Analisis Litbang ”Kompas”: Sosok dan Koalisi Jadi Tantangan Elektoral Golkar
Sebagai motor Koalisi Indonesia Bersatu, Golkar akan dihadapkan pada pilihan, apakah mengusung ketua umumnya atau sosok lain di Pemilihan Presiden 2024 nanti. Bagaimana peluang Golkar?
Oleh
Rangga Eka Sakti
·6 menit baca
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Bendera Partai Golkar terpasang di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Jumat (29/11/2019).
Menjelang Pemilu 2024, tingkat elektabilitas Partai Golkar semakin menjanjikan. Momentum elektabilitas ini didorong oleh loyalitas para pemilih dan kian matangnya mesin partai di tingkat daerah. Meskipun begitu, pilihan koalisi dan minimnya sosok membuat jalan partai berlambang pohon beringin ini menuju Pemilu 2024 masih terjal.
Tren elektoral yang positif dari Partai Golkar ini terekam dalam hasil survei Litbang Kompas. Selama tiga tahun terakhir, Partai Golkar mampu mendorong elektabilitas mencapai dua digit pada Juni 2022.
Tingkat elektabilitas ini merupakan perbaikan yang cukup drastis. Pasalnya, elektabilitas partai ini beberapa kali berada di bawah dua digit. Tentu, butuh kerja keras untuk bisa menggenjot tingkat keterpilihan dalam waktu kurang dari dua tahun ke depan.
Pergerakan elektabilitas tersebut menunjukkan, partai ini sudah mulai bisa mempertahankan suara yang sebelumnya mereka peroleh pada Pemilu 2019. Hal ini pun terkonfirmasi dari hasil survei yang menunjukkan loyalitas pemilih.
Tingkat loyalitas pemilih Golkar ini terbilang cukup tinggi dibandingkan dengan partai-partai lain.
Pada survei Januari 2022, sebanyak 63 persen pemilih Golkar di Pemilu 2019 mengaku akan memilih kembali partai ini jika pemilu dilakukan saat itu. Angka ini melonjak hingga di kisaran 78 persen pada survei yang dilakukan pada Juni lalu.
Tingkat loyalitas pemilih Golkar ini terbilang cukup tinggi dibandingkan dengan partai-partai lain. Jika dirata-rata, tingkat loyalitas dari partai pemegang kursi di DPR saat ini sebesar 67 persen. Dari sejumlah partai tersebut, hanya pemilih PKB yang lebih loyal di kisaran angka 81 persen.
Pergerakan positif elektabilitas yang dialami Golkar ini menjadi momentum penting yang perlu dimanfaatkan untuk mengubah nasib di Pemilu 2024. Nyatanya, selama dua dekade ke belakang, jumlah perolehan suara Golkar di pemilu cenderung menurun. Jika dirata-rata, partai ini terus kehilangan suara sebesar 12 persen di tiap pemilihan semenjak Pemilu 2004.
Faktor loyalitas pemilih Golkar ini juga didukung oleh kemampuan mesin partai untuk menguasai daerah-daerah di Indonesia. Hal ini tampak dari hasil pilkada serentak tahun 2017, 2018, dan 2020.
Dalam tiga pilkada tersebut, Golkar memenangi 10 dari 33 daerah, baik sebagai partai utama maupun partai pengusung. Jika dirata-rata, tingkat kemenangan Partai Golkar di tiap pilkada berada di kisaran 43 persen.
Tingkat penguasaan ini jauh lebih besar dibandingkan dengan beberapa partai mayor lain. Sebagai contoh, PDI-P sebagai partai pemimpin koalisi pemerintahan saja hanya mampu memenangi enam daerah.
Sementara beberapa partai lain, seperti Gerindra, Nasdem, dan Demokrat, cuma memenangi tiga daerah selama tiga penyelenggaraan pilkada tersebut.
Selain unggul dari segi perolehan, performa elektabilitas di tingkat daerah ini juga bisa dibilang cukup konsisten. Kesimpulan ini terlihat dari perbandingan hasil Pilkada 2015 dan 2020. Pada Pilkada 2020, Golkar mampu mempertahankan kekuasaannya di tiga dari empat provinsi yang sebelumnya dimenangi pada 2015, yakni Kepulauan Riau, Bengkulu, dan Kalimantan Selatan.
Kemampuan penguasaan ini bisa menjadi indikasi bahwa mesin Partai Golkar di tingkat daerah telah cukup matang. Terlebih lagi, daerah-daerah yang kini tengah dipegang oleh Golkar memiliki jumlah populasi penduduk yang cukup besar. Dari 10 provinsi dengan jumlah populasi terbanyak, empat provinsi dikuasai oleh Golkar.
Selain loyalitas para pemilih dan mesin partai di daerah, Golkar juga memiliki keunggulan dalam hal membangun blok kekuatan politik. Kelihaian membangun koalisi menjadi resep jitu bagi Partai Golkar untuk terus berada dalam lingkar kekuasaan.
Artinya, meskipun belum pernah berhasil menempatkan kadernya menjadi RI 1, kader-kader partai ini terus menghiasi pos-pos strategis di kabinet pemerintahan.
Lalu, sejauh mana strategi koalisi Golkar kali ini akan menuai keberhasilan di Pemilu 2024 nanti? Di satu sisi, Koalisi Indonesia Baru (KIB) yang digagas oleh Golkar, PAN, dan PPP memang telah memenuhi ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20 persen. Ditambah lagi karakter pemilih yang cukup berbeda juga bisa dimanfaatkan oleh Golkar untuk memperluas konstituen.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto (kiri) menyerahkan berkas pendaftaran partai politik calon peserta Pemilu 2024 kepada Ketua KPU Hasyim Asy'ari di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (10/8/2022). Golkar melakukan pendaftaran berurutan dengan Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan. Ketiga partai ini tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIB).
Namun di sisi lain, dukungan elektoral yang ditawarkan oleh PAN dan PPP terpaut jauh dari Golkar. Dengan pengusaan kursi legislatif sebesar 7,6 persen, PAN masih tergolong partai papan tengah.
Posisi PPP lebih minim dengan sumbangan kursi di DPR sebanyak 3,3 persen. Posisi ini pun belum berubah, bahkan cenderung turun, sampai saat ini. Hasil survei pada Juni lalu menunjukkan tingkat elektabilitas PAN dan PPP masih rendah. Artinya, jika merujuk hasil survei, jika digabungkan, tingkat keterpilihan tiga partai ini masih berada di bawah angka 15 persen.
Strategi koalisi Golkar pada kali ini bisa dibilang cukup berbeda dengan pemilu sebelumnya. Di 2019, dengan perolehan kursi DPR terbanyak kedua, Golkar berhasil membangun Koalisi Indonesia Maju (KIM) bersama PDI-P sebagai partai yang paling banyak memperoleh kursi legislatif. Strategi membangun koalisi yang ”gemuk” ini sukses hingga membuat para petinggi Golkar bercokol di posisi penting pemerintahan.
Beban koalisi yang ditanggung oleh Golkar ini menjadi berlipat karena minimnya sosok yang bisa diusung. Padahal, salah satu strategi yang bisa dilakukan untuk mendulang suara ialah dengan menemukan sosok calon presiden yang tepat. Tak ayal, persoalan sosok ini bisa jadi tantangan terbesar sekaligus kunci kemenangan bagi Golkar dan KIB.
Hingga kini, belum ada kata mufakat di antara partai KIB terkait dengan sosok yang akan diusung dalam Pemilu 2024. Tentu, tiap anggota koalisi akan mendorong personelnya untuk dicalonkan.
Sayangnya, belum ada kader termasuk para ketua umum, yakni Airlangga Hartarto, Zulkifli Hasan, dan Suharso Monoarfa, yang memiliki kekuatan elektoral besar. Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas, tidak ada tokoh dari ketiga partai tersebut yang memiliki elektabilitas di atas 1 persen.
Sementara itu, jika merujuk pada hasil survei yang sama, para pemilih Golkar, PAN, dan PPP justru jatuh hati pada sosok yang kuat di luar partai mereka, seperti Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Ditambah satu sosok non-partai yang relatif diterima oleh para pemilih KIB, yaitu Anies Baswedan.
Hal ini menunjukkan, hanya ada dua pilihan bagi KIB dalam menghadapi Pemilu 2024. Pilihan pertama ialah KIB harus bisa mengajak partai lain, terutama yang memiliki sosok kuat, untuk bergabung ke dalam koalisi. Pilihan lainnya, koalisi ini harus segera ”mengamankan” sosok nonpartai dengan elektabilitas yang masih bisa diharapkan.
Kedua pilihan ini memang bisa jadi bukan pilihan ideal yang diinginkan oleh para anggota koalisi. Namun, dengan kondisi saat ini, tampaknya sulit bagi Golkar dan KIB untuk mendulang sukses jika hanya mengandalkan kekuatan kader mereka sendiri.
Dengan memegang kekuatan elektoral paling besar, tentu Golkar yang akan paling dirugikan jika KIB nantinya gagal mendapat hasil yang memuaskan.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suharso Monoarfa bergandengan tangan seusai mendaftarkan partai masing-masing sebagai calon peserta Pemilu 2024 di Kantor KPU, Jakarta, Rabu (10/8/2022). Ketiga partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) ini melakukan pendaftaran di waktu yang berurutan.
Namun, setidaknya antusiasme membangun koalisi dalam KIB sudah mulai dipanasi saat ketiga partai ini bersama-sama mendaftar di Komisi Pemilihan Umum, Rabu (10/8/2022).
Bisa jadi ini bagian dari strategi soliditas koalisi dan untuk memanasi mesin politik ketiga partai ini. Jika mesin politik sudah siap, tinggal kemudian menemukan sosok ideal yang akan diusung di pemilihan presiden nanti yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi koalisi ini. (LITBANG KOMPAS)