Angan-angan Hidup Layak di Kawasan ”Jakarta Raya”
Kawasan Jabodetabekjur masih belum sepenuhnya terbangun secara layak. Baik dari ketersediaan infrastruktur, pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, maupun aspek lingkungan hidup.
Jakarta dan sekitarnya menjadi daerah dengan konsentrasi penduduk sangat tinggi di Indonesia. Tingkat kepadatan ini kian bertambah seiring terus berdatangannya arus migrasi dari berbagai daerah demi meningkatkan taraf kehidupan. Sayangnya, wilayah Jakarta Raya memiliki keterbatasan dalam memberikan tingkat kesejahteraan dan kelayakan hidup bagi segenap penduduk yang bermukim di sana.
Menurut Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur, pemerintah berupaya membangun kawasan strategis nasional dari sudut kepentingan ekonomi. Kawasan ini terdiri dari daerah perkotaan inti yang merujuk pada Provinsi DKI Jakarta dan kawasan perkotaan di sekitarnya yang terdiri dari wilayah Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (Bodetabekjur).
Kawasan Jabodetabekpunjur itu sering pula disebut sebagai wilayah Jakarta Raya. Kawasan besar metropolitan ini sarat menawarkan peluang kemajuan bagi siapa pun, tetapi juga sarat dengan berbagai persoalan karena banyaknya penduduk yang bermukim di wilayah itu. Bahkan, bisa di katakan kawasan Jabodetabekjur masih belum sepenuhnya terbangun secara layak. Tidak hanya secara infrastruktur, melainkan pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan lingkungan hidup. Daerah tersebut belum mampu memberikan hidup layak bagi seluruh penduduknya yang kini berkisar 36 juta jiwa.
Minimnya kelayakan hidup di Jabodetabekpunjur itu terlihat dari Indeks Daerah Layak Huni yang diolah Litbang Kompas. Pengolahan indeks ini menggunakan 16 indikator yang menggambarkan standar minimum untuk menopang kehidupan individu dan kelompok. Standar tersebut dikelompokkan ke dalam empat parameter utama, yaitu sosial, ekonomi, lingkungan, dan infrastruktur. Rentang skor indeks berada dari 0 sampai 1. Semakin mendekati skor 1, maka tingkat layak huni semakin tinggi.
Dari 14 kabupaten/kota di wilayah Jakarta Raya, skor indeks tertingginya hanya 0,578 dari skor maksimal 1,0. Daerah tersebut adalah Jakarta Pusat, kemudian disusul Kabupaten Bekasi dengan skor 0,564, serta Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan dengan skor 0,56. Skor yang diperoleh ini relatif masih jauh dari kelayakan huni untuk sebuah daerah.
Tiga daerah dengan skor terendah dari ke-14 kabupaten/kota itu adalah Kota Bogor (0,5), Kabupaten Cianjur (0,472), dan Kabupaten Bogor (0,409). Selain di kawasan Jakarta Raya, Kabupaten Bogor juga merupakan daerah dengan kondisi pembangunan yang kurang layak dibandingkan semua daerah dengan kategori metropolitan secara nasional (jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 jiwa).
Ada sejumlah kelemahan yang membuat ke-14 kabupaten/kota yang diteliti tersebut memiliki skor Indeks Daerah Layak Huni yang cukup rendah. Seluruh wilayah Jakarta Raya memiliki kelemahan pembangunan di aspek sosial dan lingkungan. Rata-rata skor parameter sosial sebesar 0,439 dan parameter lingkungannya 0,463. Rendahnya pemenuhan kebutuhan hidup layak dari segi parameter sosial ini terlihat dari lemahnya indikator rasio tenaga pendidik dan rasio tenaga kesehatan. Skor indeksnya hanya berkisar 0,1-0,2 saja. Sangat jauh dari kondisi idealnya.
Baca juga: Daerah Tujuan Migrasi Menyimpan Banyak Masalah
Rendahnya skor rasio tenaga pendidik mengindikasikan kurangnya ketersediaan guru di semua tingkatan pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Hal serupa juga dialami tenaga kesehatan yang jumlahnya belum memadai. Secara umum, rasio tenaga kesehatan sekitar 74 per 100.000 penduduk. Dengan kata lain, setiap 100.000 penduduk terdapat 74 orang dokter. Jika diperkecil lagi, berarti 1 orang dokter melayani 1.351 penduduk. Melihat rasio ini, angka pelayanan kesehatan cukup timpang.
Minimnya capaian indikator sosial itu kian diperparah dengan capaian parameter lingkungan yang juga relatif sangat rendah. Kelestarian lingkungan sepertinya bukan prioritas pembangunan di Jakarta Raya. Indikator ruang terbuka hijau (RTH) berada di skor terendah, yaitu 0,007. Dibandingkan semua indikator, penyediaan area hijau sangat minim. Luasan RTH hanya 30,3 kilometer persegi atau kurang dari satu persen luas wilayah Jakarta Raya. Padahal, secara regulasi luasa minimum RTH itu adalah 30 persen dari total luas wilayah. Jadi, idelanya dengan luas wilayah sekitar 3.344 kilometer persegi maka luasan RTH-nya berkisar 1.000 kilometer persegi.
Fenomena tersebut menunjukkan bahwa harapan memperoleh kehidupan yang layak di wilayah Jakarta Raya terasa masih jauh dari kenyataan. Pendapatan yang tinggi dibandingkan daerah lainnya di kawasan ini ternyata belum diikuti dengan peningkatan kualitas kehidupan masyarakat yang sepadan. Pembangunan infrastrukturnya masih dalam taraf menyediakan layanan publik, tetapi belum optimal sampai menyentuh kebutuhan dasar hidup secara layak.
Walaupun dianggap sebagai wilayah paling terbangun, Jakarta Raya masih memiliki pekerjaan besar pada penyediaan infrastruktur puskesmas, rumah sakit dan sekolah. Hal tersebut makin menegaskan jauhnya pemenuhan kebutuhan dasar pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Ada banyak masyarakat yang tidak terlayani dengan layak. Dengan kata lain, untuk mendapatkan layanan yang layak maka dibutuhkan biaya yang lebih besar.
Harga mahal
Harapan memperoleh kehidupan layak di Jakarta Raya masih jauh dari kenyataan. Ada harga mahal yang harus dibayarkan di tengah disparitas ekonomi yang makin tampak. Kesenjangan antara kelompok miskin dan kaya makin lebar yang ditunjukkan oleh Indeks Gini tahun 2020-2022 yang terus meningkat.
Persoalan individu untuk mendapatkan kehidupan layak makin kompleks di Jakarta Raya. Tiga permasalahan laten yang dialami penduduk di Jakarta dan sekitarnya adalah hunian, ruang publik, rumah sakit, dan sekolah. Dari sisi hunian saja, pekerja dengan upah minimum hanya bisa membeli rumah tapak tipe kecil dengan radius 30-50 kilometer dari pusat kota (Kompas, 1/10/2023).
Baca juga: Ketidaksiapan Pemerintah Daerah Menghadapi Arus Migrasi
Pembelian rumah di Jakarta Raya terbilang tidak mudah. Apalagi kendala suplai dan pemenuhan kebutuhan rumah masih belum tuntas. Hal tersebut makin dipersulit dengan besarnya kesenjangan antara harga rumah dan kemampuan membayar masyarakat. Kenaikan harga rumah terus melaju kencang. Berdasarkan Indeks Harga Properti Residensial BI 10 tahun terakhir, harga rumah naik berkisar 3-6 persen per tahunnya.
Harga mahal lainnya yang harus ditanggung penduduk Jakarta Raya adalah ruang publik dan terbuka hijau. RTH merupakan fasilitas multifungsi di perkotaan yang dapat menjadi ruang publik bagi masyarakat untuk berkumpul. Selain itu, tutupan vegetasinya mampu menyerap polusi dan mendinginkan suhu perkotaan. Vegetasi tersebut juga menyuplai oksigen dalam jumlah yang memadai.
Hanya saja, RTH masih barang mewah bagi masyarakat. Belum banyak penyediaan RTH yang dilakukan oleh pemerintah daerah di Jakarta dan sekitarnya. Kalaupun ada, keberadaannya belum mampu dijangkau oleh masyarakat dengan mudah. Mereka harus mengeluarkan biaya transportasi yang tidak murah untuk bisa sampai ke lokasi. Untuk biaya ojek online misalnya, minimum harus mengeluarkan ongkos Rp 15.000 sekali jalan untuk menuju RTH dengan jarak sekitar 5-10 kilometer.
Layanan dasar
Dari berbagai kendala pemenuhan kebutuhan hidup layak itu, ada hal terpenting yang harus segera dibenahi. Terutama yang berkaitan dengan pelayanan dasar bidang kesehatan dan pendidikan. Dua layanan dasar tersebut belum sepenuhnya dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat karena tingginya biaya yang terkadang harus dikeluarkan. Layanan BPJS yang belum optimal di sejumlah daerah membuat sebagian masyarakat enggan berobat ke rumah sakit pemerintah. Hal ini dapat berimbas pada kepercayaan terhadap kualitas layanan kesehatan yang diselenggarakan oleh negara.
Baca juga: Ekonomi, Faktor Utama Migrasi
Apalagi, belum semua fasilitas kesehatan juga dibangun secara layak sehingga butuh lebih banyak uang untuk mengakses layanan yang mungkin dirasa lebih baik. Misalnya saja ketika memilih berobat ke fasilitas kesehatan milik swasta. Mahalnya biaya kesehatan juga linear dengan tingginya ongkos untuk menjaga kondisi badan di tengah tekanan hidup perkotaan yang relatif mahal. Apalagi, Jakarta dan sekitarnya memiliki kualitas lingkungan yang buruk, mulai dari polusi udara, pencemaran air, hingga cuaca ekstrem yang mengakibatkan penyakit. Perlu biaya ekstra untuk langkah preventif kesehatan ini.
Indikator kelayakan hidup lainnya yang segera perlu dicari solusinya adalah mahalnya biaya pendidikan sekolah. Peningkatan gaji terhitung belum mampu mengimbangi biaya pendidikan, khususnya jenjang perguruan tinggi (Kompas, 28/7/2022). Biaya pendidikan akan naik hingga 6 persen per tahunnya, sementara kenaikan gaji hanya separuhnya.
Akibatnya, sekolah negeri menjadi rujukan utama untuk mengenyam pendidikan. Hanya saja, dengan kapasitas yang terbatas, ada sebagian besar para siswa didik ataupun mahasiswa yang harus melanjutkan studinya di institusi swasta. Namun, pilihan ini tentu saja berkorelasi dengan anggaran biaya yang relatif mahal. Tidak ada bantuan secara langsung dari pemerintah untuk sekolah atau perguruan tinggi swasta sehingga biayanya berkali lipat lebih tinggi dari sekolah ataupun perguruan tinggi negeri.
Perjuangan hidup masyarakat yang tinggal di kawasan Jabodetabekpunjur atau Jakarta Raya tidaklah mudah. Wilayah yang belum sepenuhnya terbangun dengan layak menyimpan banyak permasalahan, mulai dari kualitas hunian, ruang terbuka hijau, hingga akses layanan medis dan pendidikan yang layak. Ke depan, apabila pemerintah setempat tidak membenahi skema pembangunan nya secara terpadu, kehidupan yang layak hanya akan menjadi angan-angan belaka bagi setiap orang yang bermukim di sana. (LITBANG KOMPAS)