Polusi hingga Kemacetan Jadi Tantangan ”Smart City” Jakarta
Tantangan terbesar Jakarta mewujudkan kota cerdas masih berkutat pada tiga persoalan utama, yaitu polusi udara, korupsi, dan kemacetan.
Misi Jakarta menata diri demi mewujudkan kota cerdas sudah digulirkan sejak 2014. Hingga sekarang, tantangan terbesarnya masih berkutat pada tiga persoalan utama, yaitu polusi udara, korupsi, dan kemacetan. Perlu inovasi baru untuk mengatasi persoalan laten Jakarta.
Menurut Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), kota cerdas atau smart city merupakan kota yang memberdayakan teknologi dan inovasi demi mencapai perkembangan kehidupan di wilayah urban. Target yang hendak dicapai ialah meningkatkan kualitas kehidupan, kemakmuran, dan cara hidup berkelanjutan, termasuk menciptakan warga kota sebagai komunitas yang berdaya dan berperan aktif.
Konsep kota cerdas sudah dirintis di Amerika Serikat pada era 1960-an hingga 1970-an. Saat itu, Badan Analisis Komunitas AS mulai memanfaatkan beragam data untuk memitigasi bencana, menekan angka kemiskinan, dan memperoleh laporan kendala layanan publik. Lembaga tersebut memanfaatkan basis data dan foto udara wilayah perkotaan. Perencanaan kebijakan, pengambilan keputusan, dan penyelenggaraan pelayanan publik berdasarkan data akurat dan aktual menjadi ciri khas kota cerdas generasi pertama ini.
Kemudian kota cerdas generasi kedua ditandai hadirnya teknologi digital yang cepat dan berkapasitas tinggi untuk membantu menemukan solusi persoalan di perkotaan. Pada generasi kedua, penguasaan teknologi masih dinaungi oleh pengambil kebijakan dan penyedia teknologi.
Baca Juga: ”Smart City” Atasi Dampak Lingkungan Pengembangan Kota Jakarta
Selanjutnya, pada generasi ketiga, aspek keterlibatan dan kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan segenap warga kota menjadi roh dari kota cerdas terkini dan masa depan. Masyarakat menggunakan teknologi tidak hanya untuk memperoleh layanan, tetapi juga ikut menyumbang gagasan, bahkan turut serta dalam mewujudkan solusi yang dibutuhkan dalam mengatasi sejumlah persoalan kota.
Jakarta kota cerdas
Saat ini, kota-kota besar di dunia berlomba-lomba untuk mewujudkan konsep kota cerdas di wilayah masing-masing, tanpa terkecuali di DKI Jakarta. Salah satu upaya adalah membentuk Jakarta Smart City (JSC) yang merupakan badan layanan umum daerah (BLUD) yang berada di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Badan ini dikoordinasikan oleh Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik (Diskominfotik) Provinsi DKI Jakarta. Lembaga tersebut dibentuk pada 2014 dengan mengemban misi menyelenggarakan pelayanan publik berbasis teknologi.
Adapun tujuh indikator yang dicanangkan dalam operasionalisasi JSC itu ialah bidang lingkungan, ekonomi, kemasyarakatan, mobilitas, pemerintahan, kehidupan, dan jenama (brand) dari Jakarta sebagai suatu entitas dengan karakter tertentu. Upaya Jakarta dalam mewujudkan kota cerdas ini salah satunya dinilai oleh International Institute for Management Development (IMD) yang berbasis di Swiss dan Singapura. Jakarta menjadi salah satu dari 141 kota yang diriset oleh IMD dalam publikasinya yang bertajuk Smart City Index 2023.
Hasil riset dari IMD mengindikasikan bahwa Jakarta cenderung mengalami kemunduran sebagai kota cerdas pada periode 2019-2023. Pasalnya, posisi Jakarta pada 2019 berada di peringkat ke-80, tetapi tahun ini turun ke posisi 102. Namun, Jakarta tidak sendirian, di antara kota-kota besar di Asia Tenggara, penurunan peringkat juga dialami Hanoi, Kuala Lumpur, dan Bangkok.
Baca Juga: Delegasi Kota-kota ASEAN Berbagi Praktik Baik untuk Kota Berkelanjutan
Tahun 2023 merupakan tahun keempat IMD memublikasikan skor kota cerdas sejak 2019. Dalam menentukan peringkat dan skor kota cerdas, IMD mendasarkan penilaiannya pada 39 aspek yang dikelompokkan dalam dua ranah, yakni ranah teknologi dan ranah fisik atau infrastruktur.
Dalam setiap ranah terdapat lima kategori, yakni kesehatan dan keamanan, mobilitas, aktivitas, kesempatan kerja dan bersekolah, serta sektor pemerintahan.
Polusi, korupsi, dan macet
Melalui Smart City Index 2023 dari IMD diperoleh bahwa tiga persoalan pelik yang dihadapi Jakarta berada pada kategori kesehatan dan keamanan, pemerintahan, serta mobilitas atau transportasi. Hal ini terlihat dari skor terendah dari 39 aspek yang diukur.
Aspek kelancaran lalu lintas hanya memperoleh skor 18,2 dari skor maksimal 100. Disusul oleh aspek korupsi (pemerintahan) di angka 18,8 dan skor terendah ketiga diduduki oleh polusi udara dengan poin 23,1.
Kemunculan skor tersebut berasal dari proses analisis data sekunder yang dijadikan indikator bagi setiap bidang terkait sebagai sudut pandang periset dalam menilai suatu kota cerdas.
Selain melalui pemantauan data sekunder, IMD juga menyurvei penduduk DKI Jakarta. Para responden disodori 15 indikator persoalan perkotaan dan diminta memilih lima persoalan yang dipandang paling mendesak untuk dicarikan solusinya.
Hasilnya muncul tiga persoalan utama yang menurut warga Jakarta dianggap paling pelik, yakni masalah polusi udara di peringkat tertinggi, disusul oleh kemacetan, dan korupsi di posisi ketiga. Sedikit berbeda urutannya dengan hasil analisis data sekunder yang telah dilakukan IMD sebelumnya.
Baca Juga: Kendaraan Listrik Dorong Implementasi Kota Cerdas
Terdapat 66,2 persen responden yang menganggap bahwa persoalan polusi menjadi hal yang paling penting dihadapi warga Jakarta pada 2023. Apabila dilihat dari tren datanya, polusi udara bertengger di peringkat pertama sejak tahun 2021, menggeser masalah kemacetan yang selalu menjadi masalah utama pada kurun 2019-2020.
Artinya, kondisi udara yang kotor di Jakarta tidak hanya dirasakan belakangan ini, tetapi sudah dirasakan sejak tiga tahun silam. Temuan data ini mengindikasikan bahwa pemerintah dinilai belum berhasil mengatasi persoalan polusi.
Persoalan berikutnya, ada 65,2 persen responden yang menyatakan kemacetan masih belum teratasi, bahkan dianggap semakin parah. Dibandingkan dengan hasil survei pada 2020, persepsi kemacetan dinilai kian meningkat karena pada 2020 yang menyatakan peliknya masalah macet di Jakarta sebanyak 61,7 persen responden. Artinya, ada kenaikan kelompok masyarakat yang tidak puas terhadap lalu lintas yang semakin macet.
Pada urutan ketiga ialah persoalan korupsi yang dianggap oleh separuh responden sebagai persoalan yang harus dituntaskan. Tidak dapat dimungkiri bahwa korupsi menjadi persoalan serius yang dapat ditemui di setiap lini masyarakat. Mulai dari kalangan warga biasa hingga jajaran penyelenggara pemerintahan. Kondisi korup yang masif dapat menghambat tercapainya solusi bagi segenap persoalan perkotaan.
Aspek keberhasilan
Dari segala aspek kekurangan yang masih perlu segera dibenahi, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan para pemangku kepentingan terkait secara bertahap juga berupaya merealisasikan sejumlah indikator untuk mewujudkan kota cerdas.
Misalnya, pada aspek aksesibilitas terhadap aktivitas pertunjukan, tempat rekreasi, dan layanan transportasi publik, masyarakat semakin mudah mengaksesnya secara daring. Masyarakat dapat membeli tiket untuk mengunjungi museum, pertunjukan, dan berbagai aktivitas lain melalui layanan penjualan tiket atau pendaftaran daring.
Baca Juga: Jakarta, Kota Bijak dan Cerdas
Untuk kategori mobilitas, yakni dalam aspek kemudahan membayar transportasi umum, skor yang diraih adalah 81,6 dari skala 0 hingga 100. Artinya, warga Jakarta yang memanfaatkan transportasi umum untuk aktivitas sehari-hari sudah sangat dimudahkan dalam hal akses dan pembayarannya yang berbasis teknologi.
Ada pula dari kategori pemerintahan yang memperoleh skor tinggi hingga mencapai angka 78,3. Aspek yang dinilai baik ini mencakup pelayanan dokumen secara daring sehingga dapat memangkas waktu tunggu dan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Ketiga indikator tersebut, yakni aksesibilitas pertunjukan, transportasi umum, dan layanan pemerintahan, berbasis pada teknologi dalam pelayanannya dan hasilnya bisa dianggap cukup prima.
Sementara itu, tiga kategori terbaik lain dari ranah fisik dan infrastruktur diperoleh pada bidang kesempatan kerja, aktivitas masyarakat, dan pemerintahan. Jakarta sebagai kota cerdas dinilai masih mampu menciptakan lapangan kerja baru bagi warga dengan skor 80,8.
Selain itu, skor tinggi juga disematkan pada keberagaman aktivitas yang bisa diakses dan dinikmati warga Jakarta, seperti museum, tempat pertunjukan, pameran, dan acara sejenisnya (skor 72,6).
Terakhir, kemudahan masyarakat mengakses kebijakan paling aktual melalui kanal digital memperoleh skor 70,4. Saat ini, melalui media sosial, setiap orang dapat memperoleh informasi terkini tentang imbauan pemerintah, serta arah kebijakan yang langsung berdampak pada masyarakat.
Pada akhirnya, meskipun secara tren skor Jakarta sebagai kota cerdas mengalami penurunan, ada sejumlah hal positif yang kini bisa dinikmati segenap warga DKI Jakarta. Harapannya, persoalan polusi, korupsi, dan kemacetan bisa segera dicarikan solusinya.
Bukan hanya solusi, kolaborasi yang optimal, baik dari unsur pemerintahan, pemangku kepentingan, maupun masyarakat, perlu juga menyentuh aspek antisipasi (mitigasi) bagi segenap permasalahan laten di Jakarta. (LITBANG KOMPAS)