Pekerja migran ilegal Indonesia rawan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Penanganannya di hulu penting dilakukan dengan mengatasi akar masalah yang membuat warga tergiur bekerja di luar negeri.
Oleh
Gianie
·4 menit baca
Pekerja migran Indonesia ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi mereka menjadi pahlawan devisa lewat remitansi. Tapi di sisi lain menjadi problem dengan segala risiko ketika berangkat secara tidak resmi atau ilegal.
Sejak lama Indonesia menempatkan penduduknya bekerja di luar negeri, jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda. Penamaan sebelumnya menggunakan istilah tenaga kerja Indonesia (TKI), kini berubah menjadi pekerja migran Indonesia (PMI). Esensinya tetap sama, yaitu penduduk Indonesia yang bekerja di luar wilayah Indonesia.
Penduduk Indonesia yang mencari penghasilan di luar negeri tidak ada batasan pekerjaan. Jenis pekerjaan bisa formal maupun informal. Bisa dilakukan oleh yang berpendidikan rendah hingga berpendidikan tinggi setingkat sarjana atau pascasarjana.
Memilih bekerja di luar negeri merupakan alternatif. Namun, biasanya yang menjadi alasan utama adalah mendapatkan pekerjaan dengan upah yang layak karena tidak terserap di pasar tenaga kerja dalam negeri. Menjadi TKI atau PMI merupakan solusi untuk mengatasi pengangguran dan keluar dari jerat kemiskinan, terutama di masa pandemi.
Data dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia atau BP2MI menunjukkan, setiap tahun ratusan ribu penduduk Indonesia ditempatkan bekerja di luar negeri. Pada tahun 2014, PMI yang ditempatkan di luar negeri tercatat sebanyak 429.874 orang. Tahun itu menjadi salah satu tahun dengan pengiriman PMI yang cukup banyak.
Setelah itu terjadi penurunan jumlah secara perlahan. Hingga akhirnya terjadi penurunan yang cukup drastis akibat pandemi Covid-19. Di tahun 2020, jumlah PMI turun 59 persen menjadi 113.436 orang.
Akibat penutupan akses di banyak perbatasan dan kebijakan di negara tujuan, di tahun berikutnya penempatan PMI juga turun 36 persen menjadi 72.624 orang. Baru pada tahun 2022, setelah kebijakan pengetatan banyak berkurang di sejumlah negara, lebih banyak PMI yang ditempatkan di luar negeri, yaitu sebanyak 200.761 orang atau meningkat 176 persen.
Daerah-daerah yang menjadi kantong asal pekerja migran terbesar adalah Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Lampung. Daerah yang menjadi kantong PMI lima terbesar ini masih menyimpan angka kemiskinan yang tinggi dengan persentase di atas rata-rata nasional 9,57 persen (kecuali Jawa Barat).
Orang-orang Indonesia yang bekerja di luar ini mengirimkan sebagian penghasilannya bagi keluarga di tanah air. Transfer uang yang disebut remitansi ini tidak saja membantu menyejahterakan keluarga di kampung halaman, tetapi juga memberi pemasukan bagi negara. Kondisi ini memberi gambaran satu sisi PMI yang lebih terang.
Pada periode 2013-2019, sebelum pandemi, remitansi dari PMI meningkat secara gradual 54 persen dari 7,4 miliar dollar Amerika Serikat menjadi 11,4 miliar dollar AS. Tahun 2019 menjadi puncak tertinggi remitansi PMI.
Pandemi datang mendisrupsi transfer PMI menjadi 9,4 miliar dollar AS pada tahun 2020 atau turun 17,5 persen. Hingga tahun 2022, hanya sedikit perubahan remitansi yaitu menjadi 9,7 miliar dollar AS atau naik 3 persen. Jika dirupiahkan angka tersebut senilai Rp 145,5 triliun dengan kurs Rp 15.000 per dollar AS.
Remitansi terbesar berasal dari negara Arab Saudi, yaitu 2,8 milliar dollar AS (2022). Angka ini hampir sepertiga bagian dari total remitansi PMI tahun 2022. Remitansi tersebut berasal dari sekitar 837.000 PMI yang ada di sana.
Jumlah PMI terbesar bukanlah yang ditempatkan di Arab Saudi, melainkan di negara tetangga Malaysia, yaitu sekitar 1,67 juta orang PMI. Namun, jumlah remitansi yang berasal dari Malaysia berada di bawah Arab Saudi, yaitu sekitar 2,5 miliar dollar AS.
Remitansi terbesar selanjutnya berasal dari Taiwan dan Hong Kong dengan masing-masing berjumlah 1,47 miliar dollar AS dan 1,37 miliar dollar AS. Gabungan keempat negara penempatan PMI ini menyumbang 85 persen terhadap total remitansi PMI tahun 2022.
Akan tetapi, cerita mengenai PMI bukan hanya hal-hal manis berkaitan dengan uang yang didapat di negeri orang yang dikirimkan untuk mengangkat derajat kehidupan keluarga di kampung halaman. Kisah sedih dan memilukan soal PMI sering terdengar dan menjadi sisi gelap kehidupan PMI.
Yang terbaru, dalam rapat internal kabinet pada 30 Mei 2023 lalu, kepala BP2MI Benny Rhamdani mengungkap BP2MI selama periode 2000-25 Mei 2023 telah membantu pemulangan jenazah PMI sebanyak 1.937 jenazah. Termasuk menangani 3.377 PMI yang sakit.
Artinya, rata-rata terdapat 2 jenazah pekerja migran yang dipulangkan ke Indonesia dalam sehari. Selain itu, rata-rata 4 pekerja migran pulang dalam kondisi sakit, depresi, hilang ingatan, bahkan cacat. Sebanyak 80 persen dari jenazah atau PMI yang sakit itu adalah perempuan.
Pemerintah berpendapat kondisi itu terkait dengan tindak pidana perdagangan orang atau TPPO. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyatakan TPPO termasuk kejahatan kerah putih atau kejahatan luar biasa karena pelakunya adalah orang pintar yang menipu warga untuk dipekerjakan dalam prostitusi daring dan modus perdagangan manusia lainnya.
BP2MI mengasumsikan dalam periode 2007-2017 terdapat sekitar 5,4 juta orang PMI yang berangkat ke luar negeri secara tidak resmi.
Mereka ini rawan ditempatkan bekerja secara ilegal. Modus operandinya beragam, mulai dari yang konvensional di mana calo datang langsung ke masyarakat, hingga akibat propaganda media sosial di mana korban mendapat informasi peluang kerja di luar negeri melalui medsos.
Tak jarang pula, perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia (P3MI) yang terdaftar resmi melakukan praktik penempatan ilegal di Timur Tengah atau negara-negara yang berbahaya atau dalam kondisi konflik/perang.
Para PMI yang mengalami penempatan ilegal ini berisiko menjadi korban TPPO. Selain itu, mereka juga rawan mengalami eksploitasi, baik fisik, seksual, maupun waktu kerja.
Juga berisiko tidak mendapatkan gaji atau diputuskan sepihak. Bagi PMI yang bekerja sebagai anak buah kapal, mereka rawan mengalami kekerasan di atas kapal yang sering berujung kematian. Mayatnya dilarung ke laut.
Dengan kondisi demikian, Indonesia dikatakan darurat penempatan ilegal. Perlu strategi penanganan yang lebih jitu dan efektif untuk mengatasi kondisi darurat tersebut. Salah satunya dengan merestrukturisasi Satuan Tugas TPPO.
Satgas TPPO yang semula dipimpin oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) diganti menjadi dipimpin oleh Kepala Kepolisian RI. Hal ini untuk menekankan pada dimensi penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan.
Di luar aspek hukum, penanganan penempatan ilegal yang tak kalah penting adalah mengatasi akar yang menjadi persoalan banyaknya warga yang tergiur bekerja di luar negeri, yaitu kemiskinan dan pengangguran di dalam negeri.(LITBANG KOMPAS)