Meningkatnya konflik agraria seperti di Pulau Rempang tidak lepas dari mengalirnya arus investasi asing ke Indonesia. Reformasi agraria mendesak dilakukan untuk melindungi masyarakat terdampak proyek karena investasi.
Oleh
RANGGA EKA SAKTI
·3 menit baca
Membaranya konflik di Rempang merupakan puncak dari gunung es konflik agraria yang semakin kronis di Indonesia. Sejak lebih dari satu dekade terakhir, terjadi peningkatan kasus konflik agraria hingga di titik yang mengkhawatirkan. Kondisi ini menunjukkan urgensi terhadap revisi Undang-Undang Pokok Agraria yang mulai tampak usang.
Hingga minggu ketiga September 2023, kasus di Pulau Rempang, Kepulauan Riau, masih memanas. Berdasarkan telaah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), terdapat indikasi pelanggaran HAM yang dilakukan aparat terhadap warga lokal yang menolak direlokasi. Meski kini sudah agak mereda, konflik di Pulau Rempang masih belum menemukan titik temu.
Secara singkat, gesekan terjadi akibat warga menolak relokasi untuk proyek pembangunan Rempang Eco-City. Proyek yang masuk ke dalam Program Strategis Nasional ini akan menggusur 16 kampung tua yang berada di lingkungan proyek. Padahal, warga setempat telah tinggal secara turun-temurun di lokasi tersebut.
Sejak lebih dari satu dekade terakhir, terjadi peningkatan kasus konflik agraria hingga di titik yang mengkhawatirkan.
Perwakilan warga Rempang sempat melakukan aksi demonstrasi di Kota Batam. Alih-alih didengarkan, aksi demonstrasi warga ini justru disambut tindakan represif oleh aparat keamanan. Alhasil, bentrokan antara warga dan aparat pun tak terhindarkan.
Apa yang terjadi di Rempang ini bukanlah bersifat kasuistik. Catatan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan peningkatan konflik agraria di Indonesia. Pada 2022 tercatat 212 kasus konflik agraria. Angka tersebut meningkat dari tahun sebelumnya, sebanyak 207 kasus.
Proyek infrastruktur menjadi pemicu yang cukup banyak menyebabkan konflik agraria. Sepanjang 2022 terjadi 32 konflik agraria yang disebabkan proyek pembangunan infrastruktur. Artinya, 15 persen dari seluruh kasus konflik agraria bersumber dari kegiatan di sektor ini.
Jumlah ini lebih besar dari penyebab-penyebab sektor lain. Sektor pertambangan, misalnya, menyumbang 21 kasus atau tak sampai 10 persen dari total kejadian konflik agraria dalam setahun.
Sektor perumahan pun menyumbang kasus lebih sedikit, di mana terjadi 26 kasus konflik agraria selama setahun akibat aktivitas di sektor ini.
Dampak konflik agraria yang bersumber dari proyek infrastruktur juga tidak main-main. Hampir 29.000 keluarga harus merasakan derita akibat konflik yang terjadi. Hal ini terkait dengan besarnya luas lahan yang disengketakan, yakni lebih dari 102.000 hektar.
Namun, di luar infrastruktur, perkebunan masih menjadi sektor paling banyak menyumbang kasus konflik agraria. Selama 2022 terjadi 99 kasus konflik agraria yang bersumber dari aktivitas perkebunan. Hal itu berarti lebih dari 46 persen dari total konflik agraria yang terjadi berasal dari sektor ini.
Kenaikan jumlah kejadian konflik agraria ini tidak hanya terjadi selama setahun terakhir. Bisa dikatakan terdapat tren peningkatan kasus konflik agraria selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dibandingkan dengan presiden sebelumnya.
Pada periode pemerintahan Presiden Joko Widodo yang pertama, jumlah kasus konflik agraria meningkat. Pada 2014, KPA mencatat terdapat 472 kasus konflik agraria dalam setahun. Jumlah ini naik sebesar 27 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang 369 kasus.
Sempat turun tahun 2015 (252 kasus), jumlah insiden konflik agraria justru mendapat momentum peningkatan semenjak 2016. Saat itu terjadi 450 kasus konflik agraria selama setahun.
Bukannya mereda, konflik agraria justru makin menjamur pada 2017, bahkan mencapai rekor tertinggi dengan jumlah 675 kasus. Angka ini kembali menurun setahun berikutnya menjadi 410 kasus.
Pada periode kepemimpinan Jokowi yang kedua, jumlah kasus konflik agraria cenderung menurun. Tahun 2019, jumlah kasus konflik agraria tercatat 279 kasus. Hingga 2022 jumlah konflik agraria konsisten sejumlah 200-an kasus.
Meningkatnya kasus konflik agraria ini sejalan dengan makin derasnya arus investasi yang masuk ke Indonesia. Pada 2017, konflik agraria mengalami lonjakan ekstrem bersamaan dengan peningkatan investasi yang masuk.
Saat itu investasi asing langsung (foreign direct investment/FDI) meningkat dari sekitar 4,5 miliar dollar AS pada 2016 menjadi di atas 20,5 miliar dollar AS pada 2017. Artinya, lonjakan kasus konflik agraria berbarengan dengan FDI yang terdongkrak hampir lima kali lipat.
Kondisi ini memperlihatkan indikasi pemerintah relatif mengesampingkan perihal kemanusiaan untuk mendorong kepentingan ekonomi. Padahal, tanpa adanya perspektif kemanusiaan dan juga HAM, pembangunan proyek yang berkaitan dengan FDI ini rawan memantik konflik agraria.
Peningkatan tren konflik agraria perlu dijadikan alarm keras untuk mengingatkan urgensi pembaharuan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
Pasalnya, peraturan ini sudah berusia lebih dari 60 tahun. Padahal UU tersebut mengatur sumber daya paling vital dan sangat terbatas, yakni tanah, yang kemudian berdampak pada hajat hidup jutaan masyarakat.
Tanpa payung hukum yang jelas, besar kemungkinan kasus Rempang kembali terjadi di wilayah-wilayah lain di Indonesia. Masyarakat di kawasan-kawasan proyek strategis yang akan dibangun rentan mengalami persekusi dan dilanggar hak hidupnya.
Ujungnya, selain masyarakat, para investor pun akan dirugikan karena lemahnya kepastian hukum di Indonesia soal agraria. (LITBANG KOMPAS)