Membandingkan ”Omnibus Law” Kesehatan dengan Cipta Kerja
Pembahasan ”omnibus law” kesehatan atau RUU Kesehatan tidak boleh mengulang ”omnibus law” Cipta Kerja yang waktunya singkat dan terkesan dipaksakan. Partisipasi publik yang bermakna harus diutamakan.

Setelah rampung dengan undang-undang sapu jagat atau omnibus law yang pertama di bidang ekonomi, kini pemerintah bersama legislator tengah menyiapkan kelahiran UU sapu jagat kedua di bidang kesehatan. Sama seperti yang pertama, proses kelahiran yang kedua ini juga mengundang polemik dan gerakan penolakan dengan aksi turun ke jalan.
Omnibus law pertama di negeri ini akhirnya berhasil disahkan pada akhir Maret lalu dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Proses kelahiran aturan yang menyatukan banyak UU ini dalam waktu yang singkat penuh dengan gejolak. Pasalnya, sejak gagasan UU sapu jagat dilontarkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo pada triwulan terakhir tahun 2019, pembahasannya dikebut.
Oleh karena itu, satu tahun kemudian, RUU Cipta Kerja ditetapkan dan diundangkan. Tanggal 2 November 2020 menjadi kelahiran UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Satu tahun kemudian, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil atau inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun. Perbaikan harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi publik secara bermakna.

Akan tetapi, pemerintah tidak mau buang-buang waktu. UU ini diperlukan untuk kemudahan investasi. Selang setahun setelah putusan MK, tepatnya pada 30 Desember 2022, pemerintah mengeluarkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang menggantikan UU Cipta Kerja Nomor 11/2020 yang dianggap inkonstitusional. DPR pun kemudian mengesahkan perppu tersebut menjadi UU pada 21 Maret 2023 lalu.
Jika dihitung sejak RUU sapu jagat pertama ini masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2020, praktis prosesnya diselesaikan dalam waktu tiga tahun tiga bulan. UU Cipta Kerja setebal 1.127 halaman ini merupakan gabungan aturan dari 77 UU, terdiri atas 15 bab dan 186 pasal. Penyusunan pasalnya bertingkat, dalam arti terdapat pasal di dalam pasal.
Selama proses pembahasan hingga perppu ditetapkan menjadi UU, penolakan publik tidak pernah surut, terutama dari kalangan buruh yang paling terdampak omnibus law tersebut.
Sejak awal, kaum buruh menuntut agar kluster ketenagakerjaan dikeluarkan dari omnibus law. Penolakan terhadap Perppu Cipta Kerja yang telah menjadi UU itu kini diarahkan mengikuti prosedur hukum melalui uji materi ke MK kembali.
Baca juga : Butuh Disempurnakan, Pengesahan RUU Kesehatan Perlu Ditunda
”Omnibus Law” kedua
Kini, pemerintah tengah membahas UU sapu jagat kedua, yaitu RUU Kesehatan. RUU ini masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023 pada akhir tahun 2022 lalu. Dalam draf RUU versi DPR, bakal UU sapu jagat kedua ini merangkum muatan dari 13 UU di bidang kesehatan, terdiri atas 20 bab dan 478 pasal.
Secara umum, anatomi draf RUU Kesehatan ini lebih mudah dipahami karena penyusunannya tidak bertingkat atau tidak mengandung pasal di dalam pasal. Hal ini berbeda dengan UU Cipta Kerja.
Proses pembuatannya juga memicu penolakan dari masyarakat kesehatan, termasuk organisasi profesi kesehatan. Hal ini serupa dengan pembahasan UU Cipta Kerja. Alasan utamanya lebih kurang juga sama, yaitu minimnya pelibatan publik secara bermakna.
Draf RUU Kesehatan versi DPR, jika disetujui ditetapkan menjadi UU, semula akan mencabut sembilan UU yang penting dalam sistem pelayanan kesehatan masyarakat. Di samping juga mengubah sebagian empat UU lainnya.

Seorang tenaga kesehatan membawa poster berisi tuntutan untuk menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan di depan gedung DPR, Jakarta Pusat, Senin (5/6/2023).
Kesembilan UU yang bakal tidak berlaku tersebut adalah UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan.
Adapun UU yang diubah sebagian adalah UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), dan UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Omnibus law yang bisa mencabut UU yang sudah ada ini dikhawatirkan akan menimbulkan kekosongan hukum. Hal ini pulalah yang ditentang oleh masyarakat kesehatan.
Dari hasil daftar inventarisasi masalah (DIM) yang diserahkan pemerintah ke DPR, jumlah UU yang akan dicabut menjadi 10 UU, ketambahan UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Sementara UU yang masih tetap berlaku, tetapi diubah sebagian, adalah UU SJSN dan UU BPJS.

Mencermati UU yang bakal dicabut, tak heran sejumlah organisasi profesi yang terkait dengan UU tersebut meradang. Organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) pun bersuara meminta pemerintah menghentikan pembahasan RUU Kesehatan.
Kalangan ini menilai pembahasan yang berlangsung sekarang terlalu terburu-buru dan belum mengakomodasi masukan dari organisasi profesi kesehatan. Aspirasi mereka ini pun diluapkan dalam beberapa kali unjuk rasa.
Baca juga : Polemik RUU Kesehatan
Komprehensif
Kalangan masyarakat kesehatan terbelah menyikapi RUU Kesehatan ini. Di luar tenaga kesehatan yang menyuarakan penolakan dengan berdemonstrasi juga terdapat sebagian lain yang pro dengan RUU Kesehatan. Semangatnya adalah transformasi atau perbaikan pelayanan kesehatan bagi publik menjadi lebih baik.
Sistem pelayanan kesehatan harus diperbaiki secara komprehensif dari hulu ke hilir. Hal itu berangkat dari adanya persoalan ketersediaan (produksi) dan penempatan (distribusi) tenaga kesehatan.
Ketersediaan tenaga kesehatan sejatinya harus mencukupi dan harus disebar secara adil ke seluruh wilayah Indonesia yang luas. Tidak boleh ada wilayah yang kekurangan dokter, baik dokter umum maupun spesialis.
Masyarakat harus bisa mengakses layanan kesehatan dengan mudah dan tentu saja murah. Kondisi ini berarti terkait dengan sistem pelayanan kesehatan dan pembiayaan kesehatan. Agar tenaga kesehatan mencukupi, tidak boleh ada hambatan untuk masuk ke institusi pendidikan kedokteran/kesehatan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F04%2F12%2F8254a4d6-bf34-4a6d-802e-0c7171e55a30_jpg.jpg)
Sejumlah karangan bunga bertuliskan aspirasi pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dari sejumlah daerah diletakkan di depan pagar Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/4/2023). Pengurus Besar IDI meminta agar pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesehatan dihentikan. Salah satu poin yang dipermasalahkan di RUU itu adalah perlindungan hukum terhadap tenaga kesehatan dan tenaga medis yang dinilai belum terjamin. PB IDI meminta agar penolakan berbagai pihak terhadap RUU ini diperhatikan secara serius oleh pemerintah.
Hal ini terkait dengan sistem pendidikan tenaga kesehatan, termasuk di dalamnya biaya pendidikan. Biaya pendidikan kesehatan yang tinggi berpotensi membuat para lulusannya berorientasi pada materi, bukan pelayanan. Hal ini pula yang menyebabkan penempatan tenaga kesehatan tidak merata.
Banyak yang harus dibenahi dengan sistem pendidikan dan pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu, pembahasannya harus dengan kehati-hatian dan mendengarkan aspirasi dari semua pemangku kepentingan agar tidak ada yang dirugikan dan tidak menimbulkan masalah di kemudian hari.
Dalam waktu dekat, DPR dan pemerintah akan segera mengesahkan RUU Kesehatan dalam rapat paripurna untuk menjadi UU. Hal ini berarti pembahasan UU sapu jagat yang kedua ini kurang dari setahun.
Pembahasan omnibus law kesehatan ini tidak boleh mengulang omnibus law Cipta Kerja yang waktunya singkat dan terkesan dipaksakan dengan keluarnya perppu untuk percepatan pemberlakuannya. Apalagi, membuka celah dianggap cacat formil atau inkonstitusional kelak jika digugat ke MK.
Dalam pembahasan ini ada pertaruhan kualitas pelayanan kesehatan, di samping juga tentunya jiwa masyarakat yang bergantung pada pengabdian tenaga kesehatan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Partisipasi Publik dalam Pembahasan RUU Kesehatan Dinilai Belum Bermakna