Serangan Lintas Batas Ukraina Mulai Berpengaruh Mendikte Rusia
Setelah 465 hari berperang menahan gempuran Rusia, Ukraina mulai mampu meningkatkan daya tahan militernya. Tak sekadar bertahan, Ukraina kini memberikan tekanan psikologis kepada Rusia melalui serangan lintas batas.
Oleh
Toto Suryaningtyas
·6 menit baca
Serangan terbaru yang mengacaukan konsentrasi perang Rusia terjadi pada Kamis (1/6/2023) di kawasan Belgorod, Provinsi Rusia yang berbatasan dengan Ukraina. Wilayah perbatasan Belgorod hanya berjarak 30 kilometer dari Ukraina. Ini merupakan serangan pertama kali yang dilakukan oleh militer Ukraina di wilayah Rusia. Menurut klaim Rusia, serangan ”formasi teroris” tersebut dilakukan oleh sekitar 70 orang militan pro-Ukraina, dengan menggunakan lima tank, empat kendaraan lapis baja, dan sejumlah truk militer.
Di sisi lain, para militan penyerang menamakan diri Korps Sukarelawan Rusia (RVC), kelompok paramiliter sayap kanan etnis Rusia pro-Ukraina yang berasal dari Rusia dan bertempur di dalam teritorial Rusia. Dalam sejumlah video yang beredar, para militan menyatakan sudah muak dengan kediktatoran Vladimir Putin dan menyerukan perlawanan rakyat Rusia untuk menumbangkan rezim Putin.
Meski militer Rusia menyatakan sudah menumpas kelompok ini dalam serangan pertama akhir Mei 2023, faktanya RVC kembali menyerang dan semakin besar. Dalam serangan terakhir menggunakan puluhan roket Grad terhadap sebuah kawasan apartemen di kota Shebekino, aksi kelompok RVC sudah mampu memaksa pemerintahan lokal untuk melakukan evakuasi penduduk kota.
Serangan di dalam teritorial Rusia ini merupakan yang terparah karena nyata-nyata melibatkan warga Rusia sendiri meski sebagian mereka diyakini juga warga Ukraina. Sehari sebelum serangan RVC, terjadi 30 kali serangan drone ke Moskwa dengan 10 di antaranya mampu mencapai sasaran. Serangan drone semakin masif menarget berbagai depot minyak, pabrik amunisi, hingga pusat komando militer meski Ukraina selalu menyangkal terlibat.
Salah satunya ialah serangan pada 3 Mei 2023, saat sebuah drone meledak di atas Istana Kremlin, yang memicu banyak perdebatan tentang siapa pelakunya. Rusia menuding Amerika Serikat berada di balik serangan itu meski banyak pihak menduga serangan itu merupakan hasil karya intelijen Rusia sendiri di balik operasi ”bendera palsu” atau false flag operation.
Terbukti, setelah serangan itu Rusia menyerang Kyiv bertubi-tubi dengan kombinasi rudal Iskander, rudal jelajah KH-101, drone pengebom Shahed-136, hingga rudal hipersonik Kinzhal. Sepanjang Mei 2023 saja tercatat paling tidak 17 kali gelombang serangan ke Kyiv masing-masing dengan puluhan kombinasi rudal dan drone. Sebagian besar serangan itu berhasil ditangkal dengan sistem antirudal Patriot.
Serangan Ukraina terhadap teritori kedaulatan Rusia sebenarnya merupakan salah satu ”garis merah” yang tak boleh diterobos militer Ukraina sebagaimana permintaan negara-negara Barat. Mereka khawatir dengan langkah tersebut akan meningkatkan level perang dan memancing Rusia untuk berperang secara langsung dengan NATO. Lebih buruk lagi, Rusia bisa mengaktifkan dalil ancaman terhadap negara, yang memiliki konsekuensi penggunaan senjata nuklir oleh Rusia dan berhak melakukan serangan pendahuluan (pre-emptive strike).
Meski demikian, jika pun benar serangan di wilayah teritorial Rusia ini dilakukan oleh Ukraina, hal ini juga dibenarkan sejumlah petinggi Barat. Baru-baru ini Menteri Luar Negeri Inggris James Cleverly menyatakan bahwa Ukraina memiliki hak untuk menyerang melampaui perbatasan dengan tujuan melemahkan kemampuan Rusia yang akan menyerang Ukraina.
Menurut Cleverly, itu adalah bagian dari pertahanan diri Ukraina serta sesuai dengan pakta piagam PBB tentang upaya mempertahankan diri sebuah negara jika diserang negara lain.
Namun, pernyataan Cleverly ini segera direspons Wakil Ketua Dewan Penasihat Keamanan Rusia Dmitry Medvedev dengan menyatakan bahwa jika begitu, Rusia juga akan menganggap semua pejabat publik Inggris baik sipil maupun militer yang dianggap memfasilitasi perang, sah untuk menjadi sasaran serangan militer.
Akan tetapi, terlepas dari semua perang dan propaganda akhir-akhir ini memberikan satu pesan jelas, Rusia semakin terpengaruh secara politik setelah secara pertahanan juga sedang mengalami tanda-tanda stagnasi invasi.
Gerutu pasukan
Stagnasi invasi itu tampak dari susah payahnya Rusia merebut kota kecil Bakhmut di wilayah Donbas, yang disebut-sebut Barat sudah menewaskan hingga 60.000 prajurit Rusia ataupun tentara bayaran Wagner. Di sisi lain, Ukraina diperkirakan menderita kerugian hanya seperlima dari yang diderita Rusia sehingga perang Bakhmut dianggap sengaja diperpanjangUkraina untuk melemahkan Rusia.
Fakta di lapangan menunjukkan, perebutan kota Bakhmut memang menghabiskan energi yang sangat besar bagi Rusia yang memang diperjuangkan habis-habisan demi mengembalikan kepercayaan publik Rusia. Seperti diketahui, akhir tahun 2022 pasukan Rusia terusir mundur ratusan kilometer dari wilayah Kherson di sebelah barat sungai Dieper karena terkepung pasukan Ukraina.
Hal itu mempermalukan militer Rusia di mata rakyatnya sehingga Presiden Vladimir Putin membutuhkan kemenangan di Bakhmut, berapa pun harganya itu. Untuk merebut Bakhmut, Pemerintah Moskwa mengirimkan 100.000 hingga 150.000 prajurit bayaran Wagner yang direkrut dari berbagai penjara Rusia. Karena bukan prajurit komando, akhirnya mereka menjadi bulan-bulanan perlawanan militer Ukraina sehingga taktik Rusia di Bakhmut sering mendapat julukan Barat sebagai ”mengumpankan daging ke mesin pencacah daging”.
Pada hari-hari terakhir April 2022, pemimpin tentara Wagner, Yevgeny Prigozhin, sampai uring-uringan karena kekurangan dukungan militer, bahkan amunisi, untuk melawan Ukraina. Dia telah berulang kali mengeluh menerima dukungan yang tidak memadai dari Kremlin dalam perjuangan yang melelahkan merebut Bakhmut dan sekitarnya.
Pada Februari 2022, Prighozin mengajukan permohonan untuk amunisi sembari mengunggah gambar tumpukan mayat pasukannya di akun media sosial Telegram. Dalam pernyataannya, Prigozhin mengulangi ancaman bahwa tentara bayaran Wagner akan meninggalkan Bakhmut karena kekurangan amunisi.
”Saya menyatakan atas nama pejuang Wagner, mulai 10 Mei 2023, Rusia wajib memindahkan tanggung jawab Bakhmut ke unit Kementerian Pertahanan dan menarik jenazah tentara Wagner ke kamp logistik,” kata Prigozhin.
Rasa frustrasi yang diungkapkan Proghozin sebenarnya juga sudah tecermin dalam unggahan sejumlah vlogger perang Rusia sejak akhir 2022. Ketidakmampuan Rusia menambah garis depan dan malah harus mengorbankan sejumlah wilayah ke pasukan Ukraina menimbulkan frustrasi tentang kemampuan Rusia memenangi perang melawan Ukraina.
”Perang di Ukraina akan berlanjut sampai kekalahan total Rusia,” ungkap Igor Girkin, seorang nasionalis sayap kanan Rusia, sebagaimana ditulis The Guardian, 8 September 2022. Dalam pidato di video yang disebarkan kepada 430.000 pengikutnya di Telegram pada September 2022, Girkin menyatakan, ”Kami sudah kalah, sisanya hanya masalah waktu”.
Gerutu Girkin, seorang mantan kolonel intelijen Rusia yang menjadi komandan pasukan separatis pro-Rusia pada tahun 2014 itu, bisa dibilang suara paling menonjol dalam kelompok bloger ultranasionalis dan properang yang kini semakin banyak disuarakan dan semakin keras mengkritik Kremlin atas berbagai kegagalannya dalam pertempuran di Ukraina.
Serangan balik
Kekalutan di kalangan militer Rusia sebenarnya tak hanya soal serangan lintas batas dan mandeknya penguasaan garis depan pasukan. Namun, yang lebih dikhawatirkan ialah semakin kencangnya isu serangan balik yang hendak dilancarkan Ukraina untuk merebut seluruh wilayah yang diduduki Rusia, termasuk Semenanjung Krimea.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky mengatakan, negaranya masih membutuhkan sedikit waktu sebelum meluncurkan serangan balasan untuk memungkinkan lebih banyak bantuan militer Barat yang dijanjikan tiba di negaranya. Sementara itu, Komandan Angkatan Darat Ukraina Jenderal Oleksandr Syrsky menambahkan bahwa semakin dekat waktunya untuk melancarkan operasi ofensif.
Sejumlah blog militer Rusia menyatakan kekhawatiran akan datangnya serangan balik besar-besaran yang disebut-sebut akan segera dilakukan di pengujung Mei 2023. Isu serangan balik diperkuat serangan-serangan sporadis hingga Semenanjung Krimea dan pelabuhan Angkatan Laut di Sevastopol.
Apalagi, kini Ukraina dibantu sejumlah rudal stealth jarak menengah buatan Barat, yang mampu menjangkau jarak hingga seluruh sudut wilayah perbatasan Ukraina dengan Rusia. Sejak pertengahan Mei 2023, Inggris mengirimkan rudal Storm Shadow. Storm Shadow adalah rudal jelajah jarak jauh dengan kemampuan siluman yang dikembangkan bersama oleh Inggris dan Perancis. Kemampuan rudal yang diluncurkan dari udara ini memiliki jarak tembak hingga 250 km.
Serangan Ukraina menggunakan rudal Storm Shadow memberikan level kemampuan baru Ukraina untuk menyerang balik Rusia setelah sejumlah alutsista lainnya mulai mendapatkan lawan yang sepadan dari Rusia. Rudal HIMARS yang sempat menjadi bintang serangan darat Ukraina, misalnya, kini perlahan mulai diatasi Rusia dengan sistem pertahanan udara Krasukha.
Kemampuan Ukraina untuk menyerang balik dengan rudal canggih Eropa bersamaan waktunya dengan meningkatnya kemampuan pertahanan udara Ukraina menangkal serangan rudal dan drone dari Rusia.
Dalam serangan terbaru, Senin (29/5/2023), Rusia melancarkan dua kali serangan udara dengan jumlah kombinasi rudal dan drone pengebom sebanyak 45 buah. Dalam serangan pertama hanya satu drone yang bisa lolos, sedangkan pada serangan kedua semua rudal dan drone bisa ditangkal rudal anti-serangan udara Ukraina.
Hingga saat ini, perang Rusia-Ukraina masih berlangsung dan terbukti Ukraina semakin matang dalam bertahan dan bahkan memiliki rencana serangan balik, merebut wilayah yang diduduki Rusia. Yang jelas, saat ini Ukraina justru semakin kuat kemampuan militernya dengan topangan senjata-senjata Barat, dan justru membuat Rusia terdikte untuk mengimbangi taktik dan strategi perang lawan. (LITBANG KOMPAS)