya. Jenis aktivitas ini memang relatif ”tradisional” dan lebih akrab di mata pemilih, terutama mereka yang sudah berpengalaman beberapa kali mengikuti pemilu.
Menariknya, selain kampanye di tempat terbuka, menyebarkan konten positif capres pilihan di media sosial juga menjadi pilihan terbanyak kedua. Jika kampanye di tempat terbuka merupakan fenomena lama karena sudah dilakukan sejak pemilu di era Orde Baru, aktivitas berbagi informasi positif terkait capres pilihan di media sosial menjadi fenomena baru. Hal ini seiring dengan pesatnya arus informasi digital karena peran media sosial sangat masif dan melekat dengan karakter masyarakat saat ini.
Apalagi, hal ini diperkuat dengan mereka para simpatisan yang cenderung aktif bermedia sosial. Mengutip hasil survei tatap muka Litbang Kompas periode Agustus 2023 lalu, separuh lebih dari masing-masing responden simpatisan dari ketiga bakal calon presiden yang sudah mendaftar ke KPU, yakni Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan, terekam aktif menggunakan media sosial dalam mengakses pemberitaan terkait pencalonan presiden. Bahkan, dari sisi durasi, sebagian dari mereka cukup aktif menggunakan media sosial (Kompas, 28/8/2023).
Jika dibandingkan antara pemilih pasif dengan mereka yang lebih memilih menjadi simpatisan atau relawan dari calon presiden, para relawan cenderung lebih aktif untuk mengikuti kegiatan kampanye. Hal ini terutama terkait ketertarikan untuk menyebarkan konten positif dari calon presiden yang didukungnya.
Kelompok responden yang merupakan simpatisan atau mengaku relawan, termasuk juga mereka yang mengaku anggota partai politik, cenderung lebih banyak yang bersedia melakukan aktivitas menyebar konten positif dibandingkan kelompok responden yang sekadar pemilih pasif.
Dari kelompok responden simpatisan dan relawan, sebanyak 48,6 persen dari mereka bersedia berkampanye dengan menyebarkan konten positif dari capres pilihannya. Angka yang relatif sama juga terlihat di kelompok responden yang juga anggota atau kader partai politik.
Sementara di kelompok pemilih pasif, hanya 30,3 persen dari kelompok ini yang bersedia secara aktif menyebar konten positif dari capres yang didukung.
Hal sebaliknya justru terekam terkait penyebaran konten negatif dari capres yang tidak dipilihnya atau capres lawan. Menariknya, kesediaan menyebar konten negatif ini lebih banyak ditemui dari kelompok responden kader partai dibandingkan kelompok responden pemilih pasif ataupun kelompok responden relawan atau simpatisan.
Separuh dari kelompok responden kader partai politik mengaku bersedia menyebar konten negatif dari capres yang tidak dipilihnya. Sedangkan dari kelompok responden pemilih pasif , mayoritas dari mereka (88,9 persen) cenderung tidak berminat melakukannya.
Hal yang sama juga ditemui dari kelompok responden relawan. Mayoritas dari relawan (93 persen) tidak berminat melakukan kampanye negatif dari capres yang tidak mereka pilih.
Data ini menunjukkan kecenderungan bahwa tidak semua simpatisan dari capres setuju dengan kampanye negatif atau upaya-upaya yang dilakukan untuk mendegradasi capres lawan.
Membangun kampanye positif, yakni dengan menyebarkan keunggulan, prestasi, atau rekam jejak dari capres pilihannya cenderung lebih banyak dipilih sebagai cara untuk membantu kampanye dibandingkan harus menyerang kubu lawan. (LITBANG KOMPAS)