Zoonosis yang Mengancam Kehidupan Manusia
Zoonosis, penyakit yang ditularkan oleh hewan ke manusia, dapat mewabah dan menjadi kejadian luar biasa kapan saja serta di mana saja.
Zoonosis, penyakit yang ditularkan oleh hewan ke manusia, dapat mewabah dan menjadi kejadian luar biasa kapan saja serta di mana saja. Untuk mengantisipasinya, dibutuhkan langkah mitigasi dengan standar yang terukur.
Semua jenis hewan dapat menularkan virus, bakteri, jamur, ataupun parasit yang menyebabkan banyak penyakit bagi manusia. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan hewan, lewat cairan tubuh, makanan, air, atau juga lingkungan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, sekitar 1 miliar kasus penyakit dan jutaan kematian manusia terjadi setiap tahun akibat zoonosis.
Sejarah panjang zoonosis telah ada sejak ribuan tahun lalu. Sekitar abad ke-18 sebelum Masehi, muncul wabah ”anjing galak” di kawasan Babilonia, yang terletak di sekitar Irak dan Suriah. Wabah tersebut berasosiasi dengan ciri-ciri binatang yang terinfeksi rabies yang disebabkan virus Lyssavirus.
Sementara munculnya pandemi pertama zoonosis yang menyerang daratan Eropa, Afrika Utara, Timur Tengah, Asia Tengah, hingga Asia Timur terjadi pada tahun 541-546. Wabah yang menyerang ialah penyakit pes dengan jumlah korban terinfeksi mencapai 142 juta jiwa di seluruh dunia.
Sejumlah kasus zoonosis menyebabkan banyak korban jiwa dan terus mewabah dari tahun ke tahun, seperti antraks, malaria, demam berdarah, ebola, dan HIV. Salah satu infeksi virus dari hewan yang mematikan hingga saat ini adalah HIV. Hingga 2022, WHO melaporkan setidaknya 39 juta orang hidup dengan HIV di seluruh dunia.
Dalam dua dekade terakhir setidaknya ada lima wabah zoonosis yang muncul di dunia. Tahun 2002 menyeruak epidemi SARS di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Jeda tiga tahun, terjadi epidemi flu burung (H5N1) di Asia yang menyebabkan kematian jutaan unggas dan 500 korban jiwa.
Baca juga : Waspada Antraks untuk Daerah Istimewa Yogyakarta
Berikutnya, terjadi pandemi pada 2009 karena infeksi virus H1N1 atau flu babi. Penyebarannya hingga 213 negara dengan kematian lebih dari 17.000 jiwa. Mirip dengan SARS, epidemi MERS karena virus korona muncul di kawasan Timur Tengah tahun 2012. Terbaru, akhir tahun 2019 muncul pandemi Covid-19 di seluruh dunia dengan total kematian mencapai 6,9 juta jiwa per 19 Juli 2023.
Catatan sejarah zoonosis di seluruh dunia menjadi pengingat bahwa semua hewan berisiko menularkan berbagai jenis virus, bakteri, jamur, hingga parasit ke tubuh manusia. Potensi wabah ini harus diwaspadai mengingat interaksi manusia dan hewan semakin erat, terlebih saat ada kebutuhan pemenuhan konsumsi dan domestikasi untuk hewan peliharaan.
Di sisi lain, ada intervensi manusia di habitat hewan yang semakin menggerus batas-batas alaminya. Hal tersebut turut menegaskan bahwa tidak hanya hewan liar, bahkan hewan ternak atau hewan peliharaan turut menyimpan potensi risiko penularan penyakit.
Hewan peliharaan
Keberadaan hewan peliharaan kian populer di masyarakat global. Di Amerika Serikat, Forbes mencatat tingkat kepemilikan hewan peliharaan di negeri tersebut mencapai 66 persen dari rumah tangga di AS. Persentase pet ownership tersebut meningkat dari 56 persen pada 1988.
Fenomena serupa juga terjadi di Asia, termasuk Indonesia. Lembaga Rakuten Insight melakukan survei kepemilikan hewan peliharaan terhadap 97.000 responden di China, Hong Kong, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Taiwan, dan Vietnam. Riset yang dilakukan pada 2021 tersebut menemukan, tiga dari lima responden di 12 negara Asia tersebut memiliki hewan peliharaan.
Secara khusus, Rakuten Insight pada Januari 2022 mencatat 67 persen publik di Indonesia menyebutkan memiliki hewan peliharaan. Jenis hewan yang paling banyak dimiliki adalah kucing (47 persen), disusul ikan (22 persen), burung (18 persen), dan anjing (10 persen).
Maraknya kepemilikan hewan peliharaan ini tidak dapat dilepaskan dari sejumlah manfaat. Salah satunya ialah kepemilikan hewan peliharaan dapat memberikan manfaat kesehatan mental dan sosial. Sebuah studi yang berjudul ”The Impact Sustained Ownership of a Pet on Cognitive Health: A Population-based Study” tahun 2023 membuktikan bahwa memelihara hewan peliharaan, seperti kucing dan anjing, memiliki dampak baik bagi kesehatan, terutama dari sisi perlambatan penurunan kognitif.
Arti kemampuan kognitif ialah segala aktivitas yang berkaitan dan melibatkan aktivitas intelektual di bawah kendali kesadaran total manusia, seperti berpikir, logika, nalar, dan ingatan. Kestabilan kognitif orang yang memiliki hewan peliharaan turut dipengaruhi oleh efek oksitosin pada fungsi otak. Selain berperan dalam laktasi, fungsi produksi, dan ikatan sosial ibu-anak, oksitosin turut berpengaruh pada kognisi sosial dan penajaman memori manusia. Selain itu, kepemilikan hewan peliharaan juga mampu menstabilkan emosi dan mental anak-anak dan remaja.
Baca juga : Kematian Rabies Meningkat, Ketersediaan Vaksin Perlu Dipastikan
Riset lain yang berjudul ”Impact of Pet Dog or Cat Exposure during Childhood on Mental Illness during Adolescence: A Cohort Study” tahun 2022 mengungkap bahwa semakin lama seorang anak, khususnya yang mulai menginjak remaja, berinteraksi dengan hewan peliharaan, maka risiko gangguan mental, kecemasan, hingga depresi menurun drastis.
Meskipun keberadaan hewan peliharaan berpengaruh signifikan terhadap kemampuan kognitif dan kestabilan mental, ada yang perlu diwaspadai oleh setiap pemiliknya. Dari sisi kesehatan, kucing, anjing, burung, dan hewan peliharaan lain berisiko menularkan virus atau bakteri kepada manusia. Sedikitnya ada 28 jenis virus dan bakteri hingga parasit yang mengancam pemilik hewan peliharaan.
Sejumlah risiko infeksi yang sering dijumpai adalah penyakit rabies. Penularan terjadi lewat gigitan kucing, anjing, serta hewan mamalia lain, dan langsung menyerang susunan saraf pusat manusia. Infeksi tahap lanjut dari virus rabies ialah detak jantung makin cepat dan terjadi kematian akibat kelumpuhan sistem pernapasan.
Merujuk Kompaspedia, penyakit rabies sudah terdeteksi di Indonesia sejak masa Hindia Belanda, yaitu tahun 1884, pada seekor kuda di Bekasi, Jawa Barat. Setahun kemudian, rabies pada anjing dilaporkan terjadi di Tangerang, Banten.
Penyakit lain adalah leptospirosis karena infeksi bakteri Leptospira interrogans dari kucing, anjing, dan hewan pengerat. Terakhir, infeksi bakteri Yesinia pestis penyebab penyakit pes pada manusia yang ditularkan oleh hewan pengerat, seperti kelinci dan kucing. Mengingat potensi munculnya zoonosis, hewan peliharaan harus terus dijaga kesehatannya melalui vaksinasi dan perawatan rutin.
Hewan ternak
Kategori hewan berikutnya yang berkaitan erat dengan manusia adalah hewan ternak, seperti sapi perah, sapi potong, kerbau, kuda, kambing, domba, babi, ayam, itik, dan puyuh. Keberadaan hewan ternak bertujuan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani tubuh manusia atau juga membantu pekerjaan manusia. Namun, risiko penularan patogen penyebab penyakit pada manusia dari keberadaan hewan ternak ini juga terbilang tinggi karena interaksi yang dekat, mulai dari perawatan hingga konsumsi dagingnya.
Penyakit yang bersumber dari hewan ternak memiliki sejarah panjang seperti hewan peliharaan. Seiring perkembangan peradaban manusia, hubungan dengan hewan tidak sekadar berburu, tetapi budidaya peternakan. Salah satu penyakit dari hewan ternak yang telah lama mewabah dan bertahan hingga saat ini adalah antraks, penyakit yang berasal dari mamalia, seperti sapi, kerbau, domba, dan kambing.
Baca juga : Darurat Pengendalian Antraks di Gunungkidul
Catatan tertua tentang antraks muncul tahun 429-426 sebelum Masehi di wilayah Yunani. Korban jiwa mencapai puluhan ribu orang. Di Indonesia, kasus antraks ditemukan pertama kali di Kolaka, Sulawesi Tenggara, pada masa Hindia Belanda tahun 1832. Sementara wabah terbaru virus Bacillus anthracis penyebab antraks ditemukan di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta, pada Juni 2023 lalu. Satu orang meninggal dan 87 orang dinyatakan positif terinfeksi. Dua orang lainnya meninggal dengan gejala antraks.
Infeksi penyakit zoonosis lain adalah bakteri Salmonella typhimurium atau Salmonella enteritidis penyebab penyakit salmonelosis. Bakteri tersebut dapat berasal dari ayam, sapi, kambing, dan domba yang dagingnya dikonsumsi manusia. Zoonosis lain yang juga sempat merebak di Indonesia adalah penyakit mulut dan kuku yang disebabkan virus dari genus Enterovirus.
Beragam ancaman zoonosis baik dari hewan liar, hewan peliharaan, maupun hewan ternak menggambarkan urgensi penanganan faktor-faktor yang memperparah transmisi patogen penyebab penyakit pada manusia. Terutama ialah jangkauan vaksinasi hewan pembawa patogen, tingkat kerusakan ekosistem hewan, dan pola konsumsi daging hewan oleh manusia. Saat faktor-faktor tersebut tidak ditangani dengan mitigasi yang memadai, ancaman zoonosis akan terus menghantui manusia hingga masa mendatang. (LITBANG KOMPAS)