Kematian Rabies Meningkat, Ketersediaan Vaksin Perlu Dipastikan
Kasus gigitan hewan penular rabies serta kematian akibat rabies dilaporkan meningkat di Indonesia. Kewaspadaan harus ditingkatkan, mulai dari pencegahan, deteksi, dan penanganan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS— Laporan kasus gigitan hewan penular rabies serta kematian akibat rabies meningkat signifikan. Bahkan, laporan kejadian luar biasa rabies pun dilaporkan di daerah yang bukan endemis rabies.
Dua daerah telah melaporkan kejadian luar biasa (KLB) rabies, yakni Kabupaten Sikka dan Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Upaya pengendalian harus ditingkatkan untuk menekan penyebaran kasus.
"Di Pulau Timor (Kabupaten Timor Tengah Selatan) memang sebelumnya tidak pernah ada kasus rabies. Jadi, masyarakat di sana pun tidak tahu bagaimana gejala anjing rabies dan orang rabies. Kesadaran itu ditingkatkan," ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (2/6/2023).
Imran menuturkan, kewaspadaan terhadap penularan rabies perlu ditingkatkan. Secara nasional, kasus rabies dilaporkan meningkat, baik kasus gigitan maupun kasus kematian.
Kementerian Kesehatan melaporkan kasus gigitan hewan penular rabies meningkat, yakni 82.634 kasus pada 2020, kemudian 57.257 kasus pada 2021, dan 104.229 kasus pada 2022. Kasus kematian karena rabies juga naik. Pada 2020, tercatat sebanyak 40 kasus, pada 2021 sebanyak 62, dan pada 2022 terdapat 102 kasus. Pada 2023, hingga April, tercatat 31.113 kasus gigitan hewan penular rabies dan 11 kasus kematian karena rabies.
"Peningkatan kasus ini sepertinya ada hubungannya dengan pandemi. Pada 2019, 2020, dan 2021 sebagian besar kegiatan berhenti termasuk vaksinasi terhadap hewan. Pada saat itu juga kita jarang bersinggungan dengan hewan liar. Lonjakan kasus akhirnya terjadi saat aktivitas mulai berjalan seperti biasa di saat banyak hewan liar yang tidak tervaksinasi dan terinfeksi rabies," tutur Imran.
Ia menyampaikan, masyarakat perlu lebih waspada akan hewan penular rabies, terutama anjing. Sekitar 95 persen kasus rabies pada manusia didapatkan lewat gigitan anjing yang terinfeksi. Namun, kewaspadaan pada hewan lain yang berpotensi membawa virus rabies, seperti rubah, rakun, kucing, dan kelelawar tetap diperlukan.
Kewaspadaan akan penularan rabies perlu ditingkatkan. Secara nasional, kasus rabies dilaporkan meningkat, baik pada kasus gigitan maupun kasus kematian.
Saat ini, sebagian besar wilayah di Indonesia merupakan daerah endemis rabies. Hanya ada delapan provinsi yang bebas rabies, yaitu Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Papua Barat, dan Papua. Sementara itu, provinsi dengan kasus rabies tertinggi yakni Bali, NTT, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, dan Sumatera Barat.
Tatalaksana
Imran mengatakan, penanganan kasus gigitan hewan penular rabies harus cepat dilakukan untuk mencegah fatalitas hingga kematian. Tatalaksana penanganan gigitan hewan penular rabies dilakukan dengan membilas dan mencuci luka gigitan atau cakaran secara menyeluruh.
Setelah itu, antiseptik bisa diberikan untuk membunuh virus rabies. Luka tidak boleh dijahit untuk mengurangi penyebaran virus pada jaringan luka, kecuali luka lebar dan terus mengeluarkan darah yang harus dihentikan. Kemudian, vaksinasi rabies (VAR) dan serum antirabies (SAR) diberikan sesuai kategori luka.
Imran mengatakan, pada 2023, Kementerian Kesehatan telah menyediakan 241.700 vial vaksin rabies dan 1.650 vial serum antirabies. Dari jumlah tersebut, sebanyak 227.000 vial vaksin dan 1.550 vial serum di antaranya sudah didistribusikan ke provinsi.
Terkait stok vaksin dan serum di daerah yang kosong, Imran menuturkan, informasi tersebut masih harus dicek ke lapangan. Pengadaan pun bisa dilakukan melalui anggaran daerah.
"Serum antirabies di pusat itu tinggal 100 vial. Namun, tidak menutup kemungkinan kalau ada eskalasi (kasus) kita akan adakan dengan dana cadangan," ucapnya.
Rabies merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus rabies. Virus dapat ditularkan dari hewan terinfeksi ke manusia melalui air liur yang masuk ke luka lewat gigitan ataupun cakaran dari hewan yang terinfeksi, paling banyak dari anjing yang terinfeksi.
Masyarakat sebaiknya menghindari anjing yang menunjukkan gejala rabies, seperti hewan menjadi ganas dan tidak menurut, tidak mampu menelan, mulut terbuka dan air liur keluar secara berlebihan, serta ekor dilengkungkan ke bawah perut di antara kedua paha. Namun, ada beberapa hewan terinfeksi yang tidak memperlihatkan gejala sakit dan tiba-tiba mati.
Imran menambahkan, masyarakat juga harus waspada dan segera memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan jika mengalami gejala, terutama jika baru terpajan hewan yang terinfeksi. Gejala rabies pada manusia seperti demam, lemas, lesu, tidak napsu makan, insomnia, sakit kepala hebat, sakit tenggorokan, dan sering mengalami nyeri. Setelah itu, gejala lanjutannya berupa rasa kesemutan dan rasa panas di lokasi gigitan, cemas, serta mulai timbul fobia, yaitu hidrofobia (takut pada air) dan fotofobia (takut pada cahaya) sebelum meninggal.
"Kasus kematian pada manusia terjadi biasanya karena terlambat ditangani. Pada anak, risiko kematian semakin besar," tutur Imran.
Juru bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril menuturkan, angka kematian akibat rabies yang tinggi perlu disikapi dengan penanganan yang cepat. Pada daerah yang sudah melaporkan status KLB gerakan massal penanganan rabies perlu dilakukan agar penularan bisa segera dikendalikan.
"Kesiapan vaksinasi diutamakan. Jangan sampai ketersediaan vaksin menjadi hambatan dalam penanganan rabies di daerah tersebut. Pelibatan komunitas pecinta hewan juga bisa diperluas untuk memastikan hewan sudah tervaksinasi," katanya.