Melindungi Saksi dan Korban demi Keadilan Hukum
Memastikan rasa aman dan perlindungan kepada saksi dan korban adalah isu yang sepanjang 15 tahun terakhir ini selalu dilekatkan pada keberadaan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Keberanian dan kejujuran saksi serta korban kerap menjadi kunci terkuaknya sebuah kasus hukum. Perlindungan terhadap keduanya mutlak diperlukan untuk mewujudkan keadilan hukum. Perjalanan 15 tahun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban turut hadir mewarnai upaya tersebut.
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) lahir seiring dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Undang-undang ini ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR pada 18 Juli 2006. Sesuai dengan amanatnya, LPSK menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam undang-undang itu.
Perlindungan terhadap saksi dan korban bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada mereka dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. Jamak diketahui, dalam pengungkapan keterangan di peradilan, saksi dan korban berpotensi mendapatkan ancaman sehingga pengungkapan kasus hukum tak mendapatkan keterangan dan pembuktian yang kuat.
Hadirnya UU No 13/2006 membuka jaminan perlindungan dan pemberian keamanan pada saksi dan korban. Banyak contoh sebelum adanya undang-undang ini, seorang saksi yang berniat mengungkapkan kasus korupsi, misalnya, justru mengalami kriminalisasi. Sebut saja nasib Endin Wahyudin pada tahun 2001 terkait sejumlah nama hakim agung. Sang pelapor malah terjerat hukum karena dituduh melakukan pencemaran nama baik.
Lahirnya LPSK sedikit banyak membuka jaminan atas keamanan dan keselamatan, baik saksi maupun korban. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyebutkan, sedikitnya ada 39 saksi, korban, atau pelapor yang diadukan dengan pencemaran nama baik atau mendapatkan berbagai ancaman pada 1996-2006 (Kompas, 21/7/2006).
Kini setelah 15 tahun LPSK berdiri, karena lembaga ini terbentuk setelah dua tahun UU No 13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban disahkan, negara berkomitmen menjamin keselamatan saksi dan korban.
Meski demikian, bukan berarti ancaman terhadap keduanya sepi. Potensi ancaman terhadap saksi dan korban tetap ada, bahkan cenderung meningkat.
Setidaknya potensi peningkatan ini bisa dilihat dari tren naiknya angka permohonan perlindungan ke LPSK. Merujuk Laporan Tahunan LPSK 2022, pada awal berdirinya (2008), lembaga ini menangani 10 permohonan, meningkat menjadi 74 pada 2009, dan terus naik menjadi 153 permohonan pada 2010, dan tahun 2022 menjadi 7.777 permohonan.
Dibandingkan permohonan 2021 yang berjumlah 2.341, pada 2022 permohonan meningkat lebih dari dua kali lipat. Peningkatan permohonan ini, antara lain, karena munculnya sejumlah kasus robot trading atau investasi ilegal yang menonjol pada tahun itu, hingga terkait kasus itu saja memunculkan 3.725 permohonan perlindungan.
Jika melihat data dua tahun terakhir, yakni 2021-2022, permohonan paling banyak mengalami kenaikan di kasus pencucian uang, pelanggaran HAM berat, dan kekerasan seksual terhadap anak.
Baca juga : Malaikat Tanpa Sayap, Pelindung Saksi dan Korban
Dikenal
Adanya peningkatan jumlah permohonan perlindungan ke LPSK ini menunjukkan kehadiran lembaga ini semakin dikenal masyarakat. Tidak bisa dibantah, sejumlah kasus yang menjadi sorotan publik terkadang juga melibatkan LPSK dalam penanganannya.
Memori publik masih menyimpan soal peran LPSK dalam penanganan kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J yang melibatkan bekas Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo.
Saat itu perhatian publik tertuju pada isu pemberian sogokan kepada tim LPSK setelah lembaga ini menggelar asesmen psikologis kepada istri Ferdy Sambo, Putri Chandrawathi, yang mengajukan permohonan ke LPSK pada 14 Juli 2022.
Upaya ini diduga agar LPSK memberikan perlindungan kepada Putri. Namun, dalam perkembangannya LPSK hanya memberikan perlindungan kepada Richard Eliezer dalam statusnya sebagai justice collaborator (pelaku yang bekerja sama untuk mengungkap kasus terjadi) dalam perkara pembunuhan berencana Brigadir J.
Dalam keterangannya di sejumlah media, Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menyampaikan, peran LPSK semakin dikenal dalam memberikan perlindungan, baik kepada saksi, korban, maupun saksi pelaku, yang mau bekerja sama dalam penyelidikan keterangan perkara. Menurut Hasto, kasus Sambo jadi sosialisasi juga buat peran LPSK tentang mandat lembaga itu, termasuk perlindungan pada justice collaborator.
Soal pengenalan terhadap LPSK ini juga tertangkap pada survei Litbang Kompas yang digelar pada Mei 2023. Secara umum tingkat pengenalan publik pada lembaga ini memang belum begitu menguat. Sebanyak 61 persen responden mengaku belum mengetahui atau belum mendengar soal lembaga ini. Hanya 28 persen responden yang mengaku mengetahuinya.
LPSK memang hanya dikenal di kalangan mereka yang berpendidikan dan ekonomi menengah atas. Meski demikian, dari kelompok responden yang mengetahui lembaga ini, sebagian besar dari mereka relatif cukup memahami apa itu LPSK. Setidaknya dari sisi top of mind, lembaga ini dipahami dengan benar, yakni lembaga yang memberikan perlindungan pada saksi dan korban.
Pengaruh televisi dan media sosial sangat besar dalam memberi informasi terkait LPSK ke publik. Hal ini terbaca dari survei Litbang Kompas di mana separuh lebih responden mengaku mendapatkan informasi terkait LPSK dari kedua sumber tersebut. Sebanyak 49,6 persen lebih dipengaruhi informasi dari televisi, sedangkan sebanyak 25 persen lainnya mengaku mengikutinya dari media sosial.
Baca juga : Perlindungan Saksi dan Korban Terkendala SDM dan Anggaran
Keyakinan
Meskipun secara popularitas belum begitu kuat di memori publik, langkah-langkah LPSK selama ini dalam memberikan perlindungan kepada saksi dan korban relatif memberikan keyakinan pada masyarakat bahwa lembaga ini bisa diandalkan.
Setidaknya dalam beberapa hal yang menjadi tanggung jawab lembaga ini, sebagian besar responden meyakini sudah dijalankan dengan baik.
Sebut saja tanggung jawab LPSK dalam membantu pemulihan kesehatan saksi atau korban yang diyakini oleh 63,8 persen responden. Kemudian juga dalam hal memberi perlindungan fisik, perlindungan hukum, dan penempatan rumah aman bagi saksi atau korban, juga diyakini akan mampu diberikan oleh lembaga ini kepada mereka yang mendapatkan perlindungan. Keyakinan ini disampaikan oleh 62,8 persen responden.
Selanjutnya, terkait tanggung jawab LPSK dalam membantu mengurus ganti rugi finansial saksi atau korban juga diyakini separuh lebih responden. Sebanyak 50,7 persen responden meyakini LPSK mampu memenuhi hal tersebut.
Dalam laporan tahunan LPSK 2022 disebutkan, dari 3.009 saksi atau korban yang terlindungi, data ganti rugi yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku tindak pidana atau pihak ketiga total sudah mencapai Rp 1,88 triliun.
Tingkat keyakinan ini juga diikuti oleh minat masyarakat untuk menjadikan LPSK sebagai tujuan jika mereka sedang dihadapkan pada situasi, baik menjadi saksi korban dalam sebuah kasus hukum. Sebanyak 64,5 persen responden menyatakan minat tersebut. Responden juga berharap LPSK semakin intensif melakukan sosialisasi ke publik tentang lembaga ini.
Harapan ini sekaligus menjadi potret adanya modal sosial yang dimiliki lembaga ini, yakni kepercayaan publik untuk hadir memberikan perlindungan bagi mereka-mereka yang dihadapkan pada masalah hukum, terutama para saksi dan korban. Bagaimanapun, upaya melindungi saksi dan korban adalah bagian tak terpisahkan dari upaya melahirkan keadilan hukum. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Beban yang Ditanggung Investigator LPSK demi Keadilan