Darurat Pengendalian Antraks di Gunungkidul
Selain berisiko bagi kesehatan manusia, kasus antraks di Gunungkidul saat ini berpotensi mengganggu suplai pasokan daging di wilayah Yogyakarta.
Kembali munculnya antraks di Kabupaten Gunungkidul menjadi ancaman serius bagi perekonomian setempat dan juga bagi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai sentra komoditas daging di Yogyakarta, temuan penyakit ini dapat berimbas pada pendapatan peternak di Gunungkidul. Selain itu, dapat juga mempengaruhi pasokan dan harga daging di DIY.
Alarm darurat peternakan di Kabupaten Gunungkidul kembali berdering setelah kasus antraks kembali ditemukan. Kali ini, peringatannya lebih keras lantaran bakteri antraks turut menelan korban jiwa hingga tiga orang. Tak hanya itu, lebih kurang 87 warga juga dinyatakan positif terpapar bakteri antraks dengan risiko bahaya kesehatan yang masih mengancam.
Situasi tersebut menuntut penanganan yang lebih serius mengingat bahaya antraks sudah berulang kali mengancam peternakan di Gunungkidul. Merunut catatan Kompas, kasus antraks pertama kali ditemukan di Gunungkidul pada Mei 2019. Saat itu, sekitar lima ekor sapi mati di Gunungkidul, satu di antaranya diduga mati karena bakteri antraks.
Tak hanya sapi, warga pun turut terdampak. Sebanyak 27 orang positif terpapar bakteri antraks. Setelah menjalani perawatan, 26 orang dinyatakan sembuh. Namun, ada satu yang akhirnya meninggal dengan diagnosis meningitis. Peradangan pada meningen atau lapisan pelindung otak dan saraf tulang belakang ini merupakan salah satu jenis penyakit yang dipicu oleh bakteri antraks. Selanjutnya, pemerintah daerah setempat merespons hal tersebut dengan menyatakan bahwa kasus itu masuk kategori Kejadian Luar Biasa.
Baca juga: Tradisi ”Brandu” Diduga Ikut Picu Penularan Antraks di Gunungkidul
Kasus antraks kembali muncul pada akhir tahun 2019 hingga Februari 2020. Sekitar 128 ekor sapi dan 62 ekor kambing di Gunungkidul mati mendadak. Baru pada tanggal 6 Februari 2020, tiga ekor sapi dan tiga ekor kambing mati dan dinyatakan positif terjangkit bakteri antraks. Tahun 2022, sejumlah hewan ternak lagi-lagi mati akibat antraks. Sekitar 23 warga pun diduga turut terpapar bakteri antraks.
Secara lokasi, kasus antraks tidak hanya terjadi di satu desa atau kecamatan saja. Setidaknya sudah ada empat desa dan empat kecamatan yang pernah mencatatkan kasus antraks.
Sumber kehidupan
Selain mengancam jiwa, kasus antraks di Gunungkidul juga mendesak untuk segera ditangani lantaran mengancam perekonomian warganya. Terkenal sebagai daerah pesisir yang kaya akan panorama pantai, ternyata tidak sedikit masyarakat Gunungkidul yang masih mengandalkan sektor pertanian sebagai sumber penghidupan mereka.
Data Badan Pusat Statistik 2022 menyebutkan 39 persen penduduk Gunungkidul yang berusia 15 tahun ke atas bekerja di sektor pertanian. Jumlahnya mencapai lebih dari 178 ribu orang. Secara spesifik di wilayah perdesaan, proporsi pekerja pertanian di Gunungkidul relatif lebih besar, yakni 41,5 persen. Hal ini menunjukkan bahwa sektor agraris masih menjadi andalan warga Gunungkidul.
Kendati tidak tersedia data secara spesifik yang menyatakan jumlah rumah tangga peternak di Kabupaten Gunungkidul, subsektor peternakan ini cukup berperan penting untuk sektor pertanian secara keseluruhan.
Berdasarkan pantauan data beberapa tahun terakhir, subsektor peternakan menjadi kontributor terbesar kedua pada sektor pertanian, setelah tanaman pangan. Sumbangannya mencapai 26,6 persen di tahun lalu dan menunjukkan tren yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Berbanding terbalik dengan subsektor tanaman pangan yang kontribusinya mencapai lebih dari 50 persen, tetapi menunjukkan tren yang cenderung menurun.
Dengan kata lain, nilai ekonomi peternakan di Gunungkidul tidak bisa dipandang sebelah mata. Populasi sapi di Gunungkidul pun konsisten mengalami peningkatan. Terbaru, jumlah sapi potong di pesisir selatan DIY itu mencapai 156.246 ekor pada tahun 2022. Dibandingkan dua dekade silam, terjadi peningkatan populasi sapi hingga 47 persen.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa peternakan sapi berkembang pesat di Gunungkidul dan cukup menjadi andalan, baik bagi perekonomian daerah maupun individu warganya. Oleh karena itu, kembali merebaknya bakteri penyebab antraks dapat mengancam keberlangsungan ekonomi di Gunungkidul.
Baca juga: Cegah Antraks Meluas, Ratusan Ternak di Gunungkidul Divaksinasi
Sebelumnya, ketika antraks merajalela di Gunungkidul pada tahun 2019-2020, terjadi kerugian ekonomi pada sejumlah peternak. Salah satunya dialami oleh Jumilah, warga Desa Bejiharjo, Gunungkidul. Sapi betina miliknya yang sudah beranak delapan kali mendadak mati karena antraks. Padahal, selama ini, sapi tersebut sudah menopang kebutuhannya sehari-hari hingga mencukupi biaya sekolah anak-anaknya.
Khawatir ikut terpapar antraks, sapi Jantan milik Jumilah akhirnya turut dijual. Pada situasi normal, sapi Jantan biasanya dihargai Rp 25 – Rp 30 juta, tetapi gara-gara antraks hanya laku Rp 15 juta (Kompas, 27 Februari 2020). Masih banyak lagi kisah serupa seperti yang dialami Jumilah kala itu.
Kemiskinan
Selain berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi, antraks juga berpeluang merampas sumber pendapatan warga Gunungkidul. Pasalnya, peternak bergegas menjual hewan peliharaannya karena khawatir terpapar antraks yang berisiko mengancam nyawa mereka. Jika semua dijual, habis sudah sumber penghidupan mereka.
Jika tidak dikendalikan, keberlangsungan hidup sebagian masyarakat Gunungkidul akan kian mengkhawatirkan. Selama ini, Gunungkidul dikenal sebagai salah satu daerah termiskin di provinsi DIY. Kondisi geografis yang gersang kian memperparah kondisi ekonomi mereka hingga terus-menerus terjebak dalam jurang kemiskinan.
Badan Pusat Statistik mencatat, persentase penduduk miskin Gunungkidul mencapai 15,86 persen. Jauh di atas rata-rata provinsi DIY dan merupakan kedua tertinggi setelah Kabupaten Kulon Progo. Kendati cenderung menurun dibandingkan beberapa tahun sebelumnya, kondisi kemiskinan di Gunungkidul masih sangat mengkhawatirkan.
Pertama, jumlah dan persentase penduduk miskin di Gunungkidul masih relatif tinggi meski garis kemiskinannya paling rendah di antara semua kabupaten/kota di DIY. Tahun lalu, garis kemiskinan Gunungkidul sebesar Rp 350.739, jauh di bawah rerata provinsi yang mencapai Rp 521.673.
Idealnya, dengan garis kemiskinan yang relatif rendah, jumlah maupun persentase penduduk miskinnya tidak sebanyak wilayah lainnya. Namun, dengan persentase penduduk miskin Gunungkidul yang tetap tinggi menunjukkan bahwa masih banyak warga yang tingkat pengeluarannya di bawah Rp 350 ribu per bulan. Bukan tidak mungkin, perilaku menggali kubur sapi yang sudah mati yang akhirnya memicu penyakit antraks di Gunungkidul kali ini berkaitan erat dengan konsisi masyarakat yang relatif miskin.
Baca juga: Cegah Penularan, Pemerintah Diminta Beli Lahan yang Terpapar Spora Antraks
Kedua, Indeks keparahan kemiskinan di Gunungkidul menjadi yang tertinggi di DIY. Artinya, ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin di Gunungkidul paling tinggi di antara kabupaten/kota lainnya. Begitu pula dengan indeks kedalaman kemiskinannya yang mencapai 2,63, tertinggi di provinsi DIY.
Secara umum, indeks kedalaman kemiskinan yang semakin menjauhi angka nol menunjukkan bahwa penduduk miskin semakin miskin akibat pengeluarannya kian jauh dari garis kemiskinan. Dengan demikian, angka kedalamanan kemiskinan Gunungkidul yang sangat tinggi menunjukkan bahwa kemiskinan di Gunungkidul paling mengkhawatirkan dibandingkan kabupaten/kota lainnya di DIY.
Situasi tersebut semakin mempertegas bahwa antraks yang menjangkit di wilayah Gunungkidul tidak bisa dibiarkan begitu saja. Kasus kematian akibat antraks di sejumlah desa dan kecamatan di Gunungkidul itu menunjukkan bahwa spora yang mampu bertahan hidup hingga puluhan tahun tersebut sangat rentan mengancam kesehatan masyarakat.
Gudang ternak
Kasus antraks di Gunungkidul saat ini turut mengancam pasokan daging dan produk olahan sapi di wilayah DIY. Pasalnya, populasi sapi di Gunungkidul menjadi salah satu yang terbesar di DIY sehingga akan mempengaruhi suplai daging untuk sementara waktu. Data BPS menunjukkan, dari 319.060 ekor sapi yang ada di DIY, hampir separuhnya tumbuh besar di Gunungkidul. Jadi, dengan adanya antraks ini kemungkinan permintaan daging dari Gunungkidul akan menyusut.
Baca juga: Pengendalian Antraks Bergantung Kontrol Lalu Lintas Ternak dan Vaksinasi
Jika antraks terus merajalela, bukan tidak mungkin populasi sapi juga akan terus berkurang. Penurunan jumlah itu bisa terjadi lantaran banyak sapi yang terpapar antraks dan mati. Selain itu, perkembangbiakan sapi juga dapat tertahan karena produktivitas indukan terganggu akibat bakteri antraks. Dengan demikian, dapat mendorong peternak enggan untuk melanjutkan usaha peternakan dan memilih menjual hewan ternak mereka sehingga regenerasi terhenti.
Kondisi tersebut akan mengganggu keberlangsungan pasokan daging sapi baik di Gunungkidul maupun DIY secara lebih luas. Sementara, permintaan daging sapi di DIY terus meningkat dari tahun ke tahun. Hasil penelitian dosen Universitas Gadjah Mada tahun 2018 menyebutkan permintaan daging sapi meningkat sekitar 14 persen sepanjang tahun 1995-2015, dari 8,7 juta kilogram menjadi 10,9 juta kilogram. Dengan tingkat konsumsi yang meningkat dan suplai yang sedang tersendat maka kasus antraks ini dapat memicu kenaikan harga daging menjadi lebih mahal.
Oleh karena itu, penanganan antraks di Gunungkidul harus dilakukan secepatnya dan penuh kesungguhan. Kiprah pemerintah daerah setempat dan juga pemerintah pusat sangat dinanti untuk menjaga keberlangsungan pasokan dan hajat hidup warga Gunungkidul. Bukan hanya materi, edukasi pun perlu digencarkan mengingat penyebaran antraks kali ini juga sebagai akibat kurangnya pemahaman warga setempat akan bahaya antraks. (Litbang Kompas)