Airlangga dan Poros Politik Golkar
Pada 20 Oktober 2022 ini Partai Golkar genap berusia 58 tahun. Di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto, Partai Golkar berpeluang menjadi poros politik yang diperhitungkan di Pemilu 2024.
Sebagai motor terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu, di atas kertas, Partai Golkar memiliki peluang untuk menjadi satu poros kekuatan di Pemilihan Presiden 2024. Rekam jejak Partai Golkar yang selalu berada dalam barisan pendukung pemerintahan menjadi potret kelihaian partai ini berselancar dalam dinamika politik elektoral pemilihan presiden. Tahun ini, di usianya yang menginjak 58 tahun, Golkar dihadapkan pada tantangan konfigurasi politik yang tidak mudah.
Sejarah di awal gerakan reformasi merekam bagaimana Partai Golkar bertahan dalam gempuran sorotan publik di tengah arus perubahan sebagai tuntutan zaman politik baru ketika itu. Saat itu Golkar dipandang sebagai bagian dari kekuasaan Orde Baru. Resistensi terhadap partai ini mengalami eskalasi setelah kekuasaan Soeharto runtuh dengan munculnya tuntutan pembubaran.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Di situasi inilah kepemimpinan Akbar Tandjung terbukti andal. Dengan membawa spirit paradigma baru Golkar, Akbar sukses membawa transformasi Golkar menjadi benar-benar sebagai partai politik.
Mengutip buku hasil disertasi politikus Golkar, Rully Chairul Azwar, Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era (2009), ia menyebutkan, di era Akbar Tandjung inilah Golkar mengalami masa sulit karena menjadi musuh bersama.
Sebagai motor terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu, di atas kertas, Partai Golkar memiliki peluang untuk menjadi satu poros kekuatan di Pemilihan Presiden 2024.
Dalam bukunya, Rully mengategorikan masa itu sebagai fase survival Golkar yang mau tidak mau memaksa partai ini beradaptasi di masa transisi. Sejak saat itulah Golkar mengubah dirinya menjadi partai yang berorientasi pada pasar (publik).
Langkah ini kemudian dijadikan dasar strategi partai hingga lahirlah paradigma baru Golkar yang diusung Akbar dan terbukti sukses menyelamatkan partai ini di era transisi menuju masa reformasi.
Memasuki masa reformasi, tantangan tak surut dihadapi Golkar. Di era kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, Golkar dihadapkan pada dekrit presiden, yang salah satu isinya membekukan Partai Golkar (22/7/2001).
Perlawanan dilakukan Golkar dengan meminta fatwa ke Mahkamah Agung terkait keluarnya dekrit tersebut. MA memutuskan dekrit presiden bertentangan dengan konstitusi. Golkar pun kembali selamat dari guncangan ini.
Guncangan berikutnya menyasar sosok ketua umumnya. Penetapan Akbar Tandjung sebagai tersangka kasus penyelewengan dana non-budgeter Bulog membuat Golkar kembali jadi sorotan publik. Namun, Partai Golkar mampu melalui kasus ini, bahkan memenangi Pemilu 2004. Akbar divonis bebas oleh putusan kasasi MA setelah sebelumnya divonis tiga tahun penjara oleh pengadilan tingkat pertama dan kedua.
Pasca-kepemimpinan Akbar, guncangan yang dialami Golkar lebih pada soliditas internal partai. Konflik kepengurusan partai menjadi pangkal guncangan. Hal ini terjadi terutama di era Aburizal Bakrie menjelang periode keduanya untuk menjabat ketua umum.
Dualisme Golkar antara kubu Aburizal Bakrie dan Agung Laksono menghiasi dinamika partai pasca-Pemilu 2014. Namun, bukan Golkar jika kemudian tidak mampu mengelola konflik ini. Golkar mampu mengakhiri kondisi ini dengan Munaslub Bali di mana Setya Novanto terpilih sebagai ketua umum.
Namun, lagi-lagi guncangan belum selesai di tubuh Golkar setelah Setya Novanto terjerat kasus korupsi proyek pengadaan KTP elektronik.
Akibat kasus ini, sosok Airlangga Hartarto kemudian dipercaya memimpin partai hingga ia ditetapkan secara definitif terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar periode 2019-2024 di Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar di Jakarta, 4 Desember 2019.
Selain terpilih sebagai ketua umum, Munas Golkar juga memutuskan Airlangga sebagai bakal calon presiden Partai Golkar yang harus diperjuangkan di Pemilu 2024.
Baca juga: Analisis Litbang ”Kompas”: Sosok dan Koalisi Jadi Tantangan Elektoral Golkar
Kontestasi pilpres
Keputusan Munas Golkar yang mengusung Airlangga Hartarto sebagai bakal calon presiden dari Partai Golkar makin diperkuat dengan hasil Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar yang digelar pada awal Maret 2021.
Sebanyak 34 DPD dan 10 organisasi sayap Golkar mendukung Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto sebagai calon presiden dalam Pemilihan Presiden 2024.
Rapimnas juga menyepakati Golkar akan berkonsentrasi mengaktifkan seluruh media penggalangan opini di pusat, daerah, hingga desa dan kelurahan. Tujuan utamanya ialah sosialisasi ke publik tentang sosok Airlangga (Kompas, 8/3/2021).
Praktis, sejak setahun lalu aktivitas sosialisasi terkait nama Airlangga sebagai calon presiden Partai Golkar semarak dilakukan di ruang publik. Foto dan nama Airlangga kerap ditemui dan terpampang dalam media iklan. ”Kerja untuk Indonesia. Airlangga Hartarto 2024”, demikian narasi yang tertulis dari iklan-iklan yang dipakai untuk media sosialiasasi tentang sosok Airlangga.
Sayangnya, sejumlah survei merekam, nama Airlangga belum masuk dalam memori publik terkait nama-nama yang populer untuk menjadi calon presiden. Tingkat keterpilihan Airlangga pun masih jauh dari nama-nama yang selama ini beredar di sejumlah survei, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan yang juga Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
Meskipun demikian, posisi Partai Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto dalam membangun Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) tidak bisa dipandang sebelah mata. Koalisi ini tercatat yang pertama mendeklarasikan diri pada 4 Juni 2022.
Jika mengacu modal kursi DPR, KIB sudah memenuhi syarat minimal kursi partai untuk mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden di Pemilu 2024. Total kursi yang dimiliki KIB mencapai 148 kursi, masing-masing terdiri dari Golkar (85 kursi), PAN (44 kursi), dan PPP (19 kursi).
Namun, sampai Oktober ini atau empat bulan lebih setelah dideklarasikan, KIB belum menentukan siapa pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto sendiri menyampaikan, bakal calon presiden dari KIB akan ditentukan dalam forum koalisi yang digelar pada November mendatang di kawasan timur Indonesia.
Baca juga: Berselancar di Panggung Pemerintahan
Rekam jejak
Jika merunut rekam jejak sejarah, dengan guncangan-guncangan politik yang dihadapi Golkar, sikap partai yang selalu berada dalam pemerintahan akan menjadi pertimbangan siapa calon presiden yang akan diusung. Sejarah merekam Golkar memang selalu mengutamakan kader partai meskipun pada akhirnya potensi kemenangan tetap menjadi pertimbangan.
Saat awal pemilihan presiden langsung di 2004, misalnya, Golkar membangun mekanisme konvensi untuk membuka calon-calon potensial. Salah satu kader Golkar, Wiranto, akhirnya memenangi konvensi dan diusung sebagai calon presiden Partai Golkar.
Namun, di lain pihak, kader Golkar lainnya, Jusuf Kalla, maju sebagai calon wakil presiden mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono. Setelah pasangan SBY-Kalla menang, Golkar yang kalah di pilpres akhirnya masuk dalam pemerintahan setelah Kalla terpilih sebagai Ketua Umum Golkar di Munas 2004.
Posisi Partai Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga Hartarto dalam membangun KIB tidak bisa dipandang sebelah mata.
Di Pilpres 2009, Jusuf Kalla menjadi calon presiden dari Golkar, tetapi lagi-lagi Golkar kalah. Di Munas 2009, Aburizal Bakrie terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Bakrie kemudian diwacanakan menjadi calon presiden di Pilpres 2014.
Namun, karena elektabilitasnya belum terdongkrak secara optimal, Golkar akhirnya mendukung pasangan Prabowo-Hatta Rajasa. Pasangan ini kemudian kalah atas pasangan Jokowi-Jusuf Kalla. Lagi-lagi, meskipun kalah di pemilihan presiden, Golkar kembali merapat ke pemerintahan dengan diwarnai dinamika internal yang melahirkan dualisme kepengurusan.
Setelah tampuk kekuasaan partai dipegang Airlangga Hartarto, ia belajar dari pengalaman kontestasi pemilihan presiden yang dialami Golkar. Di Pemilu 2019, Airlangga membawa Golkar sejak awal mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin karena ingin mengubah tradisi di mana Golkar selalu kalah di pemilihan presiden sebelumnya.
Langkah Airlangga tepat membawa Golkar dengan memenangi pemilihan presiden 2019 setelah pasangan Jokowi-Ma’ruf terpilih sebagai pasangan presiden dan wakil presiden 2019-2024.
Baca juga: Ahmad Doli Kurnia: 2024 Momentum Kembalinya Kejayaan Golkar
Poros politik
Kini ujian Airlangga Hartarto adalah bagaimana mengelola KIB. Sebagai partai yang menyumbang banyak kursi di koalisi ini, ”saham” Partai Golkar tentu lebih berpeluang mendapatkan tiket calon presiden ataupun calon wakil presiden dari KIB.
Jika mengacu poros politik yang sudah kuat diwacanakan, poros KIB ini akan menjadi salah satu pilihan dari tiga poros lainnya, yakni poros Gerindra-PKB, poros Nasdem, Demokrat, PKS, dan poros PDI Perjuangan.
Tiga poros lainnya relatif sudah ada gambaran siapa sosok yang akan diusung jadi calon presiden. Poros Nasdem, Demokrat, PKS, misalnya, sudah menyebutkan nama Anies Baswedan sebagai calon presiden. Setidaknya deklarasi Nasdem yang dilakukan pada 3 Oktober 2022 menjadi sinyal nama Anies akan diusung oleh poros ini.
Kemudian poros Gerindra-PKB yang kuat akan mengusung nama Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Lalu PDI-P yang di atas kertas memiliki dua nama yang selama ini disebut-sebut, yakni antara Ketua DPR Puan Maharani atau Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Nama Airlangga potensial menjadi calon presiden dari KIB jika mengingat suara Golkar paling tinggi dibandingkan PAN dan PPP. Namun, belum ada sosok kuat dari tiga partai dalam KIB yang memiliki elektabillitas tinggi.
KIB mungkin hanya menyodorkan sosok berdasarkan level otoritas partai dan nama itu lebih kuat ke Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto dengan pertimbangan kekuatan kursi Golkar yang lebih banyak dibandingkan PAN dan PPP. Tentu, pada akhirnya selain berbasis otoritas partai, KIB tetap membutuhkan sosok yang ditopang oleh elektabilitas.
Lalu siapa calon presiden yang pas diusung KIB yang bermodalkan elektabilitas tinggi? Sejumlah simulasi atau skenario bisa saja diambil oleh koalisi ini.
Selain berbasis otoritas partai, KIB tetap membutuhkan sosok yang ditopang oleh elektabilitas.
Pertama, jika PDI-P tidak mengusung Ganjar, nama Gubernur Jawa Tengah ini bisa menjadi alternatif calon presiden yang diusung KIB. Tentu dengan catatan Ganjar mengambil konsekuensi terkait nasib keberadaannya sebagai kader PDI-P. Kedua, jika Ganjar diusung PDI-P, pilihan KIB tidak banyak, bisa jadi lebih memilih bergabung bersama poros yang sudah ada.
Jika mengacu latar belakang kedekatan sesama partai pendukung pemerintah, KIB akan lebih berpeluang bergabung dengan poros PDI-P atau poros Gerindra-PKB, atau bahkan KIB bubar dengan menyerahkan pilihan politik ke tiap-tiap partai.
Ketiga, KIB mengambil sosok dengan elektabilitas papan menengah, seperti halnya Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil atau Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno. Di survei Litbang Kompas, kedua nama ini masuk papan menengah terkait elektabilitas sosok calon presiden.
Tentu, jika opsi ketiga diambil oleh KIB, peluang Airlangga Hartarto menjadi bakal calon presiden dari koalisi ini bisa lebih besar karena faktor saham kursi partai yang lebih dominan.
Pada akhirnya, poros KIB yang dimotori Golkar sebagai partai politik besar ini akan menjadi ujian sejarah bagi partai ini. Apakah Airlangga Hartarto mampu membawa Golkar berada dalam poros politik yang memenangi kontestasi pemilihan presiden, atau justru berada pada poros politik yang gagal memenangi pertarungan.
Jika pilihan terakhir yang dihasilkan, pilihan Golkar untuk tetap mendukung di dalam pemerintahan sepertinya tetap akan menjadi tujuan. Bagi Golkar, di usia 58 tahun, tentu sudah memiliki rekam jejak dan pengalaman yang matang untuk membangun poros politik yang memiliki kemampuan berselancar di tengah gelombang dinamika politik yang ada. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Capres Kader Partai atau Sosok Elektoral?