Kurang dari 195 hari sebelum pemilihan umum, Partai Golkar kembali menghadapi dinamika internal yang menghangat. Sejarah merekam, gejolak internal sudah menjadi ujian politik bagi partai berlambang pohon beringin ini.
Oleh
YOHAN WAHYU
·5 menit baca
Rekam jejak politik Partai Golkar mencatatkan partai ini mampu melalui gelombang dan guncangan politik. Namun, tren elektoral yang menurun menjadi tantangan yang tidak mudah bagi Partai Golkar menjelang Pemilu 2024. Meskipun Golkar dapat bertahan di 2-3 besar partai politik nasional, perolehan suara dan kursinya di DPR cenderung menurun.
Terakhir, pada Pemilu 2019, Partai Golkar meraih 12,3 persen suara yang kemudian dikonversi menjadi 85 kursi di DPR. Padahal, jika dibandingkan prestasi Golkar pada pemilu awal Reformasi, yakni 1999, Golkar masih bertengger di 22,4 persen suara dengan merebut 120 kursi DPR.
Saat itu, Golkar tengah menghadapi guncangan politik setelah era Orde Baru yang sebelumnya menjadi penopang utama kekuasaan Golkar sepanjang lebih dari tiga dekade.
Prestasi puncak Golkar pasca-Reformasi justru dibuktikan dengan raihan suara dan kursi di Pemilu 2004. Golkar kembali menjadi pemenang pemilu dengan meraih 21,6 persen suara dan 127 kursi.
Meskipun perolehan suaranya cenderung stagnan dari Pemilu 1999, jumlah kursinya meningkat. Namun, pasca-Pemilu 2004, perolehan suara dan kursi Golkar mengalami tren penurunan.
Dibandingkan hasil Pemilu 1999 dan 2019, ada penurunan sekitar 10 persen suara Partai Golkar. Sementara perolehan kursinya dibandingkan dengan periodisasi yang sama, Golkar kehilangan 35 kursi.
Bagaimana dengan Pemilu 2024? Hasil survei Kompas merekam tingkat keterpilihan Partai Golkar juga belum beranjak menuju angka dua digit. Dari sepuluh survei terakhir yang sudah digelar Litbang Kompas, rata-rata elektabilitas Golkar bertengger di angka 7,7 persen.
Namun, dengan dinamika elektoral yang cenderung mengalami tren penurunan, bertahannya Golkar di 2-3 besar partai politik nasional papan atas membuktikan partai ini tahan banting menghadapi gejolak politik, baik internal maupun eksternal partai.
Jika kita telusuri kembali, gejolak internal partai kerap terjadi dan harus diakui memberi potensi disinsentif terhadap keterpilihan partai di pemilu.
Gejolak politik yang dihadapi Partai Golkar pertama kali terjadi di era awal Reformasi. Saat itu partai beringin ini menghadapi sorotan, tuduhan, dan hujatan sebagai partai politik warisan Orde Baru. Golkar pun harus menerima nasib gagal mempertahankan dominasinya.
Meski demikian, gejolak ini relatif sukses dihadapi Golkar dengan kepemimpinan ketua umumnya saat itu, Akbar Tandjung. Dengan mengampanyekan paradigma baru Golkar, Akbar relatif sukses membawa perubahan partai ini.
Mengutip catatan politisi Golkar Rully Chairul Azwar, dalam bukunya, Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era (2009), ia menyebutkan, di era Akbar Tandjung Golkar mengalami masa sulit. Golkar menjadi musuh bersama dan banyak yang menginginkan Golkar bubar.
Dalam buku yang merupakan hasil disertasinya, Rully mengategorikan masa itu sebagai fase survival Golkar. Menurut dia, Golkar melakukan adaptasi di masa transisi.
Golkar mengubah diri menjadi partai yang berorientasi pada pasar dengan istilah ”Golkar Baru”. Golkar melakukan riset secara profesional untuk mengetahui aspirasi pasar, dan hasilnya dijadikan dasar merancang strategi. Kemudian lahirlah strategi paradigma baru Golkar tersebut.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY
Ketua Umum DPP Partai Golkar Akbar Tandjung saat kampanye Pemilu 1999 di Jakarta.
Namun, gejolak politik belum berhenti. Golkar dihadapkan pada Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid yang salah satu isinya membekukan partai ini pada 22 Juli 2001. Dekrit ini dinyatakan tak sah oleh Mahkamah Agung dan Golkar kembali mampu melewati fase tersebut.
Gejolak politik berikutnya adalah terjeratnya tokoh Golkar dalam kasus hukum. Saat itu Akbar Tandjung menjadi tersangka kasus penyelewengan dana non-budgeter Bulog. Namun, Golkar mampu melalui kasus ini, bahkan memenangi Pemilu 2004.
Akbar akhirnya divonis bebas oleh putusan kasasi MA setelah sebelumnya divonis 3 tahun penjara oleh pengadilan tingkat pertama dan kedua. Kesuksesan Akbar memimpin Golkar dan melalui gejolak politik seakan menjadi rujukan generasi kepemimpinan Golkar berikutnya.
Namun, pasca-kepemimpinan Akbar, gejolak politik yang dihadapi partai ini lebih banyak lahir dari internal partai. Salah satunya bersumber terjeratnya kasus hukum elite Golkar yang kemudian melahirkan dinamika suksesi kepengurusan partai.
Dualisme kepengurusan menjadi guncangan Golkar berikutnya. Hal ini terjadi setelah pelaksanaan Pemilu 2014 ketika Ketua Umum Aburizal Bakrie ingin membawa Golkar berada di luar pemerintahan.
Namun, dari kubu berbeda, yang dimotori Agung Laksono, berharap Golkar berada di dalam pemerintahan dengan mendukung Joko Widodo. Kedua kubu menggelar munas dan menghasilkan dualisme kepengurusan.
Setelah dualisme terjadi lebih kurang dua tahun, musyawarah nasional luar biasa menjadi solusi untuk menyelesaikan dualisme ini. Hasil munaslub yang digelar 2016 ini menetapkan Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar.
Namun, lebih kurang setahun kemudian, Novanto terjerat kasus korupsi proyek KTP elektronik. Akhirnya Golkar memutuskan menggelar rapat pleno pada 14 Desember 2017 dan menetapkan Menteri Perindustrian saat itu, Airlangga Hartarto, menjadi Ketua Umum Golkar. Keputusan ini dikukuhkan lagi di Munaslub Golkar 19-20 Desember 2017.
Kini, giliran Airlangga Hartarto menghadapi gejolak politik partai. Sejumlah politisi senior Partai Golkar mewacanakan menggelar munaslub jika target pembentukan poros koalisi yang mengusung Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto sebagai bakal calon presiden tak terwujud hingga akhir Agustus 2023. Tentu, munaslub membawa agenda pergantian ketua umum.
Selain poros koalisi partai di Pemilu 2024 yang belum terwujud, isu pergantian ketua umum tidak lepas dari pemberitaan terkait hubungan Airlangga Hartarto dalam kasus pemberian fasilitas ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) atau bahan baku minyak goreng. Di kasus ini, Airlangga sudah menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung pekan lalu.
Wacana bergulir hingga sejumlah tokoh Golkar disebut-sebut akan menggantikan jabatan Airlangga sebagai ketua umum, seperti Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Namun, wacana ini ditentang oleh elite Partai Golkar dan berharap semua pihak fokus untuk memenangkan pemilu.
Tentu, ujian bagi Airlangga belum berakhir dengan relatif meredanya gejolak ini. Isu terbentuknya poros koalisi Golkar akan menjadi indikator seberapa kuat wacana munaslub di Golkar ini. Jika poros koalisi mampu dibentuk Airlangga dengan dirinya menjadi calon presiden sebagai mandat munas, tentu upaya munaslub sebelum pemilu akan mereda.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani (kanan) menerima bunga dari Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto usai pertemuan di kediaman Airlangga di Jakarta, Kamis (27/7/2023).
Namun, jika poros koalisi gagal diwujudkan, potensi gejolak politik internal semakin menghangat bisa saja terjadi. Apalagi, tingkat keterpilihan Airlangga sebagai calon presiden relatif masih rendah.
Tidak heran jika langkah politik Airlangga beberapa hari ke depan sangat menentukan arah politik Golkar. Pertemuan Airlangga dengan sejumlah tokoh politik, termasuk Ketua DPR Puan Maharani yang sekaligus Ketua DPP PDI Perjuangan, pekan lalu, menjadi langkah politik Airlangga dalam mengelola gejolak politik internal partainya.
Pada akhirnya, dinamika konfigurasi koalisi partai politik jelang pemilihan umum nanti akan memberikan pengaruh pada dinamika dan gejolak politik Partai Golkar dalam beberapa bulan ke depan.
Rekam jejak ”akar beringin” di Partai Golkar tampaknya akan selalu diuji kekuatannya dengan gejolak politik yang lahir di setiap konstelasi politik jelang pemilu. (LITBANG KOMPAS)