Capres Kader Partai atau Sosok Elektoral?
Partai politik akan dihadapkan pada dilema, memilih kader partainya atau sosok yang memiliki elektabilitas tinggi meski bukan kader partai untuk diajukan sebagai calon presiden. Mana sebaiknya yang dipilih?

Dalam mengajukan sosok calon presiden, partai politik diharapkan mempertimbangkan sosok yang berlatar belakang sebagai kader partai yang juga diimbangi dengan tingkat keterpilihan tokoh tersebut. Latar belakang sebagai kader partai menjadi hal penting karena terkait dengan agenda penguatan dari salah satu fungsi partai politik itu sendiri, yakni bagaimana memperkuat kaderisasi.
Kesimpulan ini terekam dari hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada pertengahan Mei lalu dimana publik berharap partai politik tidak sekadar mempertimbangkan elektabilitas tokoh, namun juga latar belakangnya. Pemahaman latar belakang yang dimaksud adalah tokoh tersebut lebih baik adalah kader dari partai politik, bukan dari luar partai.
Setidaknya pertimbangan elektabilitas dan kader partai ini lebih banyak disebutkan oleh responden saat ditanya kepada siapa sebaiknya partai politik memberikan dukungan untuk pencalonan presiden di Pemilu 2024 nanti. Sebanyak 38,8 persen responden lebih menginginkan partai mempertimbanglan elektabilitas sekaligus kader mereka di partai politik untuk dipilih sebagai calon presiden.
Latar belakang sebagai kader partai menjadi hal penting karena terkait dengan agenda penguatan dari salah satu fungsi partai politik itu sendiri, yakni bagaimana memperkuat kaderisasi.
Terkait kader partai politik itu, dengan proporsi yang sedikit di bawah kelompok responden yang lebih menginginkan elektabilitas dan kader partai, sebanyak 30,8 persen responden lainnya justru menginginkan partai mengutamakan kader dari partai politik itu sendiri, meskipun elektabilitasnya rendah. Sebaliknya, sebagian kelompok responden lainnya lebih melihat elektabilitas harus diutamakan, meskipun bukan kader partai.
Dari jawaban responden ini tampak variabel kader partai politik tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Bagaimanapun partai politik memang memiliki fungsi yang harus diembannya untuk melakukan kaderisasi. Salah satu upaya memperkuat kaderisasi adalah menempatkan para kader-kadernya di jabatan-jabatan publik, termasuk sebagai calon presiden.
Jika mengacu rekam jejak perjalanan elektoral pemilihan presiden pasca reformasi, calon presiden memang cenderung berasal dari kader partai, bahkan elite papan atas dari partai politik yang mengusungnya. Saat pemilihan presiden 1999 yang dilakukan di MPR, misalnya, ada dua calon presiden yang diajukan saat itu. Kedua calon presiden tersebut adalah tokoh utama dari partai politik.

Kedua nama tersebut diantaranya adalah Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang notabene adalah Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa. Nama ini diajukan oleh koalisi poros tengah yang terdiri dari PKB, PAN, PBB, Partai Keadilan, dan kemudian Golkar.
Kemudian PDIP bersama sejumlah partai koalisinya mengusung Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri sebagai calon presiden. Baik Gus Dur maupun Megawati adalah representasi dari masing-masing partai yang dibesarkannya, yakni PKB dan PDIP.
Hasilnya, Gus Dur kemudian terpilih sebagai presiden dengan 61,2 persen suara di MPR. Setelah presiden terpilih, MPR kemudian menggelar pemilihan wakil presiden. PDIP kemudian kembali mengusung Megawati menjadi calon wakil presiden. Ketua Umum PPP Hamzah Haz juga diajukan partainya menjadi calon wakil presiden.
Hasil voting kemudian mengantarkan Megawati menjadi wakil presiden terpilih. Dari fakta ini terlihat kader atau tokoh partai politik yang begitu mengakar dan kuat sosoknya di partai menjadi representasi partainya dalam kontestasi pemilihan presiden.
Baca juga : Capres Otoritas Versus Elektabilitas
Pilpres langsung
Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terjadi saat proses elektoral pemilihan presiden berubah menjadi mekanisme pemilihan langsung oleh rakyat. Di pemilihan presiden 2004, dari kelima calon presiden, semuanya representasi dari pimpinan utama partai politik.
Sebut saja Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu merupakan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, Megawati (Ketua Umum PDIP), dan Amien Rais (Ketua Umum PAN).
Hanya calon presiden dari Partai Golkar, yakni Wiranto yang bukan berlatar belakang pimpinan puncak partai politik. Hal ini tidak lepas dengan mekanisme pencalonan presiden dari Partai Golkar yang menggunakan jalur konvensi saat itu yang kemudian hasil konvensi dimenangi oleh Wiranto. Namun, praktis, mayoritas calon presiden adalah representasi kader dari partai politik, bahkan sebagian besar adalah pimpinan puncak dari partai.
Fenomena ini berlanjut di pemilihan langsung presiden di 2009 dimana sosok calon presiden masih didominasi oleh elite-elite partai politik, seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla yang saat pemilihan menjabat sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Sekali lagi, tidak ada nama baru di pemilihan presiden ini, semua calon presiden tetap pimpinan puncak partai politik.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2019%2F02%2F17%2F40133517-1cf8-4f82-9d6e-a08c07a3acb8_jpg.jpg)
Joko Widodo dan Prabowo Subianto saat keduanya mengawali debat kedua calon presiden Pemilu 2019 di Jakarta, Minggu (17/2/2019).
Fenomena agak berbeda terjadi di Pemilihan Presiden 2014 yang memunculkan dua sosok calon presiden. Jika sebelumnya calon presiden didominasi pimpinan puncak partai politik, kali ini salah satu calon presiden bukanlah pimpinan elite partai, namun ia hanya kader dari partai politik.
Kader partai tersebut adalah Joko Widodo yang dikenal sebagai kader PDIP sejak ia diusung menjadi Walikota Solo selama dua periode oleh partai berlambang kepala banteng moncong putih ini.
Sementara pesaingnya, Prabowo Subianto, tetap menjadi representasi pimpinan puncak partai politik, yakni Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, sebelum kemudian di 2014 merangkap sebagai Ketua Umum Partai Gerindra.
Lagi-lagi, sosok calon presiden tidak lepas dari pimpinan elite partai, meskipun mulai muncul sosok kader partai dengan hadirnya figure Jokowi. Kondisi serupa berlanjut sampai Pemilihan Presiden 2019 yang sekali lagi menampilkan kontestasi antara Jokowi dan Prabowo.
Baca juga : Membaca Peluang Koalisi Partai Politik
Kader partai
Bagaimana gambaran sosok calon presiden di Pemilu 2024 nanti? Apakah kader partai politik masih mendominasi? Jika mengacu hasil survei Litbang Kompas periode Juni 2022, dari sejumlah nama yang masuk bursa kandidat calon presiden yang muncul di memori publik, sebagian besar memang memiliki kedekatan dengan partai politik.
Nama-nama tersebut bisa dibagi dalam tiga kategori. Kategori pertama adalah calon presiden papan atas, yakni bursa calon presiden dengan tingkat elektabilitas di atas 10 persen. Ada tiga nama yang masuk kategori pertama ini, yakni Prabowo Subianto dengan elektabilitas 25,3 persen. Posisi kedua ditempati Ganjar dengan 22 persen dan posisi ketiga diduduki Anies dengan 12,6 persen.
Dari ketiga nama tersebut, Prabowo dan Ganjar dikenal sebagai tokoh partai politik. Prabowo adalah Ketua Umum Partai Gerindra, sedangkan Ganjar adalah kader PDIP yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah. Sebelum gubernur, Ganjar adalah anggota DPR RI dari fraksi PDIP. Sementara di kategori bursa calon presiden papan atas ini, hanya Anies Baswedan yang bukan orang partai politik.

Sementara itu di kategori papan tengah adalah nama-nama yang muncul dalam bursa salon presiden dengan perolehan suara 1-5 persen. Setidaknya ada 7 nama yang masuk kategori ini, yakni Sandiaga S Uno, Ridwan Kamil, Agus Harimurti Yudhoyono, Basuki Tjahaja Purnama, Tri Rismaharini, Erick Thohir, dan Andika Perkasa.
Dari tujuh nama ini, lagi-lagi didominasi kader partai politik, yakni Sandiaga Uno yang berlatar belakang Partai Gerindra, AHY yang menjabat Ketua Umum Partai Demokrat, dan dua nama yang dikenal sebagai kader PDIP, yakni Basuki Tjahaja Purnama dan Tri Rismaharini. Sementara nama Ridwan Kamil, Erick Thohir, dan Andika bukanlah orang partai, bahkan Andika saat ini menjabat Panglina TNI.
Sementara itu kategori ketiga adalah nama-nama yang elektabilitasnya masih rendah, yakni di bawah 1 persen. Dua nama yang termasuk elite partai politik masuk dalam kategori ketiga ini, yakni Ketua DPR sekaligus Ketua DPP PDIP Puan Maharani dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto.
Dari bursa nama-nama di atas, bahkan dari tiga kategori, mayoritas adalah kader-kader partai politik. Data ini menjadi potret ke depan bagaimana kontestasi pemilihan umum 2024 cenderung akan lebih banyak diramaikan oleh tokoh-tokoh partai politik dibandingkan yang bukan dari partai politik.
Elektabilitas tokoh tetap menjadi faktor yang menentukan sejauhmana peluang tokoh tersebut akan mendapatkan tiket pencalonan presiden
Meskipun demikian, elektabilitas tokoh tetap menjadi faktor yang menentukan sejauhmana peluang tokoh tersebut akan mendapatkan tiket pencalonan presiden. Jika mengacu nama-nama yang masuk dalam bursa survei, nama Anies Baswedan, Ridwan Kamil sebagai tokoh sipil non partai berpeluang akan menarik perhatian dari partai-partai politik menjelang pencalonan presiden sebelum proses pendaftaran tahun depan. Elektabilitas keduanya berada di papan atas dan menengah.
Publik sendiri berharap di tahun inilah ada kejelasan siapa pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung partai politik. Sebanyak 46,6 persen responden berharap mereka bisa tahu di tahun ini soal kepastian pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan diusung di 2024 nanti.
Meskipun tidak sedikit juga yang berharap justru kepastian ini akan terwujud jelang mendekati masa pendaftaran calon presiden akhir tahun depan. Pengalaman jelang pemilihan presiden di 2019 bisa menjadi bukti kepastian pasangan capres dan cawapres justru terjadi di hari-hari terakhir pendaftaran.

Pada akhirnya, latar belakang sebagai kader partai politik pada dasarnya memang “berhak” untuk dicalonkan menjadi presiden. Hal ini sebagai bagian dari penguatan kaderisasi di internal partai politik. Namun, tentu partai politik juga akan mempertimbangkan potensi elektoralnya.
Menyeimbangkan antara kebutuhan kaderisasi partai dengan elektoral tokoh bisa menjadi jalan tengah untuk memenuhi kebutuhan partai dalam mengajukan calon presiden di 2024 nanti.
Ke depan, perlu diperkuat wacana pencalonan pejabat publik yang diajukan partai harus lebih memprioritaskan kader partai. Untuk itulah perlu diupayakan dukungan regulasi dalam undang-undang pemilihan umum tentang pentingnya memasukkan kepentingan kaderisasi di internal partai dalam pengajuan calon pejabat publik.
Jika didukung regulasi undang-undang yang menaunginya, tentu ini akan menjadi upaya yang “memaksa” partai politik untuk memperkuat kelembagaannya sebagai partai kader, bukan sekadar partai massa, apalagi partai yang lebih bergantung pada satu sosok dominan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Membangun Koalisi Politik sejak Awal